KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp81,6 triliun setiap tahunnya untuk mendukung transisi energi menuju pencapaian Net Zero Emission atau Emisi Nol Karbon pada tahun 2060 mendatang.
Dalam upaya mencapai tujuan ini, diperlukan investasi besar dalam infrastruktur energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan, yang diyakini akan memainkan peran krusial dalam mengurangi jejak karbon negara kita secara signifikan.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan, pemerintah telah mengidentifikasi membutuhkan dana sekitar Rp81,6 triliun setiap tahunnya.
“Pemerintah telah mengidentifikasi sekitar USD7 miliar atau sekitar Rp81,6 triliun dibutuhkan tiap tahunnya dalam mendukung transisi menuju NRE,” kata Inarno Djajadi dalam sambutannya di Road To SAFE 2024.di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 22 Juli 2024.
Mengutip laporan World Bank, Inarno mengatakan, tingginya angka emisi karbon telah menjadi salah satu sumber penyebab perubahan iklim. Diperkirakan jumlah emisi karbon dapat meningkat kembali ke level sebelum pandemi COVID-19 apabila pemulihan pasca pandemi tidak memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, lanjut Inarno, upaya mitigasi dan adaptasi terhadap ancaman perubahan iklim yang dapat beriringan dengan pembangunan perlu disiapkan secara bertahun-tahun agar proses transisinya dapat berjalan dengan masyarakat.
“Hal tersebut juga menuntut perencanaan yang tepat terutama dalam mengalokasikan sumber daya yang dimiliki,” ujarnya.
OJK, kata Inarno, terus berupaya berperan aktif mendukung berbagai kebijakan dan tujuan pemerintah melalui berbagai kebijakan dan inisiatifnya dalam penerapan keuangan berkelanjutan.
Inisiatif tersebut dimulai melalui penerbitan roadmap keuangan berkelanjutan yang merupakan inisiatif berjangka menengah panjang 10 tahun. Adapun untuk fase pertama, jangka pendek, dan menengah, dilaksanakan di tahun 2015 sampai dengan 2020 dan fase kedua untuk jangka panjang dilaksanakan untuk periode 2021-2025.
Sebagai langkah konkret dalam menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan, pada fase pertama di 2017 OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 51 tahun 2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga dasar keuangan, emiten, dan perusahaan public.
Seiring berjalannya waktu, demi mendukung program-program pemerintah menuju grief economy, beberapa inisiatif seperti penunjukan regulasi baru POJK 14 2023 tentang perdagangan karbon melalui busa karbon dan penunjukan taksonomi keberlanjutan Indonesia atau TKBI versi 2.0.
Terakhir, OJK juga telah menerbitkan Panduan Climate Risk Management and Scenario Analysis pada 4 Maret 2024 yang lalu. Panduan tersebut merupakan salah satu langkah konkret OJK mendukung pemerintah mencapai target net zero di tahun 2060.
Tepis Bursa Karbon Sepi Peminat
Di kesempatan itu juga, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi menolak anggapan bahwa Bursa Karbon RI atau IDX Carbon mengalami sepi peminat.
Katanya, sejak diluncurkan pada September 2023, total transaksi di Bursa Karbon baru mencatatkan angka sebesar Rp36,7 miliar hingga saat ini. Meskipun demikian, angka ini jauh dari proyeksi potensial bursa karbon yang mencapai Rp3.000 triliun.
“Ini bukan masa sepi peminat,” tegas Inarno.
Selain dari segi volume transaksi, jumlah unit karbon yang diperdagangkan juga masih terbatas, mencapai 600.000 ton unit karbon setara CO2. Saat ini, baru ada 62 pengguna jasa yang mendapatkan izin untuk bertransaksi di bursa karbon, meskipun targetnya pada tahun 2024 adalah mencapai 100 pengguna jasa.
Bursa Karbon sendiri merupakan salah satu langkah Indonesia dalam mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, pasokan karbon di Indonesia masih terbatas, dengan hanya dua perusahaan yang terdaftar, yaitu PT PLN Nusantara Power dan Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE), yang beroperasi di sektor energi.
IDX Carbon berada di bawah pengawasan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai operatornya. Produk yang diperdagangkan di bursa ini meliputi Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Bagi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK). Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh OJK, PTBAE-PU dan SPE-GRK dianggap sebagai efek, sebagaimana yang terjadi di pasar saham.
Kadin Dorong Perdagangan Karbon Kredit Internasional
Beberapa waktu lalu, Angota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Dede Indra Permana Soediro, mengungkapkan ada potensi besar perdagangan karbon kredit di bursa karbon internasional.
Dede mengungkapkan bahwa saat ini negara-negara maju telah aktif melakukan perdagangan karbon kredit, dengan nilai transaksi mencapai rekor USD480 miliar pada tahun 2023. Nilai ini setara dengan Rp8.000 triliun.
“Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas 125,9 juta hektar yang mampu menyerap 25 miliar ton emisi karbon,” kata Dede dalam keterangannya, Sabtu, 20 Juli 2024.
“Apabila Indonesia dapat memanfaatkan potensi perdagangan karbon kredit ini melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka potensi pemasukan negara melalui pajak dan PNBP bisa sangat besar,” sambungnya.
Dede menilai, potensi pasar internasional untuk perdagangan karbon kredit ini sangat masif. Namun, hingga saat ini belum ada regulasi yang memperbolehkan perdagangan karbon kredit di bursa internasional.
Untuk itu, Dede yang juga Anggota Komisi III DPR RI ini mendorong agar ke depannya akan ada pembahasan terkait regulasi perdagangan karbon kredit untuk pasar internasional.
“Potensi karbon kredit Indonesia terlalu besar untuk hanya diperdagangkan di dalam negeri. Kita perlu bergerak lebih maju dengan regulasi yang mendukung,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Dede menyatakan bahwa dengan adanya regulasi ini, Indonesia dapat menambah nilai tambah bagi Pemerintah, sejalan dengan komitmen terhadap isu-isu lingkungan global.
“Indonesia harus mampu memanfaatkan terobosan ini untuk menjadi negara maju,” tutup Dede.
Sistem Karbon Kredit
Salah satu keuntungan utama dari sistem karbon kredit adalah bahwa itu memberikan insentif finansial untuk mengadopsi praktik berkelanjutan. Misalnya, jika seseorang memiliki mobil listrik dan menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan mobil bermesin pembakaran dalam, mereka dapat menjual karbon kredit yang mereka hemat kepada orang atau perusahaan yang memerlukannya. Dengan demikian, individu diberi insentif finansial untuk mengurangi emisi mereka lebih lanjut.
Perlu dicatat bahwa sistem karbon kredit tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga diterapkan dalam skala perusahaan. Banyak perusahaan global telah mengadopsi strategi berkelanjutan dengan membeli karbon kredit untuk mengimbangi emisi mereka. Ini menjadi langkah positif dalam menjaga reputasi perusahaan dan memenuhi tuntutan konsumen yang semakin sadar lingkungan.
Berbagai proyek karbon kredit di seluruh dunia berfokus pada pengurangan emisi melalui berbagai cara. Misalnya, proyek-proyek dapat mencakup pengembangan energi terbarukan, proyek reforestasi, atau pengelolaan limbah.
Dengan berinvestasi dalam proyek-proyek ini, individu dan perusahaan tidak hanya membayar untuk dampak karbon mereka tetapi juga memberikan dukungan nyata terhadap inisiatif berkelanjutan.
Namun, meskipun karbon kredit menjadi langkah positif dalam mengurangi dampak emisi karbon, beberapa kritikus menyatakan bahwa itu tidak boleh menjadi pengganti tindakan nyata untuk mengurangi emisi langsung. Karbon kredit seharusnya hanya menjadi bagian dari upaya yang lebih luas untuk berpindah ke ekonomi rendah karbon.
“Tantangan utama mengenai konsep ekonomi hijau ini tentunya adalah awareness, bagaimana memberikan publik memiliki kesadaran. Butuh kampanye terus menerus, tata aturan yang jelas, infrastruktur yang bisa dipilih. pemerintah harus berkampanye secara utuh, jangan terputus-putus,” kata Dicky.
Secara keseluruhan, karbon kredit adalah instrumen inovatif yang memberikan kekuatan kepada individu untuk bertindak dalam melawan perubahan iklim.
Dengan membayar untuk emisi mereka, setiap orang dapat memiliki kontribusi positif terhadap keberlanjutan planet ini. Sementara karbon kredit bukanlah solusi utama, mereka menjadi alat yang efektif dalam perang melawan perubahan iklim, menunjukkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, dapat memiliki dampak positif yang besar.
Secara keseluruhan, karbon kredit menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Berikut beberapa contoh penerapan karbon kredit seperti perusahaan yang memproduksi emisi gas rumah kaca yang melebihi batas yang diizinkan dapat membeli kredit karbon dari proyek pengurangan emisi untuk mengimbangi emisi mereka. Negara dapat berdagang kredit karbon di pasar internasional untuk memenuhi target emisi mereka di bawah Perjanjian Paris. Hutan dapat menghasilkan kredit karbon dengan menyerap karbon dioksida dari atmosfer.
Kredit karbon adalah alat penting dalam memerangi perubahan iklim dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Dengan memberikan insentif finansial untuk pengurangan emisi, kredit karbon dapat membantu kita mencapai masa depan yang lebih rendah karbon dan lebih berkelanjutan. (*)