KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kompak ditutup di zona merah pada perdagangan Selasa, 17 Desember 2024.
Pelemahan kurs rupiah semakin tajam terhadap dolar Amerika Serikat seiring dengan tingginya keraguan pelaku pasar menjelang pertemuan penting Federal Open Market Committee (FOMC) edisi Desember 2024 yang dijadwalkan berlangsung Rabu, 18 Desember 2024 waktu setempat.
Pada Selasa, 17 Desember 2024, hingga pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup melemah di level Rp16.100 per dolar AS, turun 99 poin atau 0,62 persen dibandingkan penutupan pada Senin, 16 Desember 2024, di posisi Rp16.001 per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa pelaku pasar cenderung bersikap wait and see sambil menunggu keputusan suku bunga dari beberapa bank sentral utama pada pekan ini.
Di sisi lain, data ekonomi Tiongkok yang melemah turut menggerus minat terhadap aset-aset berisiko, termasuk mata uang di kawasan Asia. Faktor-faktor ini memberikan tekanan tambahan terhadap rupiah yang sudah mengalami tren pelemahan dalam beberapa sesi terakhir.
Dalam pertemuan FOMC besok, The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Meski demikian, prospek pemangkasan suku bunga yang lebih lambat di tahun 2025 menciptakan ketidakpastian tersendiri.
Biasanya, suku bunga yang lebih rendah memberikan angin segar bagi perekonomian, tetapi kali ini pelaku pasar ragu karena belum jelas arah kebijakan moneter yang akan diambil The Fed dalam jangka panjang.
Sementara itu, ekspektasi terhadap kebijakan Bank Sentral Jepang (BOJ) justru mengalami pergeseran. Reuters melaporkan, BOJ kemungkinan akan mempertahankan suku bunga pada pekan ini, meskipun sebelumnya pasar memperkirakan adanya kemungkinan kenaikan suku bunga. Ini memberikan sentimen tambahan yang mendorong dolar AS untuk terus menguat.
Fokus investor kini juga tertuju pada keputusan Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan akan merilis kebijakan suku bunga pada esok hari. Tekanan yang datang dari pasar global akan menjadi perhatian utama dalam mempertimbangkan kebijakan lanjutan untuk menjaga stabilitas rupiah.
Selain kebijakan moneter, pelemahan rupiah juga dipicu oleh data ekonomi Tiongkok yang dirilis awal pekan ini. Indikator utama seperti output industri pada bulan November memang menunjukkan perbaikan moderat dibanding bulan sebelumnya.
Namun, pertumbuhan penjualan ritel mencatat perlambatan tajam di bawah ekspektasi, menegaskan bahwa pemulihan di sektor konsumsi domestik China masih rapuh. Hal ini diperparah oleh penurunan harga rumah sebesar 5,7 persen secara tahunan pada bulan November, menyusul koreksi yang lebih dalam pada bulan sebelumnya.
Situasi ini menyoroti tantangan berkelanjutan di sektor properti Tiongkok, yang telah lama menjadi pilar penting perekonomian negara tersebut.
Menurut Ibrahim, perlambatan penjualan ritel dan pertumbuhan sektor manufaktur yang masih lemah membuat permintaan komoditas dari China menjadi tidak cukup kuat untuk menopang prospek ekonomi yang lebih cerah. Hal ini memengaruhi sentimen pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, yang bergantung pada permintaan komoditas ekspor dari Negeri Tirai Bambu.
Tekanan berlapis dari kebijakan moneter global, situasi ekonomi Tiongkok, serta volatilitas dolar AS menciptakan ruang yang sempit bagi rupiah untuk pulih dalam jangka pendek. Dengan laju rupiah yang telah menembus ambang psikologis Rp16.000 per dolar AS, langkah Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur akan menjadi kunci bagi investor dalam menentukan sentimen pasar ke depan.
IHSG Ikut Melemah
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melanjutkan tren pelemahan di tengah sentimen negatif yang datang dari dalam dan luar negeri. Tekanan jual yang terjadi seiring dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai tahun depan, membuat para investor semakin berhati-hati dalam merespons kondisi pasar.
Di sisi lain, pelaku pasar juga masih menunggu keputusan suku bunga dari Federal Reserve yang dijadwalkan diumumkan Rabu malam waktu Amerika Serikat.
IHSG turun signifikan sebesar 100,90 poin atau 1,39 persen ke level 7.157,73. Indeks LQ45 turut melemah hingga 2,25 persen ke posisi 842,33, menandakan saham-saham berkapitalisasi besar menjadi sasaran utama aksi jual.
Aktivitas perdagangan cukup padat dengan volume mencapai 16,77 miliar saham senilai Rp11,62 triliun, termasuk transaksi negosiasi sebesar Rp1,99 triliun. Namun demikian, dominasi saham yang melemah terlihat jelas dengan 441 saham mencatatkan penurunan, hanya 157 saham yang mengalami penguatan, sementara 188 saham stagnan.
Dari pasar global, situasi tampaknya belum berpihak pada aset berisiko seperti saham, termasuk di Asia. Wall Street menunjukkan pergerakan yang cenderung datar menjelang pertemuan terakhir Federal Reserve tahun ini.
Ketidakpastian terkait kebijakan moneter AS masih menahan langkah investor untuk kembali masuk ke pasar. Saham Nvidia, salah satu pemimpin sektor teknologi, memasuki fase koreksi, sementara kekhawatiran muncul di Eropa setelah parlemen Jerman dibubarkan, yang menambah volatilitas di pasar saham.
Federal Reserve sendiri diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin untuk ketiga kalinya berturut-turut tahun ini. Namun, fokus investor kini bergeser pada proyeksi kebijakan suku bunga The Fed untuk tahun 2025.
Beberapa analis, termasuk Goldman Sachs, memperkirakan The Fed akan menahan suku bunganya pada Januari mendatang. Faktor inflasi yang masih berada di atas ekspektasi dan tingkat pengangguran yang terus menurun menjadi alasan bank sentral untuk lebih berhati-hati dalam melonggarkan kebijakan moneter ke depan.
Di Asia Pasifik, pasar saham mayoritas bergerak melemah akibat sentimen global yang kurang kondusif. Perhatian investor juga tertuju pada kebijakan pemimpin China, yang berencana menaikkan defisit anggaran menjadi 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025 guna mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen.
Meski upaya stimulus diharapkan mampu memacu aktivitas ekonomi, data ekonomi China yang belum solid, terutama dari sisi konsumsi domestik, masih menimbulkan kekhawatiran.
Sementara itu, bursa Eropa turut tertekan hingga menyentuh level terendah dalam dua minggu terakhir. Ketidakpastian menjelang kebijakan moneter The Fed dan Bank of England (BoE) menambah kehati-hatian di pasar, terlebih dengan rilis data ekonomi penting seperti indeks iklim usaha Jerman (Ifo) dan sentimen ekonomi ZEW yang menjadi perhatian utama. Sektor energi dan kesehatan tercatat memimpin pelemahan di pasar saham Eropa.
Di Amerika Serikat, bursa saham juga mengalami tekanan menjelang keputusan suku bunga The Fed. Meskipun Nasdaq Composite dan S&P 500 masih berhasil menguat pada sesi perdagangan sebelumnya, Dow Jones Industrial Average justru mencatatkan penurunan selama delapan hari berturut-turut, tren yang terakhir kali terjadi pada Juni 2018.
Rilis data penjualan ritel bulan November turut menjadi fokus pasar, dengan ekspektasi pertumbuhan sebesar 0,6 persen secara bulanan yang mengindikasikan keberlanjutan tren konsumsi masyarakat AS.
Secara keseluruhan, sentimen global dan domestik masih menyelimuti pergerakan IHSG. Ketidakpastian menjelang keputusan suku bunga The Fed menjadi faktor utama yang mendorong pelaku pasar memilih sikap defensif.
Sementara itu, kebijakan fiskal domestik berupa kenaikan PPN turut membayangi optimisme di pasar saham Indonesia, membuat para investor semakin waspada terhadap potensi pelemahan ekonomi ke depan.(*)