KABARBURSA.COM - Produsen tahu dan tempe belum merasakan dampak dari melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta Hedy Kusnoto. Dia menyebut, pengrajin belum terdampak karena harga kedelai belum ada kenaikan.
"Sebagai produsen tempe dan tahu, belum merasakan dampak melemahnya Rupiah terhadap Dolar," kata dia kepada KabarBursa, Jumat 28 Juni 2024.
Bahkan per kemarin, Hedy menyampaikan harga kedelai dari importir mengalami penurunan, di bawah Rp10.000 per kilogram dari sebelumnya Rp10.700 per kilogram.
"Per hari ini (Jumat, 28 Juni 2024) harga DO (Delivery Order) di bawah Rp10.000. Kalau kedelai bola Rp9.875, lalu kedelai Hiu DOnya Rp9.725, merk lain rata-rata di bawah harga yang saya sebut di atas," jelasnya.
Di sisi lain, Hedy merasa heran dengan fenomena penurunan harga kedelai. Namun begitu, dia tetap bersyukur dengan kondisi yang ada. Hedy pun berharap, harga kedelai tetap stabil dan pasokan terus memadai.
"Jujur, sebetulnya, produsen tempe tahu tidak perlu harga naik turun seperti ini. Tapi butuh kestabilan harga dan pasokan cukup, yang diharapkan stabil di angka Rp10.500 hingga Rp11.000. Jangan terlalu lebih dari angka ini," tegas dia.
Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS membuat harga menjadi naik, termasuk di sektor elektronik. Pengusaha elektronik terkena dampak efek nilai tukar Rupiah yang masih melemah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Komoditi Elektronik Indonesia (Apkonik) Deny Irawan, mengatakan salah satu dampak yang dirasakan pengusaha adalah naiknya harga barang.
“Pastinya sangat berdampak, ya (dengan pelemahan Rupiah), salah satunya dengan dampak harga yang mengalami kenaikan 5 sampai 10 persen dari sebelumnya,” aku dia kepada KabarBursa, Jumat 28 Juni 2024.
Meski ada kenaikan harga barang, Deny melihat penjualan pengusaha elektronik masih terbilang aman karena daya beli masyarakat terhadap kebutuhan elektronik masih tinggi.
“Di satu sisi melihat tingkat kebutuhan akan elektronik sendiri masih tinggi, jadi tingkat penjualan juga masih terbilang aman,” katanya.
Namun, lanjut Deny, masih ada sejumlah pengusaha yang mengeluhkan kondisi melemahnya Rupiah ini. Sebab, mereka harus survive dengan harga yang sekarang.
“Kondisi tersebut harus disadari setiap pengusaha, karena mereka harus bertahan dengan pola penjualannya masing-masing,” ungkapnya.
Apkonik meminta pemerintah untuk memperhatikan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Deny menyebut, pihaknya masih mendukung pemerintah dalam mengendalikan kurs rupiah yang semakin melemah.
“Kami selalu berupaya untuk men-support apapun yang dilakukan oleh pemerintah agar bisa menormalisasi segala halnya, terutama terkait tentang pelemahan dolar ini,” ujar dia.
Lebih jauh Deny menuturkan, dampak pelemahan rupiah berpotensi jauh lebih banyak. Bukan hanya di penjualan, kata dia, tapi dari hulu sampai ke hilir juga akan terkena dampaknya.
“Yang alhasil harus survive sendiri setiap pengusaha,” tutur dia.
Tak hanya elektronik, harga daging juga terdampak dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi) Suhandri, mengatakan melemahnya Rupiah terhadap Dolar AS bisa membuat harga daging di pasaran merangkak naik.
“Otomatis (harga daging di pasaran naik) karena kenaikan ini atas barang yang sudah masuk,” ujar dia kepada KabarBursa, Rabu, 26 Juni 2024.
Suhandri menjelaskan, barang yang diimpor, dalam hal ini adalah daging, yang sudah masuk tidak berarti sudah dibayar. Biasanya, daging baru akan dibayar hingga satu atau dua bulan setelah pembelian. Hal inilah yang menyebabkan harga daging di pasaran bisa naik.
Suhandri membeberkan harga daging di pasaran, khususnya sapi bisa bervariasi, tergantung jenisnya.
Suhandri kemudian menyampaikan harapannya kepada pemerintah agar dapat menguatkan kembali nilai tukar rupiah. Contohnya seperti pemerintah melakukan intervensi langsung.
“Kalau bisa kembalikan lagi di kurs (Rupiah) biasanya, kan ada intervensi dari pemerintah,” ujar Suhandri.
Menurut Suhandri, para pedagang daging, khususnya sapi, mengaku terkejut dengan nilai rupiah saat ini yang kian melorot. Padahal, daya beli masyarakat juga tengah melemah.
Ia mengibaratkan para pedagang daging seperti sedang makan buah simalakama, berada dalam situasi sulit dengan pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Contoh nyatanya adalah, para pedagang bingung, apakah harus menaikkan atau menurunkan harga.
“Kami otomatis agak susah bergerak. Untuk menaikkan (harga) salah, tidak menaikkan juga salah. Nah kalau dinaikkan konsumen takutnya kabur,” ungkap dia.
Karena dilema tersebut, Suhandri mengajak berbicara para anggota (member) Aspidi. Ia menyampaikan hasil diskusi sebagai respons masalah ini dengan memilih tidak akan mendatangkan daging lagi sehingga lebih mendahulukan menjual stok yang masih tersedia.
“Saya sempat bicara dengan satu member, kalau untuk beli daging saat ini kayaknya enggak juga. Jadi paling yang dilakukan adalah kami tetap menjual stok yang ada. Karena pelemahan rupiah ini berdampak kepada permintaan konsumen,” jelas dia.(yog/*)