KABARBURSA.COM - Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI), Solikin M. Juhro menyatakan saat ini Indonesia memiliki cadangan devisa yang solid sebesar USD154,5 miliar dan defisit transaksi berjalan yang terkendali pada -0,32 persen dari PDB.
Hal ini disampaikan setelah rupiah Indonesia semakin melemah ke level terendah terhadap dolar AS jika dibandingkan sejak krisis keuangan Asia 1998. Rupiah melemah hingga 0,5 persen dan sempat menyentuh 16.640 per dolar AS, mendekati rekor terendah 16.800 yang terjadi pada Juni 1998—tahun jatuhnya rezim Soeharto setelah lebih dari tiga dekade berkuasa.
Solikin memastikan BI melakukan intervensi di pasar obligasi dan valuta asing dengan tujuan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta menjaga keseimbangan antara permintaan dan pasokan devisa guna mempertahankan kepercayaan pasar.
"Pelemahan rupiah baru-baru ini terutama didorong oleh faktor global yang masih sangat tidak pasti," kata dia dikutip Rabu, 2 April 2025.
Meskipun BI menyalahkan faktor eksternal, investor lebih khawatir terhadap kebijakan fiskal yang longgar dari Presiden Prabowo. Program andalannya, yaitu pemberian makan siang gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil, diperkirakan menelan biaya sekitar USD28 miliar per tahun dan memberikan tekanan besar pada keuangan pemerintah. Indonesia mencatat defisit anggaran yang tak terduga dalam dua bulan pertama tahun ini.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menanggapi pernyataan Bank Indonesia yang kembali menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat di tengah tekanan nilai tukar rupiah.
Menurutnya, stabilitas makroekonomi tidak cukup hanya dijaga melalui intervensi moneter, tetapi juga harus diiringi dengan kebijakan fiskal yang kredibel dan strategi komunikasi ekonomi yang solid.
"Pasar tidak hanya melihat intervensi BI di pasar valuta asing atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN), tetapi juga menilai arah kebijakan ekonomi secara keseluruhan. Jika pemerintah tidak memberikan sinyal yang jelas mengenai strategi fiskal dan industri ke depan, maka kepercayaan investor bisa terus tergerus," ujar Syafruddin.
Rupiah sempat menyentuh Rp16.640 per dolar AS pada 25 hingga 26 Maret 2025, yang merupakan level terendah sejak krisis Asia 1998. BI telah melakukan intervensi melalui pelepasan cadangan devisa dan transaksi domestic non-deliverable forward (DNDF), namun nilai tukar masih bertahan di sekitar Rp16.500 per dolar AS hingga akhir Maret. Syafruddin menilai langkah BI tersebut bersifat reaktif dan tidak akan cukup tanpa koordinasi erat dengan Kementerian Keuangan serta pelaku industri.
"Krisis nilai tukar bukan hanya soal defisit transaksi berjalan atau tekanan eksternal semata. Ada faktor kredibilitas kebijakan yang ikut menentukan. Investor global saat ini lebih berhati-hati terhadap negara-negara berkembang yang tidak memiliki strategi fiskal jangka menengah yang jelas," papar dia.
Syafruddin juga menyoroti arus modal keluar (capital outflow) yang mencapai USD2,8 miliar sepanjang kuartal pertama 2025. Ia menilai bahwa tingginya outflow ini bukan hanya akibat kebijakan moneter AS yang lebih ketat, tetapi juga dipengaruhi oleh ketidakpastian dalam kebijakan fiskal domestik. "Vietnam, Filipina, dan Malaysia mampu menjaga stabilitas nilai tukarnya karena komunikasi kebijakan mereka lebih kredibel. Ini yang harus kita pelajari," tambahnya.
Lebih lanjut, Syafruddin memperingatkan potensi risiko dari utang luar negeri jangka pendek sektor swasta non-bank yang mencapai USD48 miliar, dengan sekitar 65 persen di antaranya belum terlindungi (unhedged). Menurutnya, kondisi ini mengingatkan pada krisis 1998, ketika kegagalan manajemen risiko utang korporasi memicu kepanikan di pasar keuangan.
Jika tidak ada strategi mitigasi yang jelas dari pemerintah, termasuk kebijakan insentif untuk lindung nilai (hedging), ia khawatir risiko gagal bayar bisa meningkat dan semakin memperburuk tekanan terhadap rupiah.
Sebagai solusi, Syafruddin menekankan pentingnya pembentukan tim komunikasi ekonomi nasional yang terdiri dari ekonom senior, mantan pejabat teknokrat, serta tokoh yang dihormati pasar. Ia juga mengusulkan agar pemerintah segera mengumumkan roadmap reformasi struktural dan kebijakan fiskal jangka menengah untuk memperkuat kepercayaan investor.
Narasi bahwa fundamental Indonesia kuat harus diikuti dengan transparansi terhadap risiko yang ada dan langkah konkret untuk memperbaikinya. Menurut dia, jika hanya mengandalkan intervensi moneter tanpa reformasi kebijakan, maka Indonesia bisa saja mengulang pola krisis yang sama seperti di masa lalu.
Langkah Korektif Pemerintah
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi H Amro, menegaskan bahwa pelemahan Rupiah yang terus berlanjut bisa memicu revisi asumsi makro dalam APBN. Jika nilai tukar terus tertekan dan melewati ambang batas yang ditetapkan, DPR akan mendesak langkah korektif dari pemerintah.
"Terkait kemungkinan revisi asumsi makro, termasuk nilai tukar Rupiah dalam APBN, tentu akan kami pertimbangkan jika pelemahan ini berlanjut. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi dampaknya sangat nyata bagi daya beli masyarakat dan harga kebutuhan pokok," ujar Fauzi kepada KabarBursa.com, Kamis, 27 Maret 2025.
Ia juga menekankan bahwa perlindungan sosial harus menjadi prioritas agar masyarakat tidak menanggung dampak penuh dari depresiasi Rupiah.
"Kami tidak ingin rakyat menjadi korban pertama. Jika diperlukan, DPR akan mendorong alokasi anggaran yang lebih besar untuk jaring pengaman sosial guna meredam dampak pelemahan Rupiah," jelasnya.
Fauzi mendesak pemerintah, khususnya otoritas fiskal dan moneter, untuk segera mengambil langkah konkret guna menjaga stabilitas ekonomi. Menurutnya, kepercayaan pasar harus dipulihkan agar nilai tukar tidak terus tertekan.
"Situasi ini harus ditangani dengan cepat dan tepat. Jika tidak, beban ekonomi yang ditanggung masyarakat akan semakin berat," pungkasnya.
Rupiah Terancam Jebol ke Rp16.620
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah akan terus mengalami pelemahan hingga ke level Rp16.620. Menurutnya, pelemahan rupiah akan terus terjadi seiring dengan peningkatan ekskalasi konflik di Timur Tengah.
“Apa yang menyebabkan rupiah begitu tajam? Geopolitik masih terus memanas di mana Amerika sudah mengancam Iran dan memberikan ultimatum untuk perang atau menghentikan reactor nuklirnya,” kata Ibrahim
Menurutnya, ultimatum ini adalah ancaman untuk negara-negara di Timur Tengah dan menunjukkan kesiapan Amerika Serikat (AS) untuk menyerang Iran yang diduga berada di belakang layar atas serangan Houthi, Yaman di Laut Merah. Selama ini Houthi menyerang kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel yang melintas di Laut Merah.
Faktor eksternal berikutnya yang jadi penyebab pelemahan Rupiah terhadap dolar adalah genosida kedua yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di jalur Gaza. Meski kekejaman Israel terus mendapat protes dari warganya, Israel menganggap jalur Gaza adalah wilayahnya sehingga terus melakukan pengeboman.
Selain genosida, lanjut Ibrahim, serangan Houthi Yaman di Laut Merah yang kian masif membuat 80 persen perdagangan yang melintasi Laut Merah harus berbelok ke Afrika.
“Ini yang membuat harga-harga transportasi naik tinggi dan ini akan membuat biaya cukup mahal serta mendorong terjadinya inflasi,” jelasnya. (*)