KABARBURSA.COM – Nilai tukar rupiah hari ini, Jumat, 7 Maret 2025, diprediksi bergerak fluktuatif namun berpotensi ditutup melemah di rentang Rp16.320 – Rp16.370 per dolar AS. Hal ini seiring dengan meningkatnya tekanan global dari kebijakan tarif AS dan ekspektasi pasar terhadap data tenaga kerja Amerika Serikat.
Pengamat Forex, Ibrahim Assuaibi, mengatakan volatilitas rupiah masih akan tinggi dalam perdagangan hari ini karena investor masih menunggu perkembangan terbaru perihal kebijakan ekonomi AS.
“Untuk perdagangan besok (hari ini), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.320 – Rp16.370,” kata Ibrahim dalam risetnya, Kamis, 7 Maret 2025.
Pada perdagangan Kamis, rupiah sempat menguat 50 poin, tetapi ditutup melemah 27 poin ke Rp16.339 per dolar AS, dari sebelumnya Rp16.312.
Faktor Global: Perang Tarif AS & Respons China
Dari sisi eksternal, Presiden AS Donald Trump telah menerapkan tarif 25 persen pada impor kendaraan dari Meksiko dan Kanada, dengan pengecualian sementara selama satu bulan untuk beberapa produk. Namun, tarif impor barang dari China naik menjadi 20 persen, yang langsung dibalas oleh Beijing dengan tarif tambahan hingga 15 persen pada impor produk pertanian AS, termasuk ayam, daging babi, kedelai, dan sapi.
Menurut Ibrahim, kebijakan ini semakin menekan nilai tukar mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
“Jika eskalasi perang dagang ini terus berlanjut, investor akan lebih memilih dolar AS sebagai lindung nilai, yang berpotensi menekan mata uang negara berkembang,” katanya.
Selain itu, pasar juga menanti laporan tenaga kerja AS (nonfarm payrolls) yang akan dirilis malam ini. Jika data tenaga kerja AS tetap solid, The Fed kemungkinan besar akan menahan suku bunga lebih lama yang berpotensi menambah tekanan bagi rupiah.
Faktor Domestik
Dari dalam negeri, deflasi selama dua bulan berturut-turut (Januari-Februari 2025) menjadi perhatian utama. Fenomena ini terjadi akibat penurunan harga bahan makanan dan tarif listrik yang lebih rendah, seiring kebijakan subsidi pemerintah bagi pelanggan dengan daya di bawah 2.200 VA.
Namun, menurut Ibrahim, meski deflasi terjadi, pasar tetap cemas dengan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
“Pemerintah memang menargetkan pertumbuhan ekonomi di 2025 bisa mencapai 5,1 persen, tapi ada tantangan besar, terutama dalam menjaga konsumsi rumah tangga yang menjadi motor utama ekonomi kita,” ungkapnya.
Di sisi lain, kebijakan Presiden Prabowo Subianto, seperti program quick wins, efisiensi belanja negara, dan pembentukan Dana Investasi Nasional (Danantara), masih menyisakan ketidakpastian bagi investor terkait sumber pendanaan dan dampaknya terhadap APBN.
Bagaimana Arah Dolar AS di 2025?
Meski The Fed sudah memangkas suku bunga dua kali pada 2024, dolar AS tetap menunjukkan ketangguhannya dengan kenaikan 7 persen sepanjang tahun. Indeks DXY memang sudah mencapai puncaknya pada September 2022, tetapi nilai tukar riil efektif AS (REER) yang mengukur kekuatan dolar terhadap berbagai mata uang global—dengan penyesuaian inflasi—masih berada di dekat rekor tertinggi sepanjang masa.
Berdasarkan riset JP Morgan, sejumlah faktor diperkirakan akan membuat dolar tetap kuat atau setidaknya stabil hingga 2025, antara lain:
1. Perbedaan Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomi AS diprediksi tumbuh 2,7 persen pada 2024, jauh melampaui proyeksi pertumbuhan 1,7 persen di negara-negara maju lainnya. Faktor utama yang mendorong perbedaan ini adalah produktivitas yang lebih tinggi, investasi bisnis yang kuat, dan minimnya gangguan pasokan tenaga kerja dibandingkan negara-negara maju lain.
Pertumbuhan ekonomi yang solid ini juga berkontribusi terhadap inflasi yang masih bertahan di atas 2 persen yang akhirnya kemungkinan besar akan membuat The Fed menghentikan pemangkasan suku bunga lebih cepat dari yang diperkirakan. Dengan demikian, peluang pelemahan dolar dalam waktu dekat masih kecil.
2. Perbedaan Kebijakan Moneter
Perbedaan pertumbuhan ekonomi global telah menciptakan kesenjangan kebijakan moneter yang semakin besar di antara bank sentral dunia. Saat ini, selisih imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun dengan negara mitra dagangnya telah melebar ke level tertinggi sejak 1994.
Pasar saat ini hanya memperkirakan pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 44 basis poin (bps) tahun depan, jauh lebih kecil dibandingkan ekspektasi 110 bps untuk Bank Sentral Eropa (ECB). Sementara itu, Jepang diperkirakan justru akan menaikkan suku bunganya sebesar 47 bps. Perbedaan suku bunga ini berpotensi membuat investor tetap memilih dolar AS sebagai aset investasi yang lebih menarik, menjaga nilainya tetap tinggi.
3. Kebijakan Pemerintah AS yang Baru
Pemerintahan baru di AS, di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Donald Trump, berencana mendorong industri manufaktur dalam negeri, menaikkan tarif impor, dan melonggarkan regulasi di beberapa sektor industri. Langkah ini bisa mendorong pertumbuhan bisnis dan mempertahankan suku bunga yang lebih tinggi, yang pada akhirnya mendukung penguatan dolar.
Selain itu, Trump juga mengisyaratkan kemungkinan menerapkan tarif atau kebijakan lain terhadap negara-negara yang dianggap menantang dominasi perdagangan dolar AS, terutama dalam statusnya sebagai mata uang cadangan dunia.
Apakah Dolar Akan Terus Menguat?
Meskipun ada berbagai faktor yang menopang dolar, penguatannya tidak akan bertahan selamanya. Saat ini, nilai tukar dolar berada dua standar deviasi di atas rata-rata 50 tahunnya, yang mengindikasikan bahwa ruang untuk apresiasi lebih lanjut semakin terbatas.
Secara historis, dolar selalu mengalami siklus penguatan dan pelemahan sehingga kemungkinan besar tren pelemahan akan terjadi pada titik tertentu—meskipun kapan waktunya masih sulit diprediksi. Selain itu, defisit neraca perdagangan AS yang mencapai 4,2 persen dari PDB per September 2024 juga menjadi tantangan struktural yang dalam jangka panjang bisa menekan nilai dolar.
Kuatnya dolar AS juga memiliki konsekuensi negatif bagi pasar global, khususnya bagi perusahaan multinasional yang berbasis di AS karena membuat produk mereka lebih mahal di luar negeri. Eksportir AS juga bisa terkena dampak negatif, karena barang dan jasa mereka menjadi kurang kompetitif di pasar global.
Meskipun narasi “keunggulan ekonomi AS” bisa terus berlanjut di 2025, investor perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap portofolio mereka jika penguatan dolar menyebabkan gangguan pada pasar ekspor dan perusahaan dengan eksposur internasional tinggi.(*)