Logo
>

Risiko Investasi tak Langsung ke Startup: Lewat Emiten

Investasi bukan judi, karena membutuhkan seni ilmiah yang membutuhkan perencanaan, pemahaman, dan analisa investasi yang mendalam. Tidak semua emiten pendatang baru bagus untuk diinvestasikan, tapi kita perlu mencermati agar tidak merugi.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Risiko Investasi tak Langsung ke Startup: Lewat Emiten
Warga melintas depan Bursa Efek Indonesia (BEI) Jln Sudirman. Foto: Abbas Sandji/KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Investasi pada perusahaan rintisan atau startup tidak selalu dilakukan secara langsung oleh investor individu atau institusi melalui pendanaan tahap awal. 

    Di pasar modal, terdapat fenomena meningkatnya jumlah emiten yang menanamkan dana ke startup, baik melalui anak usaha maupun pembentukan dana ventura internal. 

    Skema ini membuka peluang bagi investor publik untuk terpapar pada portofolio startup secara tidak langsung. Namun, model investasi ini juga mengandung beragam risiko yang perlu dicermati.

    Dalam struktur investasi tidak langsung, emiten yang telah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi perantara antara dana investor publik dan entitas startup yang menerima pendanaan. 

    Emiten tersebut dapat membentuk anak usaha khusus atau bermitra dengan perusahaan modal ventura untuk menyalurkan dana ke perusahaan rintisan, terutama yang bergerak di bidang teknologi, keuangan digital, atau ekonomi hijau.

    Menurut Joseph Gompers dan Josh Lerner dalam buku The Venture Capital Cycle, struktur seperti ini menciptakan lapisan tambahan antara investor dan aset yang menjadi sasaran investasi. Hal ini menyebabkan penilaian risiko menjadi lebih kompleks, mengingat investor tidak memiliki keterlibatan langsung terhadap proses due diligence, monitoring, maupun keputusan keluar dari investasi.

    Salah satu risiko utama dalam skema ini adalah kurangnya transparansi valuasi startup. Emiten kerap mengungkapkan investasi dalam bentuk nilai historis atau book value, padahal valuasi startup sangat fluktuatif dan tidak selalu mencerminkan nilai pasar sebenarnya. Aswath Damodaran dalam bukunya yang berjudul Investment Valuation menjelaskan bahwa valuasi startup cenderung spekulatif karena ketidakpastian arus kas masa depan dan tidak adanya rekam jejak laba.

    Selain itu, keterbatasan likuiditas pada portofolio startup juga menjadi tantangan. Tidak seperti saham publik yang dapat diperjualbelikan setiap saat, investasi pada startup biasanya bersifat jangka panjang dengan horizon exit yang tidak pasti. Dilansir dari jurnal Kaplan dan Scholar dalam jurnal The Journal of Finance mencatat bahwa exit pada portofolio startup—baik melalui IPO maupun akuisisi—memerlukan waktu bertahun-tahun, dan tidak semua investasi mencapai tahap tersebut.

    Persoalan lainnya adalah kesenjangan informasi antara manajemen emiten dan investor publik. Emiten memiliki akses penuh terhadap informasi strategis startup, termasuk kondisi keuangan dan tantangan operasional, sedangkan investor hanya mengandalkan keterbukaan informasi yang dirilis melalui laporan keuangan triwulanan. Ketidakseimbangan ini memperbesar risiko asimetri informasi dan potensi salah harga saham.

    Banyak emiten menyampaikan bahwa investasi ke startup merupakan bagian dari strategi inovasi terbuka atau open innovation. Open innovation memungkinkan perusahaan besar mengakses ide-ide baru dari luar struktur internalnya. Dalam konteks emiten, ini bisa berarti diversifikasi pendapatan, penguatan ekosistem digital, atau penyiapan sumber pertumbuhan baru.

    Namun, keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada tata kelola dan pengelolaan portofolio startup yang efektif. Bila tidak didukung oleh pengalaman dan keahlian dalam menilai startup, investasi tersebut justru bisa menjadi beban. Bernstein, Korteweg, dan Laws dalam bukunya yang berjudul Review of Financial Studies menunjukkan bahwa keberhasilan startup sangat dipengaruhi oleh kualitas dukungan awal yang diberikan oleh investor.

    Secara makro, pengawasan regulator juga menjadi faktor penting dalam memastikan skema ini tidak menimbulkan risiko sistemik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memperkuat regulasi atas pengungkapan investasi ke startup oleh emiten, termasuk metode valuasi, kriteria seleksi, dan strategi exit. Investor publik perlu mendapatkan visibilitas yang lebih baik terhadap portofolio startup yang dimiliki emiten, tidak hanya dalam bentuk angka investasi, tapi juga narasi kinerja dan arah pertumbuhan.

    Dari sisi investor ritel, pemahaman akan risiko investasi tidak langsung ini menjadi sangat krusial. Sebab, meskipun saham emiten terdaftar dan diperdagangkan secara terbuka, underlying exposure terhadap startup bisa sangat volatile. Apabila startup gagal berkembang atau bahkan tutup, maka nilai investasi emiten bisa tergerus signifikan, yang pada akhirnya berdampak pada harga saham di pasar.

    Strategi mitigasi risiko bagi investor antara lain adalah dengan menelaah lebih dalam laporan keuangan emiten, khususnya pos investasi jangka panjang dan laporan entitas asosiasi. Rasio profitabilitas, debt to equity ratio, serta keberadaan goodwill dari investasi startup juga patut dicermati. Jika proporsi investasi startup mendominasi struktur aset emiten, maka investor harus bersiap menghadapi volatilitas yang lebih tinggi.

    Di sisi lain, investasi tidak langsung ini juga membuka peluang besar bila portofolio startup berhasil tumbuh dan melantai di bursa. Potensi capital gain dari divestasi saham startup bisa signifikan dan menjadi kontributor utama laba bersih emiten. Oleh karena itu, model ini bukan tanpa prospek, namun tetap menuntut kehati-hatian tinggi.

    Secara umum, investasi tidak langsung ke startup melalui emiten di pasar modal menghadirkan dua sisi mata uang, yakni : antara peluang pertumbuhan tinggi dan risiko valuasi yang rapuh. Untuk itu, investor perlu lebih proaktif dalam mengkaji strategi korporasi emiten, transparansi pelaporan, dan dinamika sektor startup yang menjadi target investasi.

    Dengan demikian, investasi di pasar modal tidak lagi semata-mata bergantung pada kinerja konvensional perusahaan, namun turut dipengaruhi oleh arah pertumbuhan startup yang ada di balik layar struktur korporasi. Investor dituntut untuk berpikir dua langkah ke depan, tidak hanya melihat laporan kuartalan, tapi juga membaca arah jangka panjang dari portofolio startup yang mereka danai secara tidak langsung.

    Investasi tak langsung ke startup melalui emiten memberikan peluang kepada investor ritel untuk ikut menikmati potensi pertumbuhan sektor baru. Namun, jalur ini juga menyimpan berbagai risiko yang tidak kalah besar dibanding investasi langsung. Informasi yang terbatas, valuasi yang tidak transparan, risiko likuiditas, dan strategi yang tidak terintegrasi menjadi tantangan utama.

    Investor perlu lebih kritis dalam menilai laporan keuangan emiten, memahami eksposur startup secara menyeluruh, serta mempertimbangkan portofolio bisnis emiten secara holistik. Memahami konteks investasi startup dari sisi venture capital dan corporate innovation juga sangat penting agar tidak terjebak dalam euforia pasar tanpa dasar fundamental.

    Sebagai penutup, investasi melalui jalur emiten bukanlah solusi bebas risiko untuk terlibat dalam dunia startup. Ia tetap menuntut kecermatan analisis dan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara perusahaan publik dan portofolio investasinya di sektor inovatif.

    Banyak investor menganggap bahwa karena startup memiliki potensi pertumbuhan tinggi, maka kepemilikan startup akan otomatis meningkatkan nilai saham emiten. Padahal, realisasinya tidak selalu demikian. Korelasi antara performa startup dan harga saham emiten tidak bersifat linier.

    Apabila startup yang didanai emiten terlibat dalam kasus hukum, pelanggaran etika, atau kegagalan bisnis, reputasi emiten bisa terkena imbas meski tidak secara operasional terlibat. Hal ini bisa memicu ketidakpercayaan pasar dan memicu tekanan jual terhadap saham emiten.

    Lebih lanjut, regulasi pasar modal di beberapa negara—termasuk Indonesia—belum mewajibkan pengungkapan detil mengenai eksposur startup yang tidak material. Artinya, investor tidak selalu mendapatkan gambaran lengkap tentang seluruh afiliasi startup yang dimiliki emiten, kecuali jika masuk kategori transaksi material.

    Perlakuan akuntansi terhadap investasi emiten di startup juga dapat menjadi sumber risiko. Banyak perusahaan mencatat penyertaan modal ke startup sebagai bagian dari investasi jangka panjang atau aset tidak lancar lainnya, tanpa penjabaran detail mengenai mekanisme revaluasi.

    Selain itu, investor juga dapat mencermati rekam jejak keputusan investasi emiten sebelumnya. Apakah emiten tersebut pernah mencatat keuntungan signifikan dari divestasi startup? Ataukah justru mencatatkan rugi penurunan nilai (impairment loss) yang besar? Tren historis ini dapat menjadi indikasi kemampuan manajemen dalam memilih dan mengelola portofolio startup secara cermat.

    Di sisi lain, investasi tidak langsung ini juga membuka peluang besar bila portofolio startup berhasil tumbuh dan melantai di bursa. Potensi capital gain dari divestasi saham startup bisa signifikan dan menjadi kontributor utama laba bersih emiten. Oleh karena itu, model ini bukan tanpa prospek, namun tetap menuntut kehati-hatian tinggi. Untuk investor yang memiliki toleransi risiko lebih tinggi, paparan terhadap emiten yang agresif berinvestasi di startup bisa menjadi bagian dari strategi portofolio yang bertujuan mengejar pertumbuhan jangka panjang.

    Namun, investor dengan profil risiko konservatif sebaiknya membatasi eksposur terhadap saham emiten yang terlalu agresif dalam strategi ini, terutama jika kontribusi pendapatan dari core business justru menurun. Risiko penurunan kinerja fundamental bisa tertutup sementara oleh capital gain dari startup, tapi tidak menjamin keberlanjutan performa jangka panjang.

    Untuk itu, investor perlu lebih proaktif dalam mengkaji strategi korporasi emiten, transparansi pelaporan, dan dinamika sektor startup yang menjadi target investasi.

    Berikut 7 analisa investasi yang harus diketahui investor pemula.

    Ditulis di KabarBursa.com sebelumnya, investasi bukan judi, karena membutuhkan seni ilmiah yang membutuhkan perencanaan, pemahaman, dan analisa investasi yang mendalam. Bagi mereka yang serius mengembangkan kekayaan mereka dan memahami dinamika pasar keuangan, analisis investasi adalah elemen krusial.

    1. Analisis Fundamental

    Analisis fundamental adalah fondasi dari kebanyakan keputusan investasi. Ini melibatkan evaluasi aspek mendasar dari suatu aset, seperti kinerja keuangan perusahaan, proyeksi laba rugi, dan posisi industri. Investor yang mendalami analisis fundamental dapat mengidentifikasi saham atau instrumen keuangan lainnya yang mungkin undervalued atau overvalued.

    2. Analisis Teknikal

    Bagi mereka yang tertarik pada tren dan pola harga, analisis teknikal adalah alat yang efektif. Ini melibatkan pemahaman grafik harga dan volume perdagangan untuk memprediksi pergerakan harga di masa depan. Meskipun terkadang kontroversial, analisis teknikal dapat memberikan wawasan berharga tentang perilaku pasar.

    3. Analisis Sentimen

    Pasar keuangan tidak hanya didorong oleh fakta dan angka; sentimen juga memainkan peran penting. Analisis sentimen melibatkan pemahaman perasaan dan keyakinan investor terhadap suatu aset atau pasar. Berita, ulasan, dan media sosial sering menjadi sumber informasi untuk menganalisis sentimen pasar.

    4. Analisis Makroekonomi

    Faktor-faktor ekonomi global seperti suku bunga, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi dapat memiliki dampak signifikan pada investasi. Analisis makroekonomi mencakup evaluasi faktor-faktor ini untuk memahami kondisi ekonomi saat ini dan meramalkan arah potensial pasar.

    5. Analisis Mikroekonomi

    Sementara analisis makroekonomi melibatkan gambaran besar, analisis mikroekonomi lebih fokus pada faktor-faktor spesifik yang memengaruhi kinerja perusahaan atau aset tertentu. Ini bisa mencakup penilaian manajemen, strategi pemasaran, dan kekuatan bersaing suatu perusahaan.

    6. Analisis Risiko

    Investasi selalu melibatkan risiko, dan memahami risiko adalah kunci untuk mengelolanya. Analisis risiko mencakup identifikasi, penilaian, dan mitigasi potensi risiko yang dapat mempengaruhi investasi. Ini membantu investor membuat keputusan yang lebih terinformasi dan melindungi portofolio mereka dari kerugian besar.

    7. Analisis Kuantitatif

    Analisis kuantitatif melibatkan penggunaan model matematis dan statistik untuk menganalisis kinerja aset dan meramalkan tren masa depan. Ini adalah pendekatan yang sangat terstruktur dan menggunakan data historis serta parameter matematis untuk membuat prediksi.(*)


    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".