KABARBURSA.COM - Peningkatan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menandakan adanya tekanan terhadap mata uang Indonesia dalam konteks pasar global. Pada Rabu 17 April 2024, terjadi pelemahan signifikan di mana USD1 setara dengan Rp16.235 di pasar spot, menempatkan rupiah pada posisi terlemahnya sejak April 2020 atau dalam 4 tahun terakhir. Pelemahan ini juga terlihat dalam perbandingan dengan nilai tukar sehari sebelumnya, di mana rupiah melemah sebesar 0,37 persen.
Selama sepekan terakhir, mata uang Indonesia mengalami pelemahan sebesar 1,98 persen secara point-to-point, sementara dalam rentang sebulan terakhir, depresiasi mencapai 3,97 persen. Ini menunjukkan tren pelemahan yang cukup signifikan dalam periode singkat, yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk sentimen pasar global, kondisi ekonomi domestik, dan kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat memiliki dampak yang luas, termasuk potensi inflasi yang lebih tinggi karena kenaikan harga impor, serta tekanan terhadap daya beli masyarakat dalam negeri. Ini menjadi perhatian bagi pemerintah dan otoritas ekonomi untuk mengambil langkah-langkah yang tepat guna mengatasi pelemahan ini dan menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Sepanjang tahun ini (year-to-date/ytd), rupiah membukukan pelemahan 5,35 persen secara point-to-point. Lebih dalam ketimbang depresiasi yuan China (1,89 persen), rupee India (2,96 persen), ringgit Malaysia (4,39 persen), dolar Singapura (3,37 persen), dolar Hong Kong (0,28 persen), dan peso Filipina (3,15 persen).
Pelemahan rupiah hanya lebih baik dibandingkan yen Jepang (9,64 persen), won Korea Selatan (7,4 persen), dan baht Thailand (6,78 persen).
Dari sisi eksternal, memang tekanan terhadap rupiah dan mata uang negara-negara berkembang sedang tinggi. Tren penguatan dolar AS membuat mata uang negara-negara lain melemah.
Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia) saat ini berada di level 106. Sesuatu yang belum pernah terlihat sejak Oktober tahun lalu.
Penguatan dolar AS terjadi karena pasar makin pesimistis bahwa bank sentral Federal Reserve bisa menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Bahkan prospek penurunan Federal Funds Rate makin terbatas, mungkin hanya sekali tahun ini.
Teranyar dolar AS mendapat angin segar dari pernyataan Gubernur Bank Sentral Federal Reserve Jerome ‘Jay’ Powell. Dalam sebuah diskusi panel di Washington DC, Powell memberi sinyal bahwa penurunan suku bunga acuan mungkin akan tertunda karena ekonomi Negeri Adikuasa yang masih digdaya.
“Sejumlah data terakhir jelas tidak membuat kami percaya diri dan memberi indikasi mungkin butuh waktu lebih lama untuk mencapai keyakinan itu. Dengan solidnya pasar tenaga kerja dan inflasi sejauh ini, maka menjadi layak (appropriate) untuk menerapkan kebijakan restriktif lebih lama lagi dan melihat bagaimana data berkembang,” jelas Powell.
Ditopang oleh sentimen suku bunga yang higher for longer, dolar AS pun kembali menguat. Akibatnya, mata uang negara-negara lain sepertinya akan menjadi ‘tumbal’, tidak terkecuali rupiah.
Namun di dalam negeri, bukan berarti rupiah tidak menghadapi problema. Masalah yang terus membayangi rupiah adalah fundamental yang lemah.
Fundamental rupiah yang rapuh disebabkan oleh ekonomi Indonesia yang masih terbeban oleh defisit kembar alias twin deficit. Defisit itu adalah di sisi fiskal dan transaksi berjalan (current account).
Di sisi fiskal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terus mengalami defisit. APBN yang defisit berarti pemerintah harus menambalnya dengan menarik utang.
Kala utang itu datang dari luar negeri, maka kebutuhan valas pemerintah meningkat. Hasilnya, rupiah akan tertekan.
Di sisi transaksi berjalan, Indonesia pun kerap kali mengalami defisit. Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa.
Pasokan valas dari pos ini lebih bertahan lama, jangka panjang, ketimbang yang datang dari investasi portofolio di pasar keuangan (hot money). Jadi, tidak heran transaksi berjalan merupakan fundamental penting bagi mata uang sebuah negara.
Dengan fundamental yang rapuh tersebut, maka tidak heran rupiah dalam tren melemah. Tanpa perbaikan struktural, sulit bagi twin deficit untuk pergi dan rupiah akan terus dihantui depresias