KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Jumat, 15 November 2024 stagnan di level Rp15.850 per dolar AS. Meski fluktuasi terjadi sepanjang hari, rupiah bertahan di posisi tersebut setelah tertekan oleh beberapa faktor ekonomi global dan domestik.
Keadaan ini juga mencerminkan tekanan yang sama dialami oleh banyak mata uang di pasar negara berkembang (emerging markets), terutama di Asia, yang terimbas oleh kebijakan moneter di Amerika Serikat dan ketidakpastian ekonomi global.
Rupiah sempat merosot ke Rp15.945/USD sepanjang perdagangan. Ini adalah level terlemah bagi rupiah sejak 12 Agustus 2024, yang sempat mencapai Rp15.950/USD.
Sejak awal pekan, rupiah telah melemah sekitar 1,18 persen dibandingkan dengan posisi sebelumnya di level Rp15.665/USD. Pelemahan rupiah ini sejalan dengan penguatan dolar AS, yang dipicu oleh sentimen kebijakan The Fed yang cenderung lebih hawkish (agresif dalam kebijakan moneter) daripada yang diperkirakan banyak analis.
Perlambatan dalam pemangkasan suku bunga oleh The Fed memberi sinyal bahwa dolar AS mungkin akan terus mendominasi pasar mata uang, menambah tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Rupiah dan aset negara berkembang lainnya, seperti saham dan obligasi, berisiko lebih tertekan jika kebijakan suku bunga AS tetap tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tekanan Serupa pada Mata Uang Asia Lainnya
Mata uang Asia lainnya juga menunjukkan kinerja yang lemah terhadap dolar AS.
Dalam beberapa hari terakhir, mata uang seperti ringgit Malaysia, baht Thailand, dan dolar Singapura mengalami tekanan serupa, meskipun ada sedikit penguatan pada hari ini.
Ringgit Malaysia, misalnya, meskipun ada sedikit kenaikan tetap saja mencatatkan penurunan signifikan sejak awal bulan ini. Pelemahannya mencapai 3 persen, dipicu oleh kekhawatiran terhadap tarif yang diusulkan oleh Presiden AS terpilih Donald Trump, yang dapat memperburuk ketergantungan Malaysia pada perdagangan internasional, khususnya dengan China.
Baht Thailand terpantau menguat tipis 0,4 persen pada hari ini, namun masih melemah 3,8 persen sejak awal November.
Meskipun ada optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi Thailand yang diperkirakan akan mencapai angka tertinggi dalam lebih dari setahun pada kuartal ketiga 2024, ketergantungan Thailand terhadap perdagangan dengan China membuatnya rentan terhadap dampak dari ketegangan perdagangan global.
Dolar Singapura juga bergerak bervariasi, meskipun pada akhirnya mampu sedikit menguat. Namun, fluktuasi nilai tukarnya mencerminkan ketidakpastian yang dialami oleh negara-negara Asia, yang juga merasakan dampak dari kebijakan suku bunga tinggi AS.
Sentimen Kebijakan Moneter AS
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah hari ini adalah sentimen terkait kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed).
Ketua The Fed Jerome Powell, baru-baru ini menyampaikan pandangannya tentang perlambatan dalam pemangkasan suku bunga AS. Meskipun ekonomi AS tumbuh sebesar 2,8 persen pada kuartal III-2024, lebih tinggi dari rata-rata historis, Powell menyatakan bahwa The Fed tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga.
Pernyataan ini menciptakan ketidakpastian di pasar dan menyebabkan penguatan dolar AS, yang pada gilirannya menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Dolar AS, yang sudah menguat sejak awal pekan, berfluktuasi di sekitar level 106,61 untuk Indeks Dolar AS (DXY), meskipun sedikit turun sebesar 0,05 persen pada pukul 15:00 WIB, sore tadi. Ketegasan The Fed dalam menjaga suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama berisiko memberikan tekanan lebih lanjut pada pasar emerging markets (EM), yang sering kali bergantung pada arus modal asing dan tingkat suku bunga yang lebih rendah untuk mendukung pertumbuhan.
Bahkan, meskipun Powell mengatakan The Fed berencana untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut pada Desember 2024, dengan proyeksi penurunan sebesar 25 basis poin, investor tetap memperkirakan penurunan suku bunga AS akan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.
Kenaikan suku bunga yang lebih lama dapat memicu arus keluar modal (capital outflow) dari negara berkembang menuju pasar AS yang lebih menguntungkan, yang pada gilirannya dapat memperburuk kondisi mata uang di kawasan Asia.
Kondisi ini memperburuk ketidakpastian yang sudah ada di pasar negara berkembang. Beberapa faktor yang turut berkontribusi terhadap kelemahan mata uang di Asia adalah:
- Ketergantungan pada Perdagangan Global: Negara-negara dengan ekonomi terbuka dan bergantung pada ekspor, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia, semakin terpapar pada risiko yang ditimbulkan oleh ketegangan perdagangan global dan kebijakan proteksionis dari negara-negara besar, khususnya AS.
- Inflasi Global: Kenaikan inflasi yang terjadi di AS, yang tercatat mencapai 2,6 persen pada Oktober 2024, menambah tantangan bagi bank sentral di negara berkembang. Di tengah upaya untuk menurunkan suku bunga agar mendukung pertumbuhan ekonomi, inflasi yang terus meningkat akan membatasi ruang kebijakan moneter yang ada, menyebabkan pelaku pasar ragu dalam membuat keputusan investasi.
- Perlambatan Ekonomi China: Mengingat hubungan perdagangan yang sangat erat antara negara-negara Asia dan China, setiap pelambatan ekonomi di China dapat langsung berdampak negatif pada negara-negara tetangga. Ini menambah kekhawatiran akan penurunan permintaan ekspor dan memperburuk tekanan pada nilai tukar mata uang lokal.
Meskipun ada sedikit perbaikan pada beberapa mata uang Asia di hari Jumat, prospek jangka pendek tetap menunjukkan ketidakpastian. Pasar akan terus memantau kebijakan suku bunga The Fed dan dampaknya pada arus modal global.
Ketidakpastian ini juga meningkatkan volatilitas di pasar emerging markets, termasuk Indonesia, yang kemungkinan akan terus tertekan oleh penguatan dolar AS dan ketegangan perdagangan global.
Secara keseluruhan, meskipun ada upaya untuk memperlambat penurunan suku bunga di AS, arus modal keluar dari negara berkembang mungkin tetap berlanjut, yang akan memberi tekanan lebih lanjut pada mata uang negara-negara tersebut, termasuk rupiah.
Negara-negara Asia, termasuk Indonesia, perlu menghadapi tantangan ekonomi global ini dengan kebijakan yang lebih hati-hati untuk menjaga stabilitas pasar valuta asing dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.(*)