KABARBURSA.COM - Lemahnya nilai tukar rupiah, mengerek naik harga berbagai komoditas pokok masyarakat. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut lemahnya nilai tukar rupiah berpengaruh pada harga bahan pokok yang bergantung pada produk impor yang diantaranya; beras, gula, dan kedelai.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menilai, kebijakan impor komoditas pangan selalu dihadapkan pada dua risiko, yakni harga di pasar dunia dan lemahnya nilai tukar rupiah.
“Impor, apapun komoditasnya, termasuk komoditas pangan selalu dihadapkan pada dua risiko terkait harga, yaitu harga komoditas di pasar dunia yang naik dan kurs rupiah,” kata Khudori kepada Kabar Bursa, Minggu, 30 Juni 2024.
Untuk sektor Beras, kata Khudori, Perum Bulog sudah mengantongi kuota impor sebesar 3,6 juta ton di awal tahun 2024. Adapun kebijakan itu juga telah disetujui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Di sisi lain, pemerintah menambah kebijakan impor beras dengan total keseluruhan 5,17 juta ton. Jika Bulog telah memiliki izin dari Kemendag dan telah berkontrak dengan eksportir, kata Khudori, risiko tingginya harga beras impor bisa dihindari.
“Jika sudah, mestinya dalam kontrak itu sudah disepakati hal-hal detail. Termasuk harga, pengiriman dan lain-lain. Artinya kalau benar 3,6 juta ton itu sudah dikontrak sebelum rupiah melemah seperti saat ini, risiko kurs tidak terjadi,” jelasnya.
Sebaliknya, Khudori memprediksi banyak risiko yang ditanggung pemerintah jika transaksi impor dilakukan pada saat rupiah melemah. “Jika pun yang terakhir ini yang terjadi, risiko kurs akan terjadi pada impor tambahan yang perlu dieksekusi Bulog dari 2 juta ton yang sudah didatangkan ke RI,” katanya.
“Mempertimbangkan potensi produksi beras tahun ini yang turun, impor beras tahun ini akan lebih besar dari impor tahun lalu yang mencapai 3,06 juta ton. Hitung-hitungan saya, dengan asumsi stok akhir harus 1,2 juta ton beras, Bulog perlu menambah impor 1,3 juta ton lagi,” ujarnya.
Lebih jauh, Khudori juga menilai, impor beras mesti dilakukan secara bertahap dan terbatas agar harga pasar dunia tetap stabil. Dengan begitu, risiko impor yang muncul seiring melemahnya rupiah bisa dimitigasi.
“Agar harga beras di pasar dunia tidak naik, impor harus dilakukan gradual dalam jumlah terbatas tapi terus-menerus. Manakala kurs rupiah menguat, risiko kurs pun secara gradual bisa ditekan,” pungkasnya.
Harga Retail Bahan Pokok Berpotensi Naik
Sebelumnya, Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey, mengakui sektor ritel juga ikut merasakan dampak negatif akibatnya lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Roy menuturkan, naiknya harga bahan pokok tidak sebatas keputusan ritel, melainkan pemasok yang mematok harga lebih tinggi akibat bahan baku diimpor terdampak penguatan dolar AS.
“Bahan baku dan bahan penolong yang diproduksi oleh supplier atau produsen menjadi lebih mahal karena mereka harus membayar dengan dolar, sementara pendapatan mereka dalam rupiah. Hal ini membuat harga jual di ritel naik,” kata Roy beberapa waktu lalu.
“Ritel tidak menaikkan harga, namun karena produsen dan supplier menaikkan harga bahan baku dan penolong, maka harga di hilir otomatis naik,” katanya menambahkan.
Adapun bahan pokok yang diperkirakan mengalami kenaikan harga, yakni gula konsumsi, beras, dan produk berbahan baku kedelai. Roy menyebut, sebagian besar komoditas tersebut masih bergantung pada impor.
“Kedelai, misalnya, harus diimpor dari Amerika Latin. Begitu juga dengan beras dan gula yang masih diimpor. Jika subsidi dari pemerintah tidak naik, maka harga jual akan naik,” tutupnya.
Sementara itu, mengacu pada panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Minggu, 30 Juni 2024, harga bersa premium berada di harga Rp15.440 per kilogram, beras medium Rp13.510 per kilogram, kedelai biji kering impor Rp12.050 per kilogram, dan gula konsumsi Rp18.010 per kilogram.
Pengusaha Gas Bumi Rugi Akibat Lemahnya Nilai Tukar Rupiah
Industri gas bumi di Indonesia kembali menghadapi tantangan berat. Kali datang dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Awalnya, Ikatan Perusahaan Gas Bumi Indonesia (IPGI) mengeluhkan kebijakan standar ganda yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia, yang menyebabkan pelaku industri gas bumi mengalami kerugian signifikan.
Ketua Umum IPGI, Eddy Asmanto, kemudian menyinggung soal melemahnya nilai tukar rupiah sangat mempengaruhi industri gas bumi.
Ia menyebutkan bahwa meskipun ada peraturan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan semua transaksi di dalam negeri harus menggunakan rupiah, namun khusus untuk gas, pembelian dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) tetap menggunakan dolar AS, sementara penjualan ke konsumen harus dilakukan dengan rupiah.
“Khusus untuk gas kita membeli gas dari K3S tetap menggunakan mata uang dolar AS. Tapi kita harus menjual kepada konsumen dengan rupiah,” kata Eddy saat menggelar konferensi per di kawasan Jakarta Timur, Jumat, 28 Juni 2024.
Menurut Eddy, bahwa pembelian dari K3S dengan menggunakan dolar AS, namun pembayaran dari konsumen dilakukan dalam rupiah menyebabkan kerugian akibat fluktuasi nilai tukar rupiah.
Ia menegaskan, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyebabkan pelaku industri gas bumi mengalami kerugian yang cukup signifikan.
“Ya yang saya katakan tadi, pembelian dari K3S tetap menggunakan dolar AS, tapi pembayaran dari konsumen menggunakan rupiah rupiah,” tukasnya.
Dia pun mencontohkan, ketika pihaknya membeli dari K3S di saat nilai tukar rupiah berada di level Rp16.000 per dolar dan begitu akan menjual nilai tukar menjadi Rp15.000, maka pihaknya mengalami kerugian.
“Sehingga ketika nilai tukar rupiah berfluktuasi, kita selalu mendapatkan kerugian dari selisih dalam kurs. Jadi ya itu (nilai tukar rupiah) sangat berpengaruh,” ucapnya.
Edy pun menilai pemerintah terkesan memiliki sikap standar ganda terkait transaksi dalam industri gas bumi.
“Ada selisih kurs, kita beli menggunakan dolar AS, tapi jual harus dengan rupiah. Menurut kami ini kan standar,” pungkasnya.
Nilai tukar dolar pada Jumat, 28 Juni 2024 berad di posisi Rp16.366-an.
Secara bulanan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah masih menguat 0,76 persen. Jika dilihat dari awal tahun dolar AS juga masih menguat 6,32 persen. (and/*)