Logo
>

Rencana Ekspansi IoT JAST: Ambisi Besar, Laba Tipis, Risiko Membengkak

Ekspansi IoT bersama Xiaowei membuka peluang baru bagi JAST, tapi kinerja keuangan masih rapuh dengan margin tipis dan biaya tinggi yang berpotensi menekan laba jangka pendek.

Ditulis oleh Yunila Wati
Rencana Ekspansi IoT JAST: Ambisi Besar, Laba Tipis, Risiko Membengkak
Aktivitas pencatatan saham perdana PT Jasnita Telekomindo Tbk. Foto: Dok JAST.

KABARBURSA.COM – Langkah ekspansi PT Jasnita Telekomindo Tbk (JAST) ke bisnis Internet of Things (IoT) melalui kemitraan dengan perusahaan Tiongkok Xiaowei Technology (Zhuhai) Co., Ltd menjadi babak baru dalam transformasi digital emiten ini. 

Setelah sukses menggarap proyek Smart City dan layanan darurat 112, JAST kini menargetkan ekosistem smart living dan smart working lewat solusi smart home, smart office, serta integrasi perangkat pintar seperti sensor gas, detektor asap, dan sistem keamanan digital.

Secara strategis, langkah ini adalah lompatan yang sejalan dengan tren global. Model bisnis IoT menjanjikan arus pendapatan berulang (recurring income) dan perluasan margin layanan jika berhasil dikomersialisasi secara masif. 

Di atas kertas, kolaborasi dengan Xiaowei bahkan diproyeksikan dapat meningkatkan pendapatan hingga 20 persen pada 2026. Namun, jika menilik kinerja keuangan JAST saat ini, ambisi tersebut justru mengandung risiko yang tidak kecil.

Data kuartal III-2025 memperlihatkan kontras tajam antara narasi pertumbuhan dan realita finansial. Pendapatan JAST memang melonjak menjadi Rp60 miliar, tertinggi dalam dua tahun terakhir, tetapi beban pokok penjualan juga menanjak ke Rp45 miliar. 

Kondisi ini membuat laba kotor merosot hanya Rp15 miliar. Ironisnya, angka itu habis terserap untuk beban usaha yang mencapai Rp15 miliar, sehingga laba usaha nyaris nihil. Perusahaan memang mencatat laba bersih sekitar Rp1 miliar, tetapi margin yang dihasilkan terlalu tipis untuk menopang ekspansi besar di sektor teknologi tinggi.

Kinerja kuartalan juga memperlihatkan fluktuasi ekstrem. Laba bersih pada Q2-2025 mencapai Rp10 miliar, lalu anjlok menjadi Rp1 miliar di Q3, bahkan sempat rugi Rp6 miliar pada Q4-2024. Pola ini mencerminkan pendapatan yang masih berbasis proyek, belum recurring income

Artinya, meski JAST gencar berbicara soal “ekosistem pintar”, secara model bisnis ia masih mengandalkan pendapatan satu kali bayar (one-off project) ketimbang langganan berulang.

Beban Biaya Semakin Besar, Tekan Laba Kotor

Masalah lain yang menonjol adalah efisiensi operasional. Rasio keuangan menunjukkan Return on Equity (ROE) hanya 8,7 persen dan Return on Assets (ROA) 3,4 persen, bahkan sempat negatif di beberapa kuartal. 

Margin bersih di bawah 3 persen memperlihatkan betapa rapuhnya profitabilitas JAST. Dengan struktur beban usaha yang nyaris setara dengan pendapatan, setiap kenaikan biaya pemasaran atau riset langsung menghapus seluruh potensi laba.

Kondisi ini mempertegas bahwa ekspansi IoT JAST saat ini lebih mencerminkan kenaikan biaya dibanding kenaikan laba. Ekspansi ke smart living dan smart office memerlukan investasi besar untuk riset, pembelian perangkat, dan pengembangan sistem. Sementara arus kas operasional perusahaan masih tipis. 

Jika penjualan produk IoT belum mencapai skala ekonomi, beban tetap yang tinggi bisa menggerus margin dan menekan arus kas.

Dengan kata lain, JAST memang tumbuh, tapi belum untung secara efisien. Pertumbuhan pendapatan tidak serta-merta berarti peningkatan kesejahteraan finansial. Justru sebaliknya, ekspansi agresif di tengah struktur keuangan yang lemah bisa memperbesar risiko cash flow mismatch, di mana biaya keluar jauh lebih cepat daripada penerimaan kas.

Transformasi ke sektor IoT jelas langkah yang tepat secara strategis, tetapi secara finansial timing-nya belum ideal. Likuiditas memang terjaga, namun margin laba dan arus kas operasional tidak cukup kuat untuk menopang ekspansi padat modal. 

Hingga kini, belum terlihat bukti bahwa diversifikasi ini menghasilkan pendapatan berulang yang stabil.

Dengan kondisi demikian, ekspansi IoT JAST tampak seperti pertaruhan antara visi jangka panjang dan daya tahan jangka pendek. Jika berhasil, perusahaan bisa keluar dari jebakan proyek berbasis tender menuju bisnis digital berulang. 

Namun jika gagal mengendalikan biaya dan memperkuat monetisasi layanan, ekspansi ini bisa berubah menjadi beban finansial yang memperlambat kinerja.

Kesimpulannya, kemitraan dengan Xiaowei membuka peluang strategis besar bagi JAST, tapi secara keuangan langkah ini datang di saat perusahaan belum benar-benar siap. Pendapatan naik, tapi laba tak ikut tumbuh. 

Beban usaha tinggi, margin tipis, dan profit yang fluktuatif membuat JAST berada di fase grow first, profit later, yaitu sebuah strategi yang penuh risiko bila tidak diimbangi disiplin finansial yang kuat.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79