KABARBURSA.COM - Rupiah pada penutupan perdagangan Jumat, 31 Januari 2025, berada di posisi Rp16.304. Rupiah mengalami tekanan berat setelah kembali mendapat hantaman dari kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Ancaman tarif perdagangan terhadap negara-negara BRICS yang mencoba mengurangi ketergantungan pada dolar AS, menjadi pemicu utama pelemahan mata uang Garuda dalam beberapa hari terakhir.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup di level Rp16.304 per dolar AS, melemah 48 poin atau 0,30 persen dibandingkan hari sebelumnya. Sentimen negatif yang datang dari Washington membuat investor semakin berhati-hati terhadap risiko perang dagang yang berpotensi merugikan stabilitas ekonomi global, termasuk Indonesia.
Trump, yang selama ini dikenal dengan kebijakan proteksionisnya, kembali memperingatkan negara-negara BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, agar tidak meninggalkan dolar dalam transaksi perdagangan internasional.
Jika kelompok tersebut tetap melanjutkan upayanya menciptakan mata uang alternatif, Trump mengancam akan mengenakan tarif perdagangan hingga 100 persen sebagai bentuk balasan.
Selain itu, Trump juga memperluas ancaman dagangnya dengan menargetkan Meksiko dan Kanada. Ia menuntut kedua negara tersebut untuk menghentikan pengiriman fentanil ke AS dan mengancam akan menerapkan tarif 25 persen atas ekspor mereka.
Sementara itu, kebijakan serupa terhadap Tiongkok dengan rencana tarif 10 persen turut memperburuk sentimen pasar keuangan global.
Ketidakpastian ini semakin menekan nilai tukar rupiah, terutama karena dolar AS masih menjadi mata uang cadangan utama dunia. Sebuah studi dari Pusat GeoEkonomi Dewan Atlantik tahun lalu menunjukkan bahwa meskipun ada upaya diversifikasi, baik euro maupun mata uang negara-negara BRICS belum mampu menandingi dominasi dolar.
Di sisi kebijakan moneter, keputusan Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga acuannya menunjukkan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam menghadapi tekanan inflasi dan ketidakpastian ekonomi global.
Langkah ini memperkuat posisi dolar, membuat investor semakin defensif, dan memberikan tekanan tambahan terhadap mata uang negara berkembang seperti rupiah.
EM Asia Ikut Melorot
Tidak hanya rupiah, rupanya mata uang emerging market Asia ikut berguguran pada sore hari ini. Mengutip dari Reuters, won Korea Selatan dan ringgit Malaysia turun paling tajam di antara mata uang Asia lainnya. Keduanya sama-sama anjlok hingga 1,4 persen. Diketahui, penurunan ini menjadi yang paling tajam sejak awal November 2024.
Diketahui, rupee India juga tergelincir ke level terendah sepanjang masa. Akibatnya, ada kemungkinan bahwa Reserve Bank of India (RBI) akan turun tangan untuk mendukung mata uang ini. Hanya baht Thailand yang mampu mengalahkan dolar AS dan mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan.
Para investor menilai, penerapan tarif baru oleh AS untuk barang impor dari Kanada, Meksiko, dan kemungkinan China, oleh Donald Trump, menjadi penyebabnya.
Para analis dari Barclays percaya, ancaman tarif terhadap mata uang EM hanya tertunda. Artinya, ancaman tersebut nyata dan pasti akan terjadi.
"Banyak mata uang di Asia yang telah mengungguli (dolar). Ini menunjukkan risiko pelemahan yang relatif lebih besar jika ancaman tarif meningkat terhadap China," kata analis, mengutip Reuters.
Tidak hanya itu, analis juga melihat adanya peluang bagi baht Thailand dan peso Filipina untuk terdepresiasi lebih lanjut. Meskipun, saat ini baht Thailand mengalami kenaikan atau lebih tinggi nilai kursnya dibandingkan dolar.
Hal serupa akan terjadi pula pada won, ringgit, dan dolar Singapura. Menurut analis, mata uang emerging market ini rentan terhadap tarif sektoral dan pangsa ekspor langsung maupun tidak langsung yang cukup tinggi ke AS/
Di Amerika, indeks dolar menguat sehari sebelum Trump melancarkan ancaman tarif 25 persen untuk impor dari Kanada dan Meksiko. Sedangkan untuk China, hingga saat ini orang nomor satu di Negara Paman sam ini masih mempertimbangkannya. Alasannya, China terlibat dalam perdagangan fentanil.
Saat ini, Meksiko, Kanada, dan China adalah tiga mitra dagang terbesar Amerika, dengan nilai impor dan ekspor tahunan mencapai lebih dari USD2,1 triliun.
Untuk mata uang lainnya di Amerika, seperti Peso Meksiko, terakhir diperdagangkan 0,3 persen lebih tinggi setelah pada Kamis, 30 Januari 2025 sempat turun 1 persen. Sedangkan dolar Kanada merosot tajam, mendekati level terendah dalam lima tahun terakhir.
Untuk pasar China dan Taiwan, pada hari ini masih ditutup untuk libur Tahun Baru Imlek.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.