KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan dan ditutup melemah pada perdagangan Selasa, 11 Maret 2025. Rupiah turun 41 poin ke level Rp16.408 per dolar AS, setelah sempat anjlok hingga 75 poin dari posisi penutupan sebelumnya di Rp16.367.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, memproyeksikan pergerakan rupiah pada perdagangan hari ini masih akan fluktuatif dengan kecenderungan melemah. “Sedangkan untuk perdagangan besok (hari ini), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.390 - Rp16.460,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa, 11 Maret 2025.
Dari sisi eksternal, kebijakan proteksionis Presiden AS, Donald Trump, terus mengguncang pasar keuangan global. Trump kembali menaikkan tarif impor untuk berbagai barang dari China, Kanada, dan Meksiko, memperburuk ketidakpastian perdagangan global.
Sentimen negatif bertambah setelah Trump mengisyaratkan kemungkinan terjadinya “periode transisi” bagi ekonomi AS yang mengarah pada meningkatnya risiko resesi. Jajak pendapat Reuters menunjukkan bahwa pelaku pasar semakin khawatir terhadap dampak kebijakan tarif ini terhadap ekonomi Meksiko, Kanada, dan AS.
Tekanan tambahan datang dari Bank Sentral Jepang (BoJ) yang direvisi turun pertumbuhan PDB kuartal keempat 2024 menjadi 2,2 persen dari 2,8 persen akibat pelemahan konsumsi domestik. Meski demikian, BoJ diperkirakan tetap melanjutkan kenaikan suku bunga karena inflasi di Jepang masih bertahan tinggi.
Di dalam negeri, rupiah juga terbebani oleh proyeksi defisit fiskal yang semakin melebar. Goldman Sachs memprediksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 akan mencapai 2,9 persen, lebih tinggi dari target pemerintah yang sebesar 2,53 persen.
Prediksi ini membuat Goldman Sachs menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight dan memangkas peringkat obligasi negara tenor 10 hingga 20 tahun menjadi netral. Menurut Goldman Sachs, pelebaran defisit ini dipicu oleh belanja besar pemerintah untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), realokasi anggaran, serta pembentukan BPI Danantara.
Selain itu, kekhawatiran pasar terhadap ketegangan perdagangan global dan pelemahan ekonomi domestik turut menekan daya tarik aset Indonesia, termasuk rupiah.
Dengan kombinasi faktor eksternal dan domestik yang kurang menguntungkan, Ibrahim memperkirakan rupiah masih akan bergerak dalam tren pelemahan hari ini. Kisaran pergerakan diprediksi berada di level Rp16.390 - Rp16.460 per dolar AS dengan potensi fluktuasi yang cukup tinggi.
JP Morgan Prediksi Penguatan Dolar Berlanjut hingga 2025
Setelah tekanan eksternal terus membebani rupiah, proyeksi terbaru dari JP Morgan menegaskan bahwa dolar AS kemungkinan masih akan tetap kuat atau setidaknya stabil sepanjang 2025.
JP Morgan mencatat tiga faktor utama yang membuat dolar AS tetap kokoh, bahkan ketika bank sentral lain mulai melonggarkan kebijakan moneter mereka:
1. Pertumbuhan ekonomi AS lebih unggul
Ekonomi AS diperkirakan tumbuh 2,7 persen pada 2024, jauh di atas rata-rata pertumbuhan negara maju lainnya yang hanya 1,7 persen. Keunggulan ini didorong oleh produktivitas yang lebih tinggi, peningkatan investasi bisnis, dan lebih sedikit gangguan di pasar tenaga kerja dibandingkan ekonomi lain. Dengan pertumbuhan yang tetap kuat dan inflasi masih bertahan di atas 2 persen, The Fed mungkin akan menahan diri dari pemangkasan suku bunga lebih lanjut, membuat pelemahan dolar dalam waktu dekat menjadi tidak mungkin.
2. Kebijakan moneter yang semakin berbeda
Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi global telah menciptakan kesenjangan kebijakan moneter antara AS dan negara-negara lain. Saat ini, selisih imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun dengan obligasi negara mitra dagangnya mencapai level tertinggi sejak 1994.
Pasar hanya memperkirakan pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 44 basis poin pada 2025, sementara European Central Bank (ECB) diproyeksikan memangkas 110 basis poin dan Bank of Japan (BoJ) justru diprediksi akan menaikkan suku bunga 47 basis poin.
3. Perubahan kebijakan pemerintahan baru
Pemerintahan Trump yang akan datang diperkirakan bakal semakin mendorong pertumbuhan sektor manufaktur domestik, menaikkan tarif impor, dan melakukan deregulasi industri. Kebijakan ini bisa meningkatkan investasi bisnis serta mempertahankan suku bunga lebih tinggi yang pada akhirnya menopang dolar.
Selain itu, Trump juga telah mengisyaratkan potensi penerapan tarif tambahan atau kebijakan lain terhadap negara-negara yang berupaya menantang dominasi dolar dalam perdagangan global dan sebagai mata uang cadangan utama dunia.
Apakah Dolar AS Bisa Melemah?
Meskipun berbagai faktor mendukung penguatan dolar, JP Morgan menilai kenaikan ini tidak akan berlangsung selamanya. Saat ini, nilai tukar dolar sudah dua standar deviasi di atas rata-rata 50 tahunnya yang artinya ruang kenaikan lebih lanjut semakin terbatas. Secara historis, pergerakan dolar selalu bergantian antara fase penguatan dan pelemahan sehingga koreksi bisa terjadi kapan saja, meskipun waktunya masih sulit diprediksi.
Selain itu, defisit neraca perdagangan AS yang mencapai 4,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per September 2024 menjadi tantangan struktural yang dapat menekan dolar dalam jangka panjang. Defisit ini menunjukkan AS mengimpor lebih banyak barang dan jasa dibandingkan yang diekspor yang pada akhirnya bisa melemahkan mata uangnya.
Dampak Dolar Kuat bagi Ekonomi Global dan Investor
Kenaikan dolar AS bukan tanpa konsekuensi. Mata uang yang terlalu kuat bisa membebani kinerja perusahaan multinasional AS karena produk mereka menjadi lebih mahal di luar negeri. Selain itu, ekspor AS bisa kehilangan daya saing dan berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Namun, bagi investor, dolar yang tetap kuat pada 2025 bisa menjadi sinyal bahwa ekonomi AS tetap unggul dibanding negara lain. Investor global perlu mempertimbangkan dampak penguatan dolar terhadap portofolio mereka, terutama bagi yang memiliki eksposur tinggi pada aset berbasis mata uang lain.(*)