KABARBURSA.COM - Indonesia terus menggaungkan aksi damai dalam konflik Timur Tengah (Timteng). Hal ini dilakukan agar perekonomian dalam negeri stabil, usai kondisi kembali menegang setelah Israel melakukan serangan ke Rafah, Palestina, pada 26 Mei 2024 lalu.
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani, mengatakan konflik di Timteng saat ini memiliki potensi cukup besar mempengaruhi perekonomian nasional. "Kita tahu apabila konflik ini berlanjut dan dampaknya terhadap dinamika pasar minyak, dapat menghalangi supply chains di Laut Merah, tentunya juga mempengaruhi nilai tukar," ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Senin, 3 Juni 2024.
Abdul menuturkan apabila konflik di Timteng berkembang menjadi konflik tingkat regional ataupun tingkat kawasan, kemungkinan besar dampaknya akan sangat besar. "Tidak hanya mengenai supply saja, dampaknya juga akan mempengaruhi sektor moneter dan sebagainya," tuturnya.
Abdul menegaskan Indonesia memiliki kepentingan untuk mengelola krisis di Timteng. Dia bilang, hal ini bukan hanya persoalan solidaritas, tapi juga untuk melindungi kepentingan nasional.
Menurut dia, Indonesia telah melakukan diplomasi untuk mengelola krisis tersebut. Salah satunya adalah mendorong berhentinya kekerasan di Timteng, khususnya di Gaza. "Karena bagi kita berhentinya kekerasan itu akan menimbulkan deklarasi keadaan yang akan berdampak positif," jelas.
Lalu kemudian, lanjut Abdul, Indonesia akan terus memberi bantuan kemanusiaan untuk warga di Gaza. Dan yang terakhir dikatakan dia, Indonesia bakal memulai kembali pembicaraan damai antara Israel dan Palestina.
Sementara itu Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro & Keuangan Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan menyatakan perekonomian Indonesia masih stabil meski ada konflik di Timteng. "Sampai saat ini kinerja ekonomi atau mata uang kita itu masih cukup bagus," ungkap dia dalam kesempatan yang sama.
Dari berbagai indikator nilai tukar misalnya, kata Ferry, Indonesia masih lebih baik dengan depresiasi yang terjadi di sejumlah negara di dunia. "Kalau kita lihat sampai saat ini, misalnya yang paling tinggi depresiasinya itu Jepang minus 10,13 persen, kemudian ada Turki yang 8,65 persen dengan 10 persen," pungkasnya.
Konflik di Timteng memang sangat berpengaruh terhadap ekonomi, terutama dari harga minyak. Seperti misalnya eskalasi ketegangan di Timteng beberapa waktu lalu sempat mengerek harga minyak naik pada hari kedua berturut-turut. Pasalnya, Israel menolak usulan gencatan senjata untuk Jalur Gaza.
Kabinet perang Israel menolak proposal gencatan senjata yang disetujui oleh Hamas. Negara Yahudi ini bersumpah untuk melanjutkan operasi militer di Rafah, sebuah kota besar di Gaza.
Harga patokan global Brent mendekati angka USD84 per barel setelah mengalami kenaikan sebesar 0,5 persen pada hari Senin, 6 Mei 2024, sedangkan harga West Texas Intermediate (WTI) juga mendekati angka USD79.
Kemudian selang beberapan waktu tepatnya pada Senin, 13 Mei 2024 pukul 11.30 WIB, harga minyak jenis WTI turun sebesar 0,17 persen menjadi USD 78,069. Sementara harga minyak Brent juga mengalami penurunan sebesar 0,29 persen menjadi USD 82,55 per barel.
Analis dari Deu Calion Futures (DCFX) Andrew Fischer menyatakan bahwa sentimen utama yang menyebabkan penurunan harga minyak adalah meredanya konflik di Timteng dan fundamental pasar yang semakin menurun.
“Penurunan harga minyak yang cukup signifikan dapat diantisipasi karena konflik-konflik yang sebelumnya mempengaruhi pasokan minyak kini mereda. Hal ini diharapkan akan berdampak positif pada daya beli di masa mendatang, karena investor dapat memanfaatkan penurunan harga minyak ini untuk investasi,” jelas dia.
“Meskipun begitu, kita perlu ingat bahwa tren harga saat ini masih menunjukkan kecenderungan penurunan, dipengaruhi oleh penurunan daya beli dan penguatan nilai tukar dolar AS,” ujar Fischer dalam risetnya pada Senin, 13 Mei 2024.
Meski demikian, Fischer memprediksi bahwa minggu ini akan memberikan peluang yang cukup baik untuk penurunan harga minyak, terutama bagi para investor yang tertarik pada minyak jenis WTI.
“Harga minyak Brent kemungkinan akan turun di bawah USD80 per barel karena faktor-faktor yang cenderung bearish semakin dominan,” tambahnya.
Fischer juga mencatat bahwa Macquarie, sebuah perusahaan riset investasi dan keuangan, memperkirakan harga minyak hingga paruh kedua tahun ini akan cenderung bearish. Pasokan minyak non-OPEC juga terus meningkat, sementara permintaan diproyeksikan meningkat sebagai akibat dari inflasi yang terus berlanjut.
“Meskipun ada spekulasi tentang kemungkinan OPEC memperpanjang pemangkasan produksi, hal ini belum cukup untuk menahan penurunan harga minyak,” ungkapnya.
Fischer menambahkan bahwa dalam sebulan terakhir, harga minyak telah melemah sekitar USD8 per barel dari puncaknya pada Oktober lalu. Penurunan utama ini disebabkan oleh berkurangnya ketegangan geopolitik di Timteng, khususnya antara Israel dan Iran.
Selain itu, pemangkasan prospek harga minyak oleh Energy Information Energy juga memberikan tekanan tambahan pada harga, dengan perkiraan harga Brent tahun 2024 dipangkas menjadi USD87,79 per barel. (yog/*)