KABARBURSA.COM - Chief Economist PermataBank, Josua Pardede memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan berada di rentang level Rp15,800 hingga Rp16,100 pada akhir tahun 2024.
“Kuartal I dan juga full year, di mana memang untuk akhir tahun ini rupiah akan berkisar Rp15.800-Rp16.100,” kata Josua dalam acara PIER Economic Review: Mid-Year 2024 yang diikuti secara daring, Kamis, 8 Agustus 2024.
Josua menuturkan, mengacu pada data penutupan perdagangan pada 7 Agustus 2024, secara umum Dolar Index masih mencatat penguatan secara umum. Hal itu tak terlepas dari persebasaran mata uang dolar Amerika di beberapa negara seperti euro, lalu juga dolar Australia , dolar Selandia Baru, hingga yen Jepang.
Meski demikian, Josua menilai ada pelemahan jika dilihat dari tahun kalender ataupun year to date (ytd). Sementara nilai rupiah terhadap dolar AS pada pembukaan perdagangan hari ini, tercatat berada di bawah Rp16,000 per dolar AS.
“Saat ini rupiah di penutupan kemarin Rp16.035, dan pembukaan perdagangan hari ini rupiah sudah diperdagangkan di bawah Rp16.000 per dolarnya,” jelasnya.
Menguatnya rupiah terhadap dolar AS, kata Josua, memberikan pengaruh terhadap pasar yang membentuk ekspetasi penurunan suku bunga The Fed. Apalagi, kata dia, aset-aset yang didominasi rupiah masih menjadi salah satu pilihan investor global.
“Ini tentunya memberikan optimisme ataupun memberikan sentimen risk on di pasar keuangan negara-negara berkembang, sehingga ada ekspektasi juga bahwa riskier asset termasuk aset-aset didominasi rupiah, ini pun juga menjadi salah satu pilihan dari investor global,” ujarnya.
Dia menilai The Fed memiliki banyak peluang untuk memangkas suku bunganya. Hingga 7 Agustus 2024 lalu, kata Josua, pelaku pasar berharap The Fed memangkas suku bunga sesuai dengan prediksi market.
“Saat ini market melihat bahwa ada peluang untuk Fed memangkas suku hubungannya di bulan September itu sekitar 50 basis point, dan di bulan November sekitar 25 basis point, dan di Desember-nya sekitar 25 basis point. Jadi in total tahun ini, di sepanjang sisa tahun ini, market melihat ada ruang sekitar 100 basis point untuk penurunan suku hubungan Fed,” ungkapnya.
Kendati demikian, Josua mengungkap hal tersebut masih sebatas prediksi. Dia meyakini The Fed akan mempertimbangkan dan melihat dinamika perkembangan ekonomi global seiring dengan pelambatan di Tiongkok dan memanasnya konflik di Timur Tengah.
“Meskipun tentunya perkembangan ataupun kepastian dari Fed ini tentunya seles lebih mendalam lagi dari di rapat FOMC (Federal Open Market Committee) bulan September, sehingga ini menjadi momentum yang akan ditunggu oleh pelaku pasar global,” jelasnya.
Kinerja Pasar Keuangan
Akan tetapi, pasar keuangan masih menunjukan hasil yang variatif. Josua mengungkap, beberapa pasar keuangan global mencatat kinerja positif sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan di bulan Agustus 2024.
Josua mencatat, pasar saham Amerika Serikat (AS) tercatat menguat sebagaimana Dow Jones misalkan menguat 2,8 persen dan S&P 500 juga menunjukkan penguatan sebesar 9 persen. Di sisi lain, Nasdaq pun mencatat penguatan hingga 7,9 persen.
Meski begitu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara year to date sampai dengan bulan ini tercatat melemah tipis di kisaran 0,8 persen. Akan tetapi, Josua menilai kinerja IHSG di kuartal III tahun ini akan mengalami penguatan.
“Ini sudah adanya apresiasi ataupun penguatan, dan ini tentunya dipengaruhi tadi oleh ekspektasi dari pemangkasan suku bungan Bank Sentral Global,” ungkapnya.
Di sisi lain, Josua juga mengungkap, perkembangan imbal hasil dari surat utang pemerintah dari beberapa negara-negara, seperti AS melalui U.S. Treasury 10 Years tumbuh 3,94 persen pada penutupan perdagangan kemarin dengan naik sekitar 6 basis point secara tahunan.
Meski demikian, Josua menilai di sepanjang kuartal ketiga tahun ini, U.S. Treasury 10 Years terjadi cukup besar, yakni sekitar 45 basis point. Begitu juga dengan eurozone sebesar 23 basis point.
Sementara untuk imbang hasil surat utang negara Indonesia dengan tenor 10 tahun, tutur Josua, mengalami penurunan sekitar 25 basis point di kuartal III tahun 2024. Dia menilai, hal tersebut mesti menjadi momentum The Fed mempertimbangkan memangkas suku bungunya.
“Sehingga respon dari pasar tadi, ekspektasi dari pasar bahwa akan ada penurunan suku bunga, mulai di semester II tahun ini, sehingga ini memberikan kembali lagi risk on sentiment kepada pasar keuangan negara berkembang,” tutupnya. (*)