KABARBURSA.COM - Rupiah pada Selasa, 25 Juni 2024 pagi terlihat menguat. Di awal perdagangan, Rupiah naik 22 poin atau 0,14 persen menjadi Rp16.372 per Dolar AS. Penguatan ini terjadi di tengah membaiknya sentimen pasar terhadap aset berisiko. Aset berisiko adalah aset apapun yang memiliki tingkat risiko tertentu. Umumnya mengacu pada aset yang memiliki tingkat volatilitas harga yang signifikan, seperti ekuitas, komoditas, obligasi bunga tinggi, real estat, dan mata uang.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, sentimen positif pasar tersebut bisa membantu mendorong penguatan Rupiah terhadap Dolar AS hari ini. Dalam hal ini, pelaku pasar masih memandang bahwa pasar masih layak berinvestasi di kondisi pasar keuangan global. Dari itu, ia memperkirakan peluang penguatan ke arah Rp16.330 per Dolar AS, dengan potensi pelemahan ke arah Rp16.400 per Dolar AS.
Pada penutupan Senin, 24 Juni 2024, Rupiah juga menguat sebanyak 56 poin atau 0,34 persen menjad Rp16.394 per Dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.450 per Dolar AS. Analis ICDX Taufan Dimas Hareva menyebut bahwa pelaku pasar memperkirakan The Fed kemungkinan menurunkan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun ini. Sebaliknya, para pengambil kebijakan bank sentral AS atau The Fed terus berargumentasi mendukung penurunan suku bunga hanya sekali pada tahun ini.
Aktivitas bisnis Amerika merangkak naik ke level tertinggi dalam 26 bulan pada Juni di tengah pulihnya lapangan kerja. Lalu, pada Kamis, 20 Juni 2024 ada permohonan tunjangan pengangguran AS yang pertama kali turun secara moderat. Sementara, IMP Gabungan AS untuk Juni melampaui ekspektasi, naik ke 54,6 persen dari pembacaan Mei 2024 sebesar 54,5. Angka ini menandai level tertinggi sejak April 2022.
Di lain hal, IMP Manufaktur meningkat ke angka 51,7, dari angka 51,3. Artinya, melebihi perkiraan yang hanya 51. Pun dengan IMP Jasa yang naik ke 55,1 dari angka 54,8 di bulan lalu. IMP Jasa ini juga melampaui konsensus 53,7.
Diketahui, Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, kemarin meningkat ke level Rp16.431 per Dolar AS, dari sebelumnya Rp16.458 per Dolar AS.
Rupiah Kemarin
Rupiah kemarin terangkat sedikit terhadap dolar Amerika Serikat, meskipun dana investor asing banyak yang menguap dari pasar keuangan Indonesia. Dilansir dari Refinitiv, Rupiah ditutup menguat 0,3 persen di angka Rp16.390/USD. Rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya yakni di level Rp16.470/USD.
Sementara itu, DXY pada pukul 15:00 WIB turun ke angka 105,67 atau sebesar 0,12 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan penutupan hari sebelumnya yang berada di angka 105,79.
Pekan lalu, tepatnya pada data transaksi 19-20 Juni 2024, Bank Indonesia mencatat bahwa investor asing mencatat jual neto sebesar Rp0,78 triliun yang terdiri dari jual neto Rp1,42 triliun di pasar saham, beli neto Rp0,45 triliun di SBN, dan beli neto Rp0,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sepanjang 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 20 Juni 2024, investor asing tercatat jual neto sebesar Rp42,10 triliun di pasar SBN, jual neto Rp9,35 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp117,77 triliun di SRBI.
Catatan keluarnya investor asing ini mematahkan tren net foreign inflow selama enam pekan beruntun yang telah terjadi sejak pekan pertama Mei 2024.
Keluarnya dana asing ini memberikan tekanan bagi rupiah yang hingga saat ini tak kunjung mereda.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara, menegaskan bahwa faktor fundamental yang menekan rupiah adalah bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat Indonesia yang masih harus dipenuhi dengan impor. Hal ini membuat kebutuhan dolar tetap sangat tinggi untuk membeli produk asing tersebut.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, menyampaikan bahwa pelemahan rupiah tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal. Ada masalah di dalam negeri yang turut memberikan tekanan, sebagaimana disampaikannya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin, 24 Juni 2024.
“Selain faktor ketidakpastian global, seperti suku bunga acuan AS dan ketegangan geopolitik, ada beberapa faktor domestik yang memberikan pengaruh terhadap rupiah,” ungkapnya.
Perry menjelaskan bahwa tingginya permintaan korporasi untuk repatriasi deviden dan pembayaran utang merupakan salah satu faktor. Selain itu, ada persepsi masalah kesinambungan fiskal.
“Persepsi belum tentu benar, tetapi masalah kesinambungan fiskal ke depan menimbulkan kekhawatiran di pasar dan di antara sejumlah investor. Ini menyebabkan masuknya SBN sebesar Rp16,21 triliun pada Mei dan kembali terjadi outflow sebesar Rp3,4 triliun pada Juni,” paparnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa tekanan terhadap rupiah beberapa hari terakhir disebabkan oleh faktor global, seperti kuatnya perekonomian AS yang menyebabkan banyak pelaku pasar menduga bank sentralnya akan sulit menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate. Selain itu, ada perbedaan arah suku bunga negara-negara maju karena bank sentral Eropa kini malah menurunkan suku bunga acuannya.(*)