KABARBURSA.COM - Mata uang rupiah diperkirakan akan bergerak fluktuatif namun cenderung melemah pada perdagangan Jumat, 15 November 2024. Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memproyeksikan rupiah akan ditutup melemah di atas Rp15.800-an.
“Mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.850–Rp15.950,” kata Ibrahim, dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 14 November 2024.
Faktor Internal dan Eksternal Penggerak Rupiah
Tekanan terhadap rupiah dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Di pasar global, penguatan indeks dolar AS masih berlanjut setelah data inflasi indeks harga konsumen di Amerika Serikat menunjukkan angka yang tetap tinggi. Kondisi ini memicu ketidakpastian atas kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve pada Desember mendatang.
Dari dalam negeri, ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berupa penurunan daya beli masyarakat, yang memicu deflasi dalam beberapa hari terakhir. Harga minyak mentah dunia yang saat ini berada di bawah asumsi APBN 2024, yakni US$ 74 per barel dibandingkan asumsi US$ 82 per barel, menjadi salah satu indikator positif.
Namun, tekanan inflasi yang mulai melandai perlu diimbangi dengan kebijakan fiskal yang lebih terarah, termasuk perbaikan dalam subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Kondisi Penutupan Sebelumnya
Pada perdagangan Kamis, 14 November 2024, rupiah ditutup melemah 78 poin ke level Rp15.862 per dolar AS, setelah sebelumnya sempat menguat 110 poin ke level Rp15.784. Pelemahan ini mengindikasikan tekanan yang masih kuat terhadap rupiah di tengah ketidakpastian global.
Pelaku pasar diharapkan terus mencermati perkembangan kebijakan moneter global dan langkah fiskal domestik yang dapat memengaruhi stabilitas rupiah dalam jangka pendek. Dengan proyeksi pelemahan hari ini, rupiah dihadapkan pada dinamika pasar yang membutuhkan perhatian ekstra dari para pemangku kebijakan dan pelaku usaha.
Investor Asing Tinggalkan RI
Kemarin, rupiah juga mengalami tekanan. Kurs rupiah ditutup sangat lemah, yakni menyentuh level Rp15.862 per dolar AS.
Rupiah melemah sebesar 78 poin atau 0,49 persen dibandingkan penutupan hari sebelumnya, yang berada di level Rp15.784 per dolar AS. Pelemahan ini menambah tekanan pada mata uang Indonesia, yang telah menghadapi ketidakpastian global dalam beberapa minggu terakhir.
Perkembangan inflasi Amerika Serikat (AS) pada Oktober 2024 telah memicu ketidakpastian besar terkait prospek pemangkasan suku bunga acuan Federal Reserve (The Fed). Hal ini berimbas langsung pada pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa penguatan indeks dolar AS didorong oleh tanda-tanda inflasi yang masih kuat di AS, meskipun data inflasi untuk indeks harga konsumen (CPI) AS sesuai dengan ekspektasi pasar.
Hal ini memperlihatkan bahwa tekanan inflasi belum sepenuhnya mereda, sehingga memunculkan keraguan akan prospek pemotongan suku bunga acuan oleh The Fed di masa mendatang.
“Data inflasi AS untuk bulan Oktober menunjukkan inflasi tetap kuat, dan ini memicu ketidakpastian terkait kebijakan moneter ke depan,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis, 14 November 2024.
Kekhawatiran ini kian besar, terutama setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS yang membawa kembali kebijakan inflasi tinggi akibat perang dagang yang dia inisiasi dengan China.
Pasar kini mengantisipasi pidato Ketua The Fed Jerome Powell untuk mencari petunjuk lebih lanjut tentang kebijakan moneter yang akan diambil.
Meskipun The Fed telah memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin minggu lalu, pandangan untuk pelonggaran lebih lanjut menjadi lebih tidak pasti, terutama dengan tekanan inflasi yang diperkirakan muncul dari kebijakan ekonomi Trump yang agresif terhadap perdagangan global.
Tekanan pada Mata Uang Asia
Ketidakpastian di AS berimbas luas pada pasar global, khususnya mata uang di Asia. Investor mulai meningkatkan posisi jual mereka terhadap mata uang Asia, termasuk rupiah, di tengah kekhawatiran bahwa kebijakan Trump akan mengikis daya tarik aset-aset di negara berkembang (emerging markets).
Jajak pendapat Reuters terhadap 10 responden menunjukkan adanya lonjakan posisi short (jual) pada mata uang seperti dolar Singapura dan won Korea Selatan.
Selain itu, mata uang lain seperti ringgit Malaysia dan baht Thailand juga mengalami pelemahan. Sejak hasil pemilihan presiden AS minggu lalu menjadi jelas, ringgit dan baht telah kehilangan sekitar 4 persen nilai mereka.
Negara-negara dengan perekonomian yang sangat bergantung pada perdagangan, terutama dengan China, menjadi rentan terhadap ancaman tarif yang lebih tinggi dari AS.
Menurut analis dari ING, mata uang Asia yang memiliki sensitivitas lebih tinggi terhadap yuan China dan negara dengan surplus perdagangan besar dengan AS diprediksi akan menghadapi tekanan paling besar.
Won Korea Selatan, misalnya, sangat rentan terhadap kedua faktor ini, sehingga diperkirakan akan terus melemah hingga tahun depan.(*)