KABARBURSA.COM - Mata uang rupiah ditutup menguat 65 poin di level Rp16.561 terhadap dolar AS pada perdagangan Rabu, 14 Mei 2025. Penguatan rupiah terjadi di tengah meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Adapun , AS resmi memotong tarif terhadap China menjadi 30 persen dari sebelumnya sebesar 145 persen. Sebaliknya, China turut memangkas tarif produk AS menjadi 10 persen yang awalnya sebesar 125 persen.
Pengamat mata uang dan komoditas Ibrahim Assuaibi mengatakan, keputusan dua negara untuk memangkas tarif sukses meredakan kekhawatiran resesi global.
Ia menilai perkembangan ini memberikan kelonggaran bagi The Fed untuk menyesuaikan suku bunga. Tetapi, kata Ibrahim, para analis memperingatkan bahwa bank sentral mungkin akan tetap berada di pinggir lapangan, menilai negosiasi tarif lebih lanjut.
"Dalam pertemuan terakhir mereka, pejabat Fed tampaknya cenderung menunggu tanda-tanda yang jelas dari kemerosotan ekonomi sebelum memangkas suku bunga," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 14 Mei 2025.
Selanjutnya, sentimen terhadap rupiah masih datang dari Negeri Paman Sam. Ibrahim menuturkan, data pada hari Selasa, 13 Mei 2025 menunjukkan bahwa inflasi indeks harga konsumen AS lebih rendah dari perkiraan.
"Ini meredakan beberapa kekhawatiran tentang dampak tarif perdagangan AS," katanya.
Adapun untuk perdagangan besok, Kamis, 15 Mei 2025, Ibrahim memperkirakan mata uang rupiah bergerak fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.500 - Rp16.570.
Melonggarnya perang dagang AS dan China juga berefek positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan membaiknya perang dagang kedua negara tersebut menjadi sentimen positif bagi IHSG.
Hendra menilai kesepakatan ini dinilai jauh lebih baik dari ekspektasi pasar dan memperbesar peluang perbaikan rantai pasok global. Selain itu, volume perdagangan dunia juga diprediksi akan meningkat.
Menurut ia, kondisi tersebut turut mendongkrak minat terhadap aset berisiko, termasuk pasar saham negara berkembang seperti Indonesia.
"Meskipun investor asing masih mencatatkan net sell sebesar Rp53,85 triliun sepanjang tahun berjalan, daya tahan investor domestik cukup solid menopang pasar," jelasnya.
Hendra menjelaskan, menguatnya IHSG sebesar 0,25 persen ke level 6.832,80 pada pekan lalu menjadi sinyal awal bahwa sentimen pasar mulai berubah arah.
"Secara teknikal, jika level resistance 6.945 berhasil ditembus dengan volume transaksi yang memadai, maka peluang IHSG mencapai dan menembus 7.000 dalam waktu dekat bahkan dalam satu hingga dua pekan ke depan sangat terbuka," terangnya.
Di sisi lain, Hendra memandang nilai tukar rupiah masih menghadapi tekanan dari penguatan dolar AS yang menguat seiring ekspektasi peningkatan ekspor AS dan arus masuk modal ke aset dolar.
Namun demikian, fundamental domestik yang solid, termasuk cadangan devisa tinggi dan inflasi yang terjaga membuat stabilitas rupiah masih dalam batas aman.
"Bank Indonesia diperkirakan akan terus melakukan intervensi di pasar spot, DNDF, dan SBN untuk menjaga stabilitas Dalam jangka pendek, rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp15.900–Rp16.150 per dolar AS," katanya.
Selamatkan Nilai Tukar Rupiah, BI Turunkan Cadangan Devisa
Cadangan devisa Indonesia pada April 2025 menurun signifikan menjadi USD 152,5 miliar dari rekor sebelumnya USD 157,1 miliar pada Maret.
Penurunan bulanan terbesar sejak pertengahan 2022 ini menunjukkan langkah aktif Bank Indonesia (BI) dalam menahan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah.
Senior Ekonom Fithra Faisal Hastiadi menyebut bahwa penurunan tersebut sebagian besar disebabkan oleh intervensi BI di pasar valuta asing serta pembayaran utang luar negeri pemerintah yang terjadwal.
Intervensi BI diperkirakan mencapai USD 2 miliar selama April, dalam rangka meredam volatilitas berlebihan yang dipicu oleh penguatan Dolar AS dan gejolak eksternal lainnya.
“Langkah intervensi BI mencerminkan sikap proaktif dalam menjaga stabilitas nilai tukar sebagai instrumen utama untuk menjaga ekspektasi inflasi, terutama karena risiko inflasi impor mulai muncul kembali,” ujar Fithra dalam keterangan tertulisnya dikutip Senin, 9 Mei 2025.
Ia menjelaskan, tekanan terhadap Rupiah belakangan ini kembali mencuat akibat kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS dan kekhawatiran pasar atas kemungkinan kebijakan tarif dari Presiden Trump. Kombinasi faktor global tersebut membuat nilai tukar USD/IDR menembus level 16.500, sementara IHSG turut tertekan dan turun 1,4 persen.
Meski cadangan devisa mengalami penurunan, Fithra menegaskan bahwa posisi cadangan Indonesia masih memadai. Dengan level saat ini, cadangan devisa mampu menutup 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah—jauh di atas ambang batas 3 bulan yang direkomendasikan IMF.
Menurut Fithra, lonjakan inflasi tahunan dari 1,03 persen pada Maret menjadi 1,95 persen pada April turut memperkuat alasan intervensi BI. Peningkatan ini didorong oleh permintaan musiman selama Lebaran dan kenaikan harga impor.
Namun, ia memproyeksikan BI tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, dan justru akan melanjutkan kebijakan pelonggaran makroprudensial untuk mendukung penyaluran kredit.
“Pendekatan hati-hati ini memungkinkan pelonggaran makroprudensial tetap berlanjut guna mendukung penyaluran kredit dan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Menurut Fithra, BI kemungkinan besar akan mempertahankan strategi intervensinya dalam jangka pendek, mengingat ketidakpastian global masih tinggi—termasuk arah kebijakan The Fed, ketegangan dagang AS-Tiongkok, dan volatilitas pasar keuangan internasional.
Namun, ia juga melihat peluang pemulihan cadangan devisa di paruh kedua 2025. Pemulihan ini akan ditopang oleh ekspor komoditas seperti batu bara dan kelapa sawit, bangkitnya sektor pariwisata, serta arus modal dari restrukturisasi BUMN dan penerbitan obligasi.
“Kami memperkirakan cadangan devisa Indonesia akan stabil di kisaran USD 150–155 miliar pada kuartal II 2025, sebelum pulih secara bertahap pada paruh kedua 2025, selama tidak terjadi penurunan besar dalam selera risiko global,” tutur Fithra.
Ia menambahkan, tekanan terhadap Rupiah memang belum sepenuhnya mereda, namun posisi cadangan yang cukup dan intervensi yang bijak diharapkan mampu menjaga stabilitas sistem keuangan dalam waktu dekat.(*)