KABARBURSA.COM - Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami penguatan pada perdagangan Rabu, 3 Juli 2024. Rupiah menguat 16 poin atau 0,10 persen menjadi Rp16.380 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya, Rp16.396 per dolar AS.
Penguatan tipis rupiah terhadap dolar terjadi setelah data inflasi indeks harga belanja personal atau Personal Consumption Expenditures (PCE) AS turun. "Pada Mei 2024, inflasi PCE tumbuh sebesar 2,6 persen turun dari 2,7 persen pada April 2024 dan inflasi inti PCE juga menurun menjadi 2,6 persen dari sebelumnya 2,8 persen," kata analis pasar uang Bank Mandiri Reny Eka Putri.
Menurut Reny, penurunan inflasi tersebut menjadi sentimen positif bagi rupiah karena sudah sesuai dengan target bank sentral AS atau The Fed dalam Fed Guidance Juni 2024 dan ruang penurunan Fed Funds Rate (FFR) kembali terbuka.
Berdasarkan data CME Group, penurunan Fed Funds Rate terdekat akan terjadi pada pertemuan September 2024 dengan probabilitas sebesar 55 persen.
Di sisi lain, rupiah menguat berbanding terbalik dengan mayoritas mata uang Asia yang terkoreksi. Won Korea Selatan melemah 0,07 persen, yuan China minus 0,04 persen, dolar Singapura minus 0,06 persen, baht Thailand melemah 0,05 persen, dan yen Jepang melemah 0,17 persen. Sedangkan peso Filipina plus 0,02 persen, ringgit Malaysia plus 0,11 persen, dan dolar Hong Kong menguat 0,01 persen.
Kemudian, dolar Taiwan di pasar spot exchange ikut merosot 0,0220 poin atau 0,07 persen menjadi 32,6 dolar Taiwan per dolar AS, sedangkan rupee India juga terdepresiasi 0,07 persen hingga menjadi 83,5 rupee per dolar AS.
Sementara itu, pengamat pasar keuangan Lukman Leong memproyeksi rupiah akan menguat hari ini setelah pidato Kepala The Fed Jerome Powell yang relatif lebih dovish.
"Namun penguatan rupiah akan terbatas mengingat data tenaga kerja AS yang lebih kuat dari perkiraan," ujarnya.
Berdasarkan sentimen tersebut, ia pun memproyeksikan rupiah melemah di kisaran Rp16.300-Rp16.400 per dolar AS.
Saat ini, investor akan menunggu rilis pertemuan FOMC pada Kamis pekan ini untuk memperoleh arah yang lebih detail dari kebijakan The Fed dan akan mengantisipasi data sektor tenaga kerja AS yang akan dirilis pada akhir pekan ini.
Data nonfarm payrolls diprediksi sebesar 180 ribu, menurun dari sebelumnya sebesar 272 ribu dan tingkat pengangguran AS diprediksi tetap sebesar 4 persen pada Mei 2024.
Dalam jangka pendek, secara teknis rupiah akan cenderung bergerak ke kisaran Rp16.200 per dolar AS sampai dengan Rp16.400 per dolar AS.
Di samping itu, pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra memperkirakan, nilai tukar rupiah berpotensi melemah terhadap dolar AS pada hari ini. Hal ini seiring dengan sikap the Fed mengenai suku bunga acuannya.
"Semalam Jerome Powell di dalam Forum Bank Sentral Eropa menunjukkan sikap bahwa the Fed tidak akan terburu-buru memangkas suku bunga acuannya meskipun saat ini beliau sudah melihat adanya penurunan inflasi di AS. The Fed masih akan memastikan bahwa inflasi AS benar-benar turun lewat data-data ekonomi AS yang akan dirilis ke depannya," kata Ariston.
Dolar AS Menurun
Dolar AS tergelincir pada perdagangan Selasa setelah Ketua Federal Reserve Jerome Powell memberikan komentar yang agak dovish. Powell menunjukkan bank sentral AS itu kemungkinan besar akan memulai siklus pelonggarannya di akhir tahun ini.
Powell, dalam sebuah konferensi kebijakan moneter di Portugal, mengatakan ekonomi AS telah membuat kemajuan yang signifikan dalam hal inflasi karena telah kembali ke jalur disinflasi. Pernyataannya dipandang dovish, kata para analis.
Komentar dari pejabat tinggi The Fed tersebut lebih besar daripada data yang menunjukkan pembukaan lapangan kerja AS meningkat di bulan Mei setelah membukukan penurunan yang sangat besar dalam dua bulan sebelumnya.
Lowongan pekerjaan, ukuran permintaan tenaga kerja, naik 221 ribu menjadi 8,140 juta pada hari terakhir Mei, menurut laporan Job Openings and Labor Turnover Survey atau JOLTS.
"Powell tidak benar-benar mengatakan sesuatu yang baru, tetapi saya akan mengatakan dia sedikit dovish," kata Direktur Manajemen Risiko FX & Logam Mulia di Silver Gold Bull di Toronto, Erik Bregar.
"Namun saya berpendapat laporan JOLTS tidak sekuat yang terlihat di permukaan. Angka bulan April direvisi turun sehingga pasar mencoba untuk mengabaikan laporan JOLTS. Itulah sebabnya mengapa dolar tidak setinggi pada awalnya setelah rilis," jelas dia. (*)