KABARBURSA.COM - Langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani memanfaatkan jeda 90 hari yang diberikan Amerika Serikat untuk menyusun kerangka kerja sama ekonomi bersama negara-negara ASEAN dinilai sebagai bentuk diplomasi strategis yang patut diapresiasi.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai di tengah tekanan tarif sepihak dari Washington, Indonesia justru bergerak membangun solidaritas regional untuk memperkuat posisi tawar kawasan.
“Di tengah tekanan tarif sepihak dari Amerika Serikat, Indonesia tidak hanya merespons secara bilateral, tetapi juga memilih membangun solidaritas regional sebagai upaya memperkuat posisi tawar kolektif,” ujar Syafruddin dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 10 April 2025.
Menurutnya, strategi ini tepat karena mengarah pada pembentukan kekuatan kolektif di tengah ketegangan perdagangan global. Namun ia menekankan bahwa langkah tersebut tidak boleh berhenti pada tataran diplomasi semata. Kerangka kerja sama yang digagas harus diwujudkan dalam bentuk aksi nyata yang dapat memperkuat ketahanan ekonomi kawasan.
“Kerangka kerja sama ini harus benar-benar diwujudkan dalam agenda konkret, seperti penguatan rantai pasok regional, harmonisasi standar industri, dan perluasan pasar intra-ASEAN—agar tidak berhenti pada retorika diplomatik,” jelasnya.
Lebih jauh, Syafruddin menjelaskan bahwa dalam konteks game theory, strategi membentuk aliansi seperti ini sangat penting bagi negara berkembang untuk menyeimbangkan dominasi negara adidaya yang makin agresif dalam kebijakan perdagangannya.
“Dalam konteks game theory, strategi ini merupakan langkah membentuk koalisi negara berkembang untuk menyeimbangkan kekuatan negara adidaya yang makin agresif,” terang dia.
Apabila dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan, menurutnya, Indonesia tidak hanya memperkuat daya tahan ekonomi nasional, tetapi juga berpotensi menjadi motor penggerak transformasi ASEAN sebagai kekuatan ekonomi global yang lebih mandiri dan dihormati.
“Jika dijalankan secara konsisten, Indonesia bukan hanya memperkuat daya tahan nasional, tetapi juga ikut memimpin transformasi ASEAN menjadi kekuatan ekonomi yang lebih mandiri, tangguh, dan dihormati dalam arsitektur global,” tuturnya.
Pengumuman Jeda Sementara
Pasar keuangan global mencatat rebound dramatis pada Rabu waktu setempat, atau Kamis dinihari WIB, 10 April 2025, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara mengejutkan mengumumkan jeda sementara dalam kebijakan tarif yang selama ini menjadi pemicu utama kekacauan pasar.
Pernyataan Trump, yang disampaikan pada Rabu sore hari setelah serangkaian tekanan hebat di pasar obligasi dan mata uang, berhasil membalikkan arah pasar secara drastis.
S&P 500 mencatat lonjakan harian tertingginya sejak krisis finansial 2008, ditutup melonjak 9,52 persen ke level 5.456,90, sementara Nasdaq meroket 12,16 persen menjadi 17.124,97, dalam kenaikan satu hari terbesar sejak Januari 2001.
Pengumuman Trump menyebutkan bahwa pemerintahan AS akan memberlakukan jeda tarif selama 90 hari untuk banyak negara, meskipun tetap menaikkan bea masuk atas barang-barang dari Tiongkok menjadi 125 persen. Keputusan ini muncul di tengah kekhawatiran bahwa eskalasi perang dagang yang dimulai awal April akan menyeret perekonomian global ke jurang resesi.
Sebelumnya, pasar sempat terpuruk karena rencana menaikkan tarif ke tingkat tertinggi dalam lebih dari satu abad, mendorong aksi jual besar-besaran di pasar obligasi dan dolar AS.
Namun, euforia pasar tidak sepenuhnya menghapus kekhawatiran jangka panjang. Gina Bolvin, Presiden Bolvin Wealth Management Group, mengatakan bahwa pernyataan Trump merupakan “momen krusial yang telah ditunggu-tunggu pasar,” terutama karena bertepatan dengan awal musim laporan keuangan kuartalan.
Meski demikian, ia juga menekankan bahwa ketidakpastian tetap menyelimuti pasar terkait arah kebijakan tarif setelah masa 90 hari berakhir. Investor kini dihadapkan pada risiko volatilitas lanjutan, dengan ketegangan perdagangan masih menjadi bayang-bayang utama.
Kinerja luar biasa di Wall Street turut mengangkat indeks saham global. MSCI All-Country World Index melonjak 5,70 persen ke posisi 785,28. Namun, reli pasar global ini terjadi setelah penurunan tajam di Eropa sebelumnya, di mana indeks STOXX 600 Eropa ditutup turun 3,5 persen, mencerminkan kepanikan investor sebelum pengumuman jeda tarif dari Trump.
Di sisi obligasi, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun sempat menyentuh 4,515 persen, tertinggi sejak 20 Februari, sebelum akhirnya turun ke 4,328 persen seiring meningkatnya permintaan dalam lelang siang hari yang menunjukkan respons positif investor. Kinerja pasar obligasi belakangan ini menjadi perhatian setelah adanya laporan tentang aksi likuidasi besar-besaran yang memicu kekhawatiran atas likuiditas dan stabilitas pasar.
Mata uang dolar AS juga menunjukkan penguatan pasca pengumuman Trump. Indeks dolar naik 0,25 persen menjadi 103,03, sementara dolar menguat lebih dari 1 persen terhadap yen Jepang dan franc Swiss. Euro tergelincir tipis 0,08 persen ke posisi USD1,0947. Sebelumnya, dolar sempat melemah di tengah kekhawatiran bahwa kebijakan tarif yang agresif akan melemahkan daya saing ekspor AS.
Di pasar komoditas, harga minyak mentah mencatat lonjakan signifikan seiring meningkatnya optimisme bahwa jeda tarif akan mendukung permintaan energi global. Minyak mentah Brent naik 4,23 persen menjadi USD65,48 per barel, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) melonjak 4,65 persen ke $62,35.
Meski pasar saat ini merespons positif langkah jeda tarif dari Presiden Trump, para analis menilai bahwa kejelasan arah kebijakan jangka panjang tetap krusial. Apabila setelah 90 hari tidak ada resolusi konkret, maka gejolak yang lebih hebat bisa kembali terjadi. Dengan laporan keuangan kuartalan perusahaan besar, termasuk sektor perbankan seperti JPMorgan Chase, yang akan dirilis dalam waktu dekat, investor akan mencari petunjuk tambahan mengenai daya tahan ekonomi Amerika Serikat di tengah gejolak kebijakan perdagangan.(*)