KABARBURSA.COM - Pemerintah dinilai menunjukkan kegelisahan menghadapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 melalui program makan bergizi gratis. Founder Pusat Kajian Hukum dan Anggaran atau Puskaha, Yenti Nurhidayat, menilai kebijakan ini menimbulkan banyak penyesuaian yang merugikan masyarakat.
Menurut Yenti, pemerintah tampak terombang-ambing antara memenuhi janji politik, seperti program makan bergizi gratis, dan kebutuhan belanja wajib negara. Kondisi seperti ini dinilai rentan mengorbankan sektor-sektor lain yang penting untuk publik.
"Beban ini nantinya akan turun ke masyarakat,” ujar Yenti kepada KabarBursa, Selasa, 26 Juni 2024.
Menurut Yenti, tekanan terhadap APBN terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah yang memiliki efek merugikan masyarakat. Kebijakan itu antara lain iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera), kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, dan penghapusan kelas dalam BPJS Kesehatan menjadi Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Penyesuaian aturan yang ada dalam program-program tersebut dinilai sebagai upaya pemerintah menjaga pendapatan negara dengan cara menghisap anggaran langsung dari masyarakat.
"Itu (semua) kan sebenarnya menunjukkan kegelisahan pemerintah menghadapi tekanan terhadap APBN," kata Yenti.
Kebijakan Pengaman APBN
Sepanjang Mei hingga Juni, program Tapera menjadi topik hangat. Program ini melambung setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Aturan baru ini menggantikan PP Nomor 25 Tahun 2020, yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Kontroversi yang mencuat dari program ini masih berkaitan dengan isu yang sama lima tahun lalu. Pemerintah mewajibkan peserta Tapera, khususnya pekerja dengan penghasilan setara atau lebih dari upah minimum, untuk membayar iuran bulanan sebesar 3 persen dari pendapatan mereka. Kebijakan ini memicu protes karena buruh merasa terbebani untuk menyisihkan sebagian pendapatan mereka demi penyediaan rumah, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Banyak yang menolak kebijakan Tapera ini, mulai dari kelompok buruh hingga kalangan pengusaha. Mereka keberatan karena harus ikut membayar iuran sebesar 0,5 persen. Aturan ini akan diterapkan sepenuhnya pada tahun 2027, yang merupakan batas akhir pendaftaran peserta Tapera untuk kelompok pekerja swasta dan pekerja mandiri.
Kebijakan lain yang menuai polemik adalah kenaikan PPN menjadi 12 persen. Jika Prabowo Subianto memimpin, masyarakat Indonesia dipastikan akan menghadapi kenaikan tarif pajak ini. Prabowo berencana melanjutkan program perpajakan Jokowi dengan menaikkan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Kebijakan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Kenaikan PPN ini akan berdampak pada harga barang dan jasa, yang pada gilirannya akan mempengaruhi daya beli konsumen. Diperkirakan, lonjakan tarif PPN akan mengurangi minat masyarakat untuk berbelanja, termasuk makan di restoran atau menggunakan jasa penerbangan.
Kebijakan kenaikan PPN ini dinilai sebagai bentuk ketidakadilan sosial. PPN, sebagai bentuk pajak tidak langsung, berlaku sama untuk semua lapisan masyarakat, berbeda dengan pajak penghasilan yang bersifat langsung. Semua pembeli barang atau pengguna jasa dikenai pungutan yang sama.
Pedagang kecil yang membeli sebotol air minum kemasan di minimarket, misalnya, akan membayar persentase pajak yang sama dengan pejabat yang mengonsumsi minuman serupa di hotel bintang lima.
Kebijakan ini sempat mendapat sorotan serius dari DPR. Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, memperingatkan pemerintah agar berhati-hati dan melakukan kajian mendalam ihwal rencana mengatrol tarif pajak tersebut.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menyatakan rencana kenaikan PPN memang dapat meningkatkan pendapatan negara hingga Rp350-375 triliun. Namun, kebijakan ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,12 persen, menurunkan konsumsi masyarakat sebesar 3,2 persen, dan menyebabkan upah minimum anjlok. Pemerintah akan menghadapi banyak risiko ekonomi di tengah ketidakpastian global.
"Dalam waktu tak berselang lama, PPN akan dinaikkan lagi, saya kira ini jalan pintas untuk menaikkan perpajakan, tidak kreatif, bahkan akan berdampak luas membebani rakyat,” kata Said di Kompleks Parlemen, Kamis, 14 Maret 2024 lalu.
Kebijakan pemerintah lain yang tak kalah kontroversinya adalah kelas tunggal BPJS Kesehatan. Nantinya, pemerintah akan menerapkan kelas BPJS Kesehatan baru yang namanya kelas rawat inap standar (KRIS). Program ini pun menimbulkan berbagai persoalan. Alih-alih mengatasi defisit keuangan, penyeragaman standar kelas dan nilai iuran justru dinilai menciptakan masalah baru, mulai dari ketidakadilan hingga terhambatnya pembayaran iuran peserta.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan. KRIS mulai berlaku pada 30 Juni 2025 yang menggantikan sistem pengelompokan ruang rawat inap berdasarkan kelas layanan I, II, dan III. Aturan ini juga menetapkan 12 standar layanan yang harus dipenuhi rumah sakit, termasuk tempat tidur, ruang kamar, dan peralatan pendukung rawat inap. Kapasitas ruang rawat dibatasi maksimal empat tempat tidur per ruang.
Pasal 103B ayat (8) Perpres Nomor 59 Tahun 2024 juga menyebutkan penetapan nilai iuran tunggal akan berlaku paling lambat pada 1 Juli 2025. Dengan demikian, nilai iuran yang awalnya Rp 150 ribu per bulan untuk peserta kelas I, Rp 100 ribu untuk peserta kelas II, dan Rp 35 ribu untuk peserta kelas III tidak lagi berlaku.
Makan Gratis Tak Mendesak
Agar tak kebelet mengotak-atik program yang berkaitan langsung dengan publik, pemerintah diminta untuk menahan ambisi program baru yang menyedot anggaran jumbo. Menurut Yenti, program makan bergizi gratis tidak mendesak saat ini. "Lebih baik anggaran difokuskan pada penguatan sektor ekonomi," katanya.
Ia percaya bahwa dengan memperkuat sektor ekonomi, pendapatan masyarakat akan meningkat sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka sendiri.
Menurut Yenti, penyesuaian anggaran yang dilakukan pemerintah sering kali tidak berpihak pada masyarakat. Kebijakan yang diambil lebih banyak menekan masyarakat daripada memberikan solusi. Ia mendesak pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan terkait APBN 2025.
Bagaimana pun, kesejahteraan masyarakat harus menjadi prioritas utama ketimbang kesuksesan program politik. “Pemerintah harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan yang diambil,” katanya. (alp/*)