KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah ditutup menurun sebesar 40 point ke level Rp16.826 terhadap dolar AS pada perdagangan Selasa, 15 April 2025. Pelemahan mata uang Indonesia ini di tengah penangguhan tarif otomotif oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, penangguhan tersebut mengindikasikan potensi pengecualian dari tarif 25 persen pada impor kendaraan asing, terutama dari negara-negara seperti Meksiko dan Kanada.
"Sebelum ini, pemerintah mengumumkan pengecualian untuk barang elektronik tertentu, termasuk telepon pintar dan laptop, terutama dari Tiongkok," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 15 April 2025.
Menurut Ibrahim, perkembangan itu telah meredakan beberapa kekhawatiran pasar atas meningkatnya ketegangan perdagangan. Namun, investor masih berhati-hati karena pemerintahan Trump terus maju dengan rencana untuk berpotensi mengenakan tarif pada impor semikonduktor dan farmasi.
"Investigasi terhadap tarif ini diumumkan pada hari Senin melalui pemberitahuan yang diunggah ke Federal Register oleh Departemen Perdagangan," ungkapnya.
Ibrahim menilai, kebijakan tarif pemerintahan Trump ini merupakan guncangan besar bagi ekonomi Amerika Serikat (AS). Dia bilang, Gubernur Fed Christopher Waller pernah menyampaikan kondisi ini dapat menyebabkan Federal Reserve memangkas suku bunga untuk mencegah resesi bahkan jika inflasi tetap tinggi.
Dari dalam negeri, Indonesia mencatatkan rekor tertinggi cadangan devisa pada Maret 2025, yakni sebesar USD157,1 miliar. Angka ini melampaui konsensus pasar sebesar USD155 miliar, bahkan menembus estimasi sejumlah ekonom yang memproyeksikan cadangan devisa hanya mencapai USD154 miliar. Lonjakan ini terjadi di tengah tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang bergerak di kisaran IDR 16.800 hingga 17.000 per dolar AS.
"Bank Indonesia akan terus bersinergi dengan Pemerintah untuk memperkuat ketahanan eksternal demi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," jelas Ibrahim.
Ekonom senior Fithra Faisal Hastiadi menilai bahwa kenaikan cadangan devisa ini merupakan buah dari masuknya dana penerimaan pajak, pendapatan jasa, serta penarikan pinjaman luar negeri. Menurutnya, ini menjadi bantalan yang kuat untuk menghadapi gejolak pasar keuangan global.
“Berkat masuknya dana dari penerimaan pajak, pendapatan jasa, dan penarikan pinjaman luar negeri, cadangan devisa Indonesia pada Maret 2025 melonjak ke rekor tertinggi sebesar USD157,1 miliar (Februari: USD154,5 miliar), melampaui konsensus pasar sebesar USD155 miliar dan estimasi kami sebesar USD154 miliar. Kenaikan ini memberikan bantalan terhadap volatilitas di pasar keuangan global,” ungkap Fithra dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 15 April 2025.
Ia juga menyoroti keluwesan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang dinilai berhasil menjaga stabilitas nilai tukar sambil memastikan likuiditas yang cukup. Cadangan saat ini, lanjutnya, setara dengan lebih dari 6,9 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri, jauh di atas batas kecukupan internasional.
“Berkat keluwesan kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar sambil memastikan ketersediaan likuiditas yang memadai untuk melindungi perekonomian dari guncangan eksternal, tingkat cadangan saat ini setara dengan lebih dari 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri resmi, jauh di atas ambang batas kecukupan internasional,” jelas Fithra.
Dolar Dekati Level Terendah
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terlihat tetap melemah pada Selasa (15/4), diperdagangkan mendekati level terendah dalam tiga tahun terhadap euro dan berada di posisi terlemah dalam enam bulan terhadap yen Jepang.
Situasi ini mencerminkan kehati-hatian investor global yang masih bergulat memahami dinamika kebijakan tarif Presiden Donald Trump, yang terus berubah dan menyebabkan ketidakpastian pada pasar keuangan internasional.
Meskipun sebagian besar volatilitas ekstrem yang mengguncang dolar dan menyebabkan lonjakan imbal hasil obligasi AS (US Treasury) pada pekan lalu mulai mereda, sentimen investor masih terlihat rapuh.
Euro, yang menjadi salah satu mata uang yang paling diuntungkan dari aksi jual aset-aset berbasis dolar sepanjang bulan ini, sedikit terkoreksi ke level USD1,1336. Namun, mata uang tunggal Eropa ini tetap berada di bawah level tertinggi tiga tahun yang sempat disentuh pekan lalu di kisaran USD1,1474.
Dolar AS juga tergelincir terhadap yen Jepang, berada di posisi 142,99 yen, hanya sedikit di atas level terendah enam bulan di angka 142,05 yang tercatat pada Jumat sebelumnya. Tekanan terhadap greenback juga terasa dalam perdagangan terhadap franc Swiss. S
etelah jatuh ke posisi terendah dalam satu dekade terhadap mata uang safe haven tersebut pekan lalu, dolar sedikit menguat 0,2 persen pada Selasa. Namun sepanjang bulan ini, dolar telah kehilangan hampir 8 persen nilainya terhadap franc Swiss — penurunan bulanan terbesar sejak krisis keuangan global pada Desember 2008.
Salah satu penyebab utama melemahnya dolar adalah ketidakjelasan arah kebijakan tarif Presiden Trump. Di tengah ketegangan dagang dengan China, pemerintah AS baru-baru ini menghapus tarif atas telepon pintar dan barang-barang elektronik lainnya.
Langkah ini sempat memberi napas lega kepada pelaku pasar, tetapi komentar Trump yang ambigu menimbulkan kekhawatiran bahwa keringanan tarif ini hanya bersifat sementara. Ketidakkonsistenan dalam pemberlakuan dan penundaan tarif yang mendadak memicu ketidakpastian tambahan bagi investor dan pembuat kebijakan di seluruh dunia.
Analis memperingatkan bahwa meskipun suasana pasar tampak lebih tenang pada Selasa, prospek dolar tetap dibayangi keraguan. Menurut Antje Praefcke, analis dari Commerzbank, setiap perubahan mendadak dalam proses "deal-making" oleh Trump memperlemah rasa aman dan kepercayaan investor. Ia memperkirakan bahwa pemulihan signifikan dolar AS tidak akan terjadi selama ketidakpastian kebijakan ini masih berlangsung.
Di pasar obligasi, imbal hasil US Treasury 10 tahun sempat naik tipis sebesar 2 basis poin menjadi 4,38 persensetelah sebelumnya anjlok hampir 13 bps. Kenaikan tajam sekitar 50 bps yang terjadi pada pekan lalu bahkan tercatat sebagai yang terbesar dalam lebih dari dua dekade terakhir, sebuah gejolak yang mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap status obligasi AS sebagai salah satu aset paling aman di dunia.
Analis dari TD Securities, Prashant Newnaha, menilai bahwa aksi minggu lalu lebih banyak didorong oleh proses deleveraging, likuidasi, dan realokasi aset dari pasar AS ke alternatif yang lebih stabil. Ia mencatat bahwa suasana pasar pada pekan ini terasa lebih tenang, terutama karena adanya libur panjang yang mendekat, serta dukungan dari pernyataan pejabat The Fed yang cenderung dovish.
Gubernur Federal Reserve, Christopher Waller, turut memperkuat sentimen pasar setelah mengatakan bahwa kebijakan tarif pemerintahan Trump merupakan guncangan besar bagi ekonomi AS. Ia menyebutkan bahwa situasi ini dapat mendorong bank sentral memangkas suku bunga meskipun inflasi tetap tinggi, sebagai langkah untuk mencegah resesi.
Pernyataan ini memperkuat ekspektasi pasar terhadap pelonggaran moneter lebih lanjut. Berdasarkan data dari LSEG, para trader kini memperkirakan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 86 basis poin untuk sisa tahun ini.
Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama dunia, berada di level 99,641. Angka ini tidak jauh dari posisi terendah dalam tiga tahun terakhir dan mencerminkan penurunan lebih dari 4 persen sepanjang bulan ini — koreksi bulanan terbesar sejak November 2022.
Di sisi lain, mata uang-mata uang berisiko menunjukkan penguatan. Poundsterling menguat tipis 0,1 persen menjadi USD1,347. Dolar Australia naik 0,7 persen ke posisi USD0,6371, sementara dolar Selandia Baru melonjak 0,71 persen menjadi USD0,592 — mendekati level tertinggi dalam empat setengah bulan terakhir.
Penguatan mata uang-mata uang ini menunjukkan adanya pergeseran sentimen investor ke aset non-AS, seiring dengan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap arah kebijakan Washington.
Dalam konteks global yang semakin tidak pasti ini, pelaku pasar kini harus menavigasi lanskap ekonomi dengan lebih hati-hati, mempertimbangkan risiko geopolitik, kebijakan fiskal yang berubah-ubah, serta kemungkinan pelonggaran moneter dari bank sentral terbesar di dunia.(*)