KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Komoditi Elektronik Indonesia (Apkonik), meminta pemerintah untuk memperhatikan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Deny Irawan, Ketua Umum Apkonik, menyebut, pihaknya masih mendukung pemerintah dalam mengendalikan kurs rupiah yang semakin melemah. "Kami selalu berupaya untuk men-support apa pun yang dilakukan oleh pemerintah agar bisa menormalisasi segala halnya, terutama terkait tentang pelemahan dolar ini," ujar dia kepada KabarBursa, Jumat, 28 Juni 2024.
Namun di satu sisi, Deny menyatakan Apkonik berharap pemerintah kembali menjadi figur terdepan terkait masalah ini, mendengar segala bentuk keluhan yang terjadi, serta bisa mengantisipasi masalah yang ada. "Agar rupiah bisa kembali pulih, harga bisa stabil, dan pemerintah bisa menjadi agen control dalam hal ini," jelasnya.
Lebih jauh Deny menuturkan, dampak pelemahan rupiah berpotensi jauh lebih banyak. Bukan hanya di penjualan, kata dia, tapi dari hulu sampai ke hilir juga bakal terkena dampaknya. "Yang alhasil harus survive sendiri setiap pengusaha," tutur dia.
Deny mengatakan salah satu dampak yang dirasakan pengusaha elektronik saat terjadinya pelemahan rupiah ini adalah harga barang naik. "Pastinya sangat berdampak ya (dengan pelemahan rupiah), salah satunya dengan dampak harga yang mengalami kenaikan 5-10 persen dari sebelumnya," jelas dia.
Meski ada kenaikan harga barang, Deny melihat penjualan pengusaha elektronik masih terbilang aman karena daya beli masyarakat terhadap kebutuhan elektronik masih tinggi. "Di satu sisi melihat tingkat kebutuhan akan elektronik sendiri masih tinggi, jadi tingkat penjualan juga masih terbilang aman," katanya.
Namun, lanjut Deny, masih ada sejumlah pengusaha yang mengeluhkan kondisi melemahnya Rupiah ini. Sebab, mereka harus survive dengan harga yang sekarang. "Kondisi tersebut harus didasari setiap pengusaha karena mereka harus melakukan survive dengan pola penjualannya masing-masing," ungkapnya.
Harga Daging Terdampak
Tak hanya elektronik, harga daging juga terdampak dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi), Suhandri, mengatakan melemahnya Rupiah terhadap Dolar AS bisa membuat harga daging di pasaran merangkak naik.
“Otomatis (harga daging di pasaran naik) karena kenaikan ini atas barang yang sudah masuk,” ujar dia kepada KabarBursa, Rabu, 26 Juni 2024.
Suhandri menjelaskan, barang yang diimpor, dalam hal ini adalah daging, yang sudah masuk tidak berarti sudah dibayar.
Biasanya, daging baru akan dibayar hingga satu atau dua bulan setelah pembelian. Hal inilah yang menyebabkan harga daging di pasaran bisa naik.
Suhandri membeberkan harga daging di pasaran, khususnya sapi bisa bervariasi, tergantung jenisnya.
Suhandri, menyampaikan harapannya kepada pemerintah agar dapat menguatkan kembali nilai tukar rupiah. Contohnya seperti pemerintah melakukan intervensi langsung. “Kalau bisa kembalikan lagi di kurs (rupiah) biasanya, kan ada intervensi dari pemerintah,” ujar Suhandri.
Menurut Suhandri, para pedagang daging, khususnya sapi, mengaku terkejut dengan nilai rupiah saat ini yang kian melorot. Padahal, daya beli masyarakat juga tengah melemah.
Ia mengibaratkan para pedagang daging seperti sedang makan buah simalakama, berada dalam situasi sulit dengan pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Contoh nyatanya adalah, para pedagang bingung, apakah harus menaikkan atau menurunkan harga.
“Kami otomatis agak susah bergerak. Untuk menaikkan (harga) salah, tidak menaikkan juga salah. Nah kalau dinaikkan konsumen takutnya kabur,” ungkap dia.
Karena dilema tersebut, Suhandri mengajak berbicara para anggota (member) Aspidi. Ia menyampaikan hasil diskusi sebagai respons masalah ini dengan memilih tidak akan mendatangkan daging lagi sehingga lebih mendahulukan menjual stok yang masih tersedia.
“Saya sempat bicara dengan satu member, kalau untuk beli daging saat ini kayaknya enggak juga. Jadi paling yang dilakukan adalah kami tetap menjual stok yang ada. Karena pelemahan rupiah ini berdampak kepada permintaan konsumen,” jelas dia.
Tren Pelemahan Rupiah
Sementara itu Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, mengungkapkan bahwa tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun atau kuartal IV-2024.
Menurut Eko, penguatan rupiah hingga akhir 2024 hanya akan terjadi pada momen-momen tertentu seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) dan masa libur akhir tahun.
“Sampai akhir tahun dugaan saya akan ada booster di kuartal IV-2024 karena ada pilkada dan libur akhir tahun, tapi memang secara umum rupiah ini akan cenderung tidak stabil,” ungkap Eko dalam agenda Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun INDEF 2024: Presiden Baru, Persoalan Lama, Selasa 25 Juni 2024.
Eko menambahkan bahwa tidak stabilnya rupiah disebabkan karena banyak pengusaha yang masih bergantung pada bahan baku impor. Mereka perlu membeli dolar AS untuk memenuhi kebutuhan impor mereka. “Otomatis mereka memburu dolar AS untuk bisa mencukupi kebutuhan itu,” tambah Eko.
Esther menyatakan bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan moneter yang masih ketat.
Dengan kondisi tersebut industri manufaktur bakal menjadi salah satu sektor yang paling terdampak karena mayoritas bahan baku yang berasal dari luar negeri.
“Karena nilai tukar Rupiah terhadap dolar terdepresiasi, sehingga industri manufaktur yang menggantungkan diri pada bahan baku impor akan sangat terdampak,” kata Esther.
Esther menegaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah pasti berdampak pada industri manufaktur, karena masih bergantung pada impor bahan baku.
“Ini menunjukkan bahwa produksi industri dalam negeri masih sangat bergantung pada bahan baku impor, sehingga pelemahan mata uang pasti berdampak pada industri manufaktur,” ungkapnya.
Dia juga menyoroti permasalahan kompleks yang sedang dihadapi dalam perekonomian, khususnya terkait dengan tingkat suku bunga yang terus meningkat dan fluktuasi nilai tukar rupiah yang mencapai level Rp16.400-an per dolar AS. Analisisnya menyoroti bahwa hal ini disebabkan oleh kebijakan moneter dan fiskal yang ketat. (yog/*)