KABARBURSA.COM - Ekonomi Indonesia kini diprediksi melambat. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi RI menjadi hanya 4,7 persen untuk tahun 2025 dan 2026, menurut laporan World Economic Outlook edisi April 2025 yang dirilis Selasa malam 22 April 2025.
Angka ini turun dari perkiraan awal dalam laporan Januari lalu yang masih optimistis menempatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,1 persen. Pemangkasan proyeksi ini tak lepas dari tekanan eksternal, khususnya kebijakan perdagangan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Penerapan tarif dagang resiprokal oleh AS menjadi batu sandungan baru bagi ekspor RI. Pemerintah mencatat, Indonesia kini dikenakan tarif sebesar 32 persen dan bisa melonjak hingga 47 persen untuk beberapa komoditas tertentu. Langkah proteksionis tersebut dipandang IMF sebagai faktor utama yang akan memperdalam defisit neraca transaksi berjalan Indonesia, dari minus 0,6 persen pada 2024 menjadi minus 1,5 persen pada 2025, dan makin dalam ke 1,6 persen pada 2026.
Tak hanya ekspor yang terdampak, tekanan ini juga diperkirakan akan mengganggu stabilitas ketenagakerjaan. IMF memproyeksikan tingkat pengangguran di Indonesia akan meningkat perlahan dari 4,9 persen pada 2024 menjadi 5 persen pada 2025, lalu naik tipis lagi ke 5,1 persen pada 2026.
Ironisnya, di saat Indonesia tersendat, beberapa negara tetangga masih menunjukkan resiliensi. Vietnam, meski turut terimbas kebijakan tarif dari AS, tetap diproyeksi tumbuh lebih tinggi dari Indonesia. IMF memprediksi ekonomi Vietnam akan naik sebesar 5,2 persen pada 2025, meski melambat dari realisasi 2024 yang mencapai 7,1 persen. Namun perlambatan itu diperkirakan makin tajam di 2026, dengan pertumbuhan hanya sekitar 4 persen.
Sementara itu, Filipina diprediksi akan tumbuh 5,5 persen tahun depan, turun sedikit dari 5,7 persen di 2024, namun diperkirakan kembali bangkit menjadi 5,8 persen pada 2026.
Dengan begitu, posisi Indonesia sebagai salah satu motor ekonomi kawasan ASEAN mulai dipertanyakan. Jika tren ini berlanjut, bukan tak mungkin Vietnam dan Filipina akan mengambil alih sorotan investor asing yang selama ini melihat Indonesia sebagai pasar utama di Asia Tenggara.
Adapun Dosen Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi nasional kemungkinan besar memang tidak akan menembus angka 5 persen.
Menurutnya, penyebab utamanya adalah pelemahan pada konsumsi rumah tangga, yang sejatinya menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Tingkat konsumsi di Indonesia sedang mengalami penurunan. Padahal ekonomi Indonesia itu 56-58 persen dari konsumsi rumah tangga,” ujar Wijayanto dalam diskusi yang bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia. Beberapa waktu lalu. Jakarta, Rabu 23 April 2025.
Wijayanto memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama kemungkinan hanya berada di kisaran 4,7-4,8 persen. Hal serupa diperkirakan akan berlanjut di kuartal kedua.
“Kuartal kedua, year on year ya, kuartal kedua mungkin juga berada di level yang sama,” ujarnya.
Cenderung Bersikap Wait And See
Menurutnya, tekanan global yang semakin memburuk turut berkontribusi terhadap sikap kehati-hatian di kalangan pelaku ekonomi. Ketidakpastian ini membuat banyak pihak, termasuk pengusaha dan masyarakat umum, cenderung bersikap wait and see.
“Kenapa global semakin memburuk? Ini membuat secara psikologi semua orang wait and see. Apakah ini pengusaha, apakah ini masyarakat yang akan mengkonsumsi,” ujarnya.
Wijayanto juga menyoroti peran penting pembiayaan dalam aktivitas ekonomi. Di tengah situasi yang tidak menentu, masyarakat cenderung menahan diri untuk mengambil keputusan finansial jangka panjang, seperti membeli rumah atau kendaraan.
“Banyak sekali transaksi ekonomi itu difasilitasi oleh pinjaman. Dalam situasi sangat tidak menentu ini, orang pasti berpikir ulang untuk komit melakukan transaksi yang berdampak jangka panjang. Misalnya membeli rumah, membeli mobil, dan lain sebagainya. Apalagi sekutu juga belum tentu stabil, kemudian pendapatan konsumen juga belum tentu stabil,” jelasnya.
Melihat kondisi ini, Wijayanto mengusulkan agar pemerintah melakukan penyesuaian terhadap program-program prioritasnya. Ia menyarankan agar fokus anggaran dialihkan sementara ke program jangka pendek yang berdampak langsung pada masyarakat.
“Makanya saya mengusulkan supaya pemerintah melakukan rekalibrasi program-program besar jangka panjangnya dialokasikan untuk program-program yang immediate, yang short term, yang menciptakan lapangan kerja, mendongkrak daya beli,” pungkasnya.
Rendahnya Penyerapan Anggaran Negara
Ekonom senior dari INDEF, Aviliani memprediksi kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap dapat bertahan di atas 5 persen. Menurutnya, ketegangan perdagangan yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bisa memberikan tekanan terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Mengacu pada laporan dari Reuters, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa tarif balasan sebesar 32 persen berpotensi menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun hingga 0,5 persen.
Menanggapi hal itu, Aviliani menilai bahwa meski secara angka pertumbuhan ekonomi Indonesia mungkin masih menunjukkan angka di atas 5 persen, hal tersebut belum tentu menggambarkan adanya pemerataan kesejahteraan. Apalagi bila kebijakan fiskal yang ada tidak memihak kepada kelompok rentan.
“Pertumbuhan ekonomi sih bisa saja 5 persen, tapi persoalannya adalah pertumbuhan itu menjadi tidak berkualitas karena tidak merata kepada semua masyarakat,” ujar Aviliani dalam diskusi berjudul Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, yang berlangsung pada Jumat, 11 April 2025.
Ia menambahkan bahwa konsumsi domestik saat ini masih didominasi oleh kelas menengah atas dan kalangan atas yang berkontribusi sekitar 65 persen terhadap total konsumsi nasional. Kelompok tersebut, menurutnya, tetap mampu berbelanja bahkan di tengah situasi sulit karena bisa memanfaatkan keuntungan dari suku bunga tinggi.
“Harusnya kontribusi belanja mereka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelas menengah bawah dan juga orang miskin. Karena kalau miskin itu dapat Bantuan Langsung Tunai (BLT), tapi menengah bawah ini yang cenderung tidak mendapat BLT, mereka harus bertahan hidup sendiri. Nah, inilah PR pemerintah itu sebenarnya ada di sini,” ujarnya lagi.
Aviliani juga menyarankan agar kebijakan subsidi, seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), dapat lebih diarahkan kepada kelompok menengah bawah yang dinilainya belum mendapat cukup perlindungan dari sisi fiskal.
“Kita sudah tahu dari zaman dulu yang menikmati (subsidi) siapa sih. Nah ini mungkin perlu realokasi di dalam subsidi, realokasi dalam menciptakan lapangan pekerjaan,” tegasnya.
Ia turut menekankan bahwa pemberian bantuan sosial seharusnya tidak menjadi satu-satunya solusi tanpa diiringi pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Kalau kita arahnya lebih banyak ke sosial tapi tidak ada pemberdayaan, ini akan berbahaya juga. Karena otomatis orang yang harusnya bisa menciptakan demand jadi tidak menambah demand,” tambahnya.
Aviliani juga menyoroti persoalan rendahnya penyerapan anggaran negara yang dinilai bisa berdampak terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kalau efisiensi atau pengalihan anggaran ini lambat di dalam belanja, itu bisa menurunkan tingkat pertumbuhan sampai 0,2 persen,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menilai bahwa peran belanja daerah (APBD) dan belanja negara (APBN) sangat penting, terutama di luar kota-kota besar. Menurutnya, di wilayah kabupaten, perputaran ekonomi sangat bergantung pada belanja pemerintah daerah.
“Kalau di kota-kota besar mungkin tidak terlalu terasa. Tapi kalau di daerah-daerah, kabupaten terutama ya, itu kecenderungannya APBD itu menjadi katalisator dalam ekonomi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa jika terjadi penghematan atau keterlambatan dalam realisasi anggaran, maka dampaknya akan terasa langsung dan dapat memperlambat pergerakan ekonomi lokal.
Kendati menghadapi berbagai tantangan, Aviliani tetap menyampaikan optimismenya bahwa apabila pemerintah dapat melakukan realokasi anggaran secara tepat, maka target pertumbuhan ekonomi nasional bukan hanya bisa tercapai, tetapi juga mungkin untuk melampaui.
“Saya sih masih yakin kalau ini bisa dijalankan, 5,2 persen saja sih mampu,” tutupnya.(*)