KABARBURSA.COM - Berdasarkan data yang dikutip dari Google Finance pukul 11.30 WIB pada Kamis, 27 Juni 2024, nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) masih berada di level yang tinggi. Saat ini, nilai tukar Rupiah berada di level Rp16.419 per dollar AS.
Naiknya nilai tukar Rupiah juga dikhawatirkan oleh sejumlah sektor industri, tak terkecuali industri sawit. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) atau Indonesian Palm Oil Association (IPOA), mengkhawatirkan tingginya nilai tukar Rupiah akan mengerek biaya produksi.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono menyebut, tingginya nilai tukar rupiah yang berlarut-larut berdampak pada kenaikan harga pupuk. Pasalnya, pupuk yang digunakan perkebunan sawit masih mengandalkan bahan impor.
"Kalau ini berlama-lama maka biaya produksi akan naik karena pupuk masih Impor, pupuk yang diproduksi dalam negeri hanya pupuk nitrogen," kata Eddy kepada KabarBursa, Kamis, 27 Juni 2024.
Eddy juga menyebut, tekanan biaya produksi akan mengerek naik harga minyak goreng di pasaran. Meski begitu, dia menilai naiknya harga minyak yang disebabkan oleh pelemahan rupiah tidak terlalu signifikan.
Sementara saat ini, berdasarkan panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) pukul 11.40 WIB pada Rabu, 27 Juni 2024, harga minyak goreng kemasan ada di level Rp17.880 per liter, sedangkan minyak goreng curah Rp15.870 per liter.
"Kalau secara Rupiah, ya (mengerek harga minyak) dengan catatan harga international secara USD tidak turun," jelasnya.
Harga Minyak Rakyat Naik Imbas Rupiah yang Loyo
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas), mengumumkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau Minyakita naik menjadi Rp15.500 per liter mulai minggu depan.
“Harga tersebut sudah ditetapkan dan telah dibahas sebelumnya. Kenaikannya akan berlaku mulai minggu depan,” kata Zulhas di Surabaya, Jawa Timur, Jumat, 21 Juni 2024.
Sebagaimana diketahui, harga HET Minyakita berada di level Rp14.000 per liter. Adapun kenaikan ini menyusul nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS tumbuh lebih dari Rp16.400, yang berdampak pada biaya produksi.
Dengan kondisi itu, Zulhas menilai naiknya harga MinyaKita masih sangat relevan. Karenanya dia melakukan penyesuaian harga lantaran terdapat perbedaan harga ekspor yang signifikan.
Lebih lanjut, Zulhas menyebut HET Minyakita yang berlaku saat ini tidak lagi sesuai dengan biaya pokok produksi yang terus meningkat. “Namun, sekarang nilai tukar sudah lebih dari Rp16.000. Jika tidak disesuaikan, akan ada perbedaan harga yang signifikan dengan harga ekspor, yang dapat mengurangi pasokan dalam negeri,” jelasnya.
Di samping itu, Zulhas juga menyebut naiknya harga bahan pokok masyarakat, ikut mengerek harga MinyaKita. Kendati begitu, dia menilai naiknya harga Minyakita masih lebih terjangkau dibandingkan minyak goreng kemasan premium.
“Memang sudah saatnya harga Minyakita naik. Meski begitu, minyak goreng kemasan premium masih akan lebih mahal dibandingkan harga Minyakita,” pungkasnya.
Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian menyebut, kenaikan HET Minyakita akan menggerus daya beli masyarakat lantaran level inflasi pangan yang masih tergolong tinggi.
“Daya beli masyarakat jelas tergerus karena tingginya inflasi pangan,” ujar Eliza kepada KabarBursa , Kamis, 20 Juni 2024.
Secara rinci, Eliza menjelaskan kondisi itu terjadi karena inflasi inti sepanjang 2024 trennya belum kembali seperti 2022 dan awal 2023. Dia menyebut, range inflasi inti tahun 2022 dan awal 2023 bertengger di angka dua sampai tiga persen secara tahunan.
“Inflasi sejak kenaikan harga-hara pangan di akhir tahun 2023 hingga 2024, inflasi inti di bawah dua persen. Per mei 2024, itu inflasi intinya 1,93 persen yoy,” jelas dia.
Di sisi lain, Eliza memperkirakan tujuan pemerintah menaikan HET Minyakita adalah agar penjual eceran mendapatkan keuntungan yang memadai. “Karena harga modal Minyakita saja dari pedagang besar sudah lebih dari Rp15.000,” tuturnya.
Bahan Pokok Produksi Pupuk Masih Impor
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi mengaku, bahan baku produksi pupuk masih terjaga hingga saat ini. Meski begitu, dia mengaku beberapa bahan baku pupuk masih mengandalkan produk impor, yakni fosfat dan kalium.
“Kami memang masih melakukan impor karena bahan baku tersebut merupakan barang tambang yang tidak tersedia di dalam negeri,” kata Rahmad kepada KabarBursa, Senin, 24 Juni 2024.
Meski begitu, Rahmad mengaku akan terus melakukan berbagai langkah rantai pasok yang efisien untuk terus menjaga ketersediaan stok pupuk bagi para petani. Sementara saat ini, ketersedian pupuk maupun bahan baku produksinya masih sangat terjaga.
“Dengan strategi rantai pasok yang efisien, Pupuk Indonesia terus jaga ketersediaan pupuk bagi petani,” jelasnya.
Di sisi lain, Rahmad mengaku, stabilnya harga gas bumi juga sangat membantu menekan biaya produksi pupuk. Bersama pemerintah, dia mengaku akan terus mengoptimalkan ketersediaan dan keterjangkauan harga pupuk.
“Kestabilan harga gas bumi sangat membantu Pupuk Indonesia dan pemerintah dalam mengoptimalkan kebijakan dalam penetapan alokasi pupuk bersubsidi serta mendukung Pupuk Indonesia dalam menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga pupuk non-subsidi bagi petani,” pungkasnya.(ndi/*)