KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat di awal Juli. Hingga Selasa siang, 1 Juli 2025, rupiah diperdagangkan di level Rp16.187 per dolar AS, menguat 51 poin atau 0,31 persen dibandingkan posisi penutupan pada Senin sore, 30 Juni 2025 di angka Rp16.238.
Penguatan ini terjadi seiring dengan melemahnya indeks dolar AS, yang tertekan oleh meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap kondisi fiskal Negeri Paman Sam.
Menurut ekonom senior KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana, salah satu penyebab utama pelemahan dolar adalah sentimen negatif terkait potensi defisit anggaran AS yang semakin melebar, terutama jika RUU pemangkasan pajak dan peningkatan belanja yang didukung Partai Republik benar-benar disahkan.
RUU tersebut, yang digulirkan dalam masa pemerintahan Presiden Donald Trump, diperkirakan akan menambah beban utang nasional AS hingga USD3,3 triliun, dari posisi saat ini yang sudah mencapai USD36,2 triliun.
Prospek tersebut menimbulkan ketidakpastian baru di pasar keuangan global, yang akhirnya memberi ruang bagi mata uang negara berkembang seperti rupiah untuk menguat.
Namun bukan hanya sentimen eksternal yang bekerja. Dari dalam negeri, kabar baik datang dari kinerja perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2025 mencapai USD4,30 miliar, melonjak jauh dari posisi April yang hanya mencatatkan surplus USD160 juta.
Capaian tersebut menandai rekor 61 bulan berturut-turut Indonesia mencatatkan surplus perdagangan barang sejak Mei 2020.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, mengatakan capaian itu tak hanya mencerminkan kekuatan sektor ekspor, tetapi juga memberikan dorongan psikologis bagi pasar keuangan, termasuk terhadap kinerja rupiah.
Perjalanan Terjal Rupiah di 2025
Di balik penguatan hari ini, rupiah sebenarnya telah melalui perjalanan yang cukup terjal sepanjang paruh pertama tahun ini. Mata uang Garuda membuka tahun di level Rp16.132 per dolar AS.
Namun, pada 23 April lalu, rupiah sempat terpuruk hingga menyentuh Rp16.872level terlemahnya dalam enam bulan terakhir.
Penurunan tersebut tak lepas dari tekanan global, terutama dari arah kebijakan moneter AS. Sikap hawkish The Federal Reserve terkait potensi kenaikan suku bunga membuat dolar menguat dan memicu arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Faktor geopolitik global serta inflasi domestik yang masih bergerak dinamis juga ikut memberi tekanan pada rupiah. Namun memasuki Mei dan Juni, tekanan mulai mereda. Sejak titik terlemahnya di April, rupiah sudah menguat sekitar 3,76 persen hingga akhir Juni, ditutup di level Rp16.238.
Penguatan rupiah ini dinilai sejumlah analis sebagai indikasi pemulihan kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia. Stabilitas kebijakan moneter Bank Indonesia serta ketegasan pemerintah dalam menjaga fondasi fiskal menjadi faktor penting dalam membentuk persepsi positif tersebut.
Meski demikian, sejumlah tantangan masih membayangi. Arah suku bunga global, kondisi geopolitik, serta keberlanjutan arus investasi asing akan menjadi penentu utama apakah penguatan rupiah ini bisa bertahan atau justru kembali berbalik.
Saat ini, rupiah memang sedang menikmati momen menguat. Namun dengan dinamika eksternal yang masih sangat fluktuatif, kehati-hatian tetap dibutuhkan. Stabilitas nilai tukar bukan semata soal intervensi pasar, melainkan cerminan dari konsistensi kebijakan makroekonomi yang kokoh di tengah badai global.(*)