KABARBURSA.COM – Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menepis gagasan Menteri Pekerjaan dan Perumahan Rakyat (PKP) Maruarar Sirait untuk mendorong pengembang rumah subsidi melantai di bursa saham (IPO) sebagai alternatif pembiayaan.
Meski bertujuan mempercepat pembiayaan program 3 Juta Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), langkah ini dinilai berisiko tinggi jika dijalankan tanpa kesiapan struktural dan pengawasan yang kuat.
Achmad menilai rencana tersebut dapat menjadi jalan pintas yang berbalik bumeran jika tidak disertai perlindungan yang memadai bagi pengembang kecil. Ia menjelaskan bahwa pasar modal tidak sepenuhnya cocok bagi sektor dengan margin rendah dan ketergantungan besar terhadap subsidi pemerintah.
“Pasar bekerja berdasarkan ekspektasi laba dan sentimen investor, bukan pada misi sosial,” ujar Achmad melalui pernyataan resmi yang diterima KabarBursa.com, pada Selasa, 28 Oktober 2025.
Menurutnya, karakter bisnis rumah subsidi sangat berbeda dari sektor properti komersial. Keuntungan pengembang hanya sekitar lima hingga delapan persen, sangat bergantung pada plafon harga dan bantuan bunga KPR dari skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Ketika harga bahan bangunan naik atau pencairan subsidi terhambat, margin langsung tergerus dan arus kas terguncang.
Achmad menegaskan, jika pengembang rumah subsidi masuk ke pasar modal, mereka akan berhadapan dengan pemain besar seperti Ciputra Group atau Summarecon yang memiliki portofolio luas dan modal kuat. Kondisi ini akan membuat saham pengembang kecil dinilai berisiko tinggi dan kurang menarik di mata investor.
“Pasar tidak akan menilai niat baik pemerintah, tetapi kemampuan menghasilkan keuntungan,” tambahnya.
Risiko Margin Tipis
Ia mengidentifikasi empat risiko besar yang mengintai jika kebijakan ini diterapkan tanpa kajian mendalam. Pertama, risiko margin tipis. Kenaikan harga bahan bangunan lima persen saja bisa memangkas separuh laba, memaksa pengembang menekan biaya pekerja atau menurunkan kualitas bangunan. Kedua, risiko fiskal dan kebijakan, karena rumah subsidi sangat bergantung pada keberlanjutan program FLPP dan alokasi APBN. Bila terjadi perubahan kebijakan fiskal, arus kas pengembang bisa terganggu dan harga saham merosot.
Risiko ketiga, kata Achmad, adalah tantangan tata kelola. Setelah menjadi perusahaan publik, pengembang wajib memenuhi berbagai kewajiban transparansi seperti laporan keuangan triwulanan dan audit eksternal.
“Bagi pengembang skala kecil, beban administrasi ini bisa berubah menjadi jebakan likuiditas,” ujarnya.
Sementara risiko keempat berkaitan dengan potensi gelembung dan spekulasi saham. Dorongan IPO tanpa seleksi ketat bisa menciptakan bubble mini, di mana pengembang tergoda ekspansi berlebihan sementara proyek belum menghasilkan arus kas stabil.
“Fenomena ini mirip dengan subprime crisis di Amerika Serikat tahun 2008, ketika niat menyediakan rumah murah justru berakhir dengan krisis keuangan,” ujar Achmad.
Ia mencontohkan pengalaman PT Ingria Pratama Capitalindo Tbk (GRIA), pengembang rumah subsidi yang menggelar IPO pada 2023. Perseroan berhasil menghimpun dana sekitar Rp350 miliar, namun laporan keuangannya menunjukkan laba bersih hanya Rp 1,7 miliar dengan defisit Rp 14 miliar. Sahamnya pun stagnan di pasar.
“Ini bukti bahwa pasar tidak otomatis memberi nilai tambah pada pengembang rumah subsidi,” ujarnya.
Potensi Spekulasi Finansial
Menurut Achmad, mendorong pengembang rumah subsidi masuk ke bursa tanpa kesiapan kelembagaan dapat menciptakan kluster risiko baru di sektor perumahan rakyat. Ia memperingatkan bahwa langkah ini bisa meniru pola krisis di negara lain, di mana niat memperluas akses rumah justru berujung pada spekulasi finansial.
“Krisis sering lahir dari niat mulia. Bila tidak hati-hati, dorongan IPO pengembang rumah subsidi bisa mengubah proyek sosial menjadi arena spekulasi bursa,” jelasnya.
Sebagai solusi, Achmad menawarkan beberapa alternatif pembiayaan yang lebih aman dan sesuai karakter sektor perumahan rakyat. Ia menyarankan pemerintah memperkuat dana bergulir perumahan dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) perumahan agar pengembang kecil bisa memperoleh dana murah tanpa menjual saham ke publik. Selain itu, pemerintah dapat mendorong penerbitan sukuk atau green bond untuk proyek perumahan rakyat agar investor tetap bisa berpartisipasi tanpa mengubah struktur kepemilikan perusahaan.
Ia juga menekankan pentingnya membangun skema kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnership) di mana pemerintah menyediakan lahan, pengembang membangun rumah, dan investor mendapatkan imbal hasil berbasis sewa. Di sisi lain, Bursa Efek Indonesia dapat menciptakan papan khusus untuk pengembang MBR dengan persyaratan tata kelola yang lebih realistis agar sektor ini bisa tumbuh tanpa tekanan pasar yang berlebihan.
“Pasar modal boleh menjadi pelengkap, tapi bukan penyelamat utama. Tujuan menyediakan rumah layak bagi rakyat tidak boleh berubah menjadi lomba valuasi saham,” kata Achmad.
Ia memperingatankan bahwa proyek sosial seperti rumah rakyat tidak seharusnya menjadi komoditas spekulatif. “Kalau sektor perumahan rakyat goyah, yang runtuh bukan hanya tembok rumah, tapi juga kepercayaan publik terhadap keadilan ekonomi itu sendiri,” ujarnya.
Ia meminta gagasan IPO pengembang rumah subsidi perlu dikaji ulang secara mendalam agar tidak mengorbankan misi utama pembangunan perumahan rakyat di Indonesia.
Ide IPO untuk pengembang rumah subsidi itu muncul dari Maruar Sirait alias Ara di Kantor PKP, Kebon Sirih, Jakarta Pusat pada Jumat, 24 Oktober 2025.
Pada pemberitaan yang beredar. Dalam pertemuan di Kantor PKP, Jakarta, ia mempertemukan sejumlah pengembang dengan perusahaan sekuritas dari berbagai lembaga, seperti BUMN dan bank syariah, untuk membangun ekosistem pembiayaan yang lebih beragam.
Maruarar menekankan bahwa langkah ini memberi kesempatan bagi pengembang untuk memilih sumber modal yang sesuai dengan reputasi dan integritasnya. Dukungan serupa datang dari Presiden Komisaris PT Buana Capital Sekuritas Pieter Tanuri yang menilai pasar modal dapat menjadi alternatif pembiayaan ekuitas tanpa beban bunga, sekaligus memperkuat kapasitas pengembang dalam membangun lebih banyak rumah subsidi.(*)