KABARBURSA.COM - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, melaporkan bahwa rasio return on asset (ROA) dan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) perbankan Indonesia pada bulan Maret 2024 masih tergolong cukup tinggi.
ROA tercatat sebesar 2,62 persen dan NIM sebesar 4,59 persen, meskipun sedikit menurun dibandingkan dengan Maret 2023 yang masing-masing sebesar 2,77 persen dan 4,77 persen.
Dian menjelaskan bahwa penurunan NIM terutama disebabkan oleh meningkatnya biaya dana yang tidak sebanding dengan peningkatan suku bunga kredit.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suku bunga kredit tidak sepenuhnya linear dengan peningkatan BI Rate, yang memberikan manfaat positif bagi masyarakat.
Secara khusus, kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) IV mengalami penurunan dalam NIM dan ROA dibandingkan dengan tahun 2023, meskipun masih lebih tinggi dibandingkan dengan KBMI II dan III.
Dian menyebut bahwa penurunan ROA KBMI IV terutama disebabkan oleh menyempitnya margin bunga kredit. Efisiensi KBMI IV juga masih lebih baik dibandingkan dengan kelompok KBMI lainnya.
Selain itu, peningkatan yield surat berharga mempengaruhi profitabilitas bank karena adanya beban kerugian dari penjualan surat-surat berharga (SSB) dan menurunnya kepemilikan bank terhadap Surat Berharga Negara (SBN).
Bank-bank juga mulai mengurangi porsi SSB untuk memenuhi kebutuhan dana guna penyaluran kredit.
Terkait kondisi likuiditas bank-bank kecil, terutama KBMI I dan II, Dian memastikan bahwa kondisi likuiditas mereka masih sangat baik.
Hal ini terlihat dari rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) yang tetap sehat. OJK terus melakukan monitoring terhadap bank-bank ini untuk memastikan bahwa mereka memiliki rencana tindakan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, termasuk jaringan pasar (market line) untuk mendapatkan dana likuiditas jika diperlukan.
Debitur dan Kredit Turun
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan data tren penurunan jumlah debitur dan nilai restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak pandemi CIVID-19 sejak Desember 2023 hingga Februari 2024.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan bahwa penurunan nilai tersebut menjadi salah satu faktor pendorong dihentikannya kebijakan stimulus atau POJK Stimulus tersebut.
“Melanjutkan tren penurunan menjadi sebesar Rp242,80 triliun pada Februari 2024, sebelumnya, Januari tercatat Rp251,21 triliun atau turun sebesar 8,41 triliun,” kata Dian dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Maret 2024 di Jakarta, dua bulan lalu.
Adapun penerima stimulus OJK tersebut, mayoritas adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jumlahnya pada Januari saja mencapai 4,96 juta debitur. Hingga Februari, jumlahnya menyusut kembali sebanyak 34.000 nasabah.
“Jumlah nasabah ternyata turun menjadi 943.000 nasabah sebesar 977.000 nasabah,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan bahwa pencabutan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan pada Minggu, 31 Maret 2024, dilakukan setelah melakukan berbagai penilaian.
“OJK menilai kondisi perbankan Indonesia saat ini memiliki daya tahan yang kuat (resilient) dalam menghadapi dinamika perekonomian dengan didukung oleh tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, dan manajemen risiko yang baik,” ujar Mahendra
Ia menambahkan, hal tersebut juga didukung oleh pemulihan ekonomi yang terus berlanjut, dengan tingkat inflasi yang terkendali dan tumbuhnya investasi.
Sejalan dengan hal itu, sejak diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2023 pada Juni 2023 yang menyatakan status pandemi COVID-19 di Indonesia dinyatakan telah berakhir, aktivitas ekonomi masyarakat terus meningkat.
Perkuat Modal BPR
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah melakukan bersih-bersih terhadap sejumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) sebagai langkah tegas untuk menstabilkan sektor perbankan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menerangkan proses bersih-bersih itu dilakukan dengan tujuan memperkuat permodalan BPR/BPRS dan dikerjakan dalam 1-2 tahun ke depan.
Caranya, lanjut Dian, tidak hanya dengan mencabut izin usaha (CIU), tapi juga penggabungan (merger) antara sejumlah BPR/BPRS yang dimiliki oleh satu pemilik, dalam rangka penerapan Single Presence Policy (SPP).
“Memang arah pengembangan BPR selanjutnya berdasarkan hasil analisis dan evaluasi, memang kami akan terus lakukan konsolidasi penguatan terhadap BPR melalui proses merger dan lain-lain,” kata Dian dalam keterangan resmi yang diterima Kabar Bursa.
Dalam data terkini, jumlah BPR di Indonesia sebanyak 1.566 bank pada Maret 2024, menyusut 57 bank dari Desember 2021 yang tercatat masih sebanyak 1.623 BPR oleh karenanya opsi penggabungan dianggap tepat.
Meskipun terjadi pengurangan jumlah BPR/BPRS, data statistik menunjukkan pertumbuhan positif dalam sektor ini, seperti pertumbuhan kredit 9,42 persen, dana pihak ketiga 8,60 persen, dan aset 7,34 persen secara tahunan per Maret 2024.
Dian menekankan bahwa konsolidasi ini akan meningkatkan ketahanan permodalan dan tata kelola, serta memberikan manfaat tambahan bagi BPR dan masyarakat.
“Jadi sebetulnya konsolidasi BPR ini terbukti memperkuat ketahanan permodalan tentu juga penerapan tata kelola, sehingga justru nilai tambah BPR dan masyarakat itu justru akan semakin meningkat,” terangnya.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.