Logo
>

Rupiah Tertekan, Akankah Berlanjut hingga Tahun Depan?

Ditulis oleh Yunila Wati
Rupiah Tertekan, Akankah Berlanjut hingga Tahun Depan?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan hingga akhir pekan terakhir 2024, mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang akan dilantik pada 20 Januari 2025.

    Berdasarkan data Bloomberg, Jumat, 27 Desember 2024, rupiah ditutup di level Rp16.235 per dolar AS, melemah 46 poin atau 0,27 persen dibandingkan penutupan sebelumnya pada Selasa, 24 Desember 2024 yang berada di posisi Rp16.199 per dolar AS.

    Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa penguatan indeks dolar AS menjadi faktor utama melemahnya rupiah. Menurutnya, penguatan ini didukung oleh proyeksi kebijakan moneter agresif Federal Reserve yang kemungkinan tetap mempertahankan suku bunga acuan tinggi hingga tahun 2025.

    Faktor lain yang mendukung dolar AS adalah ekspektasi inflasi yang meningkat dan prospek kinerja ekonomi AS yang lebih kuat di bawah pemerintahan Donald Trump. Sentimen ini membuat permintaan terhadap aset berbasis dolar tetap tinggi.

    Sementara itu, perkembangan ekonomi di Asia juga menjadi perhatian. Inflasi di Jepang, seperti yang diukur dari indeks harga konsumen di Tokyo, melampaui ekspektasi pada bulan Desember. Tekanan harga yang meningkat ini menambah peluang bagi Bank of Japan (BoJ) untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga dalam waktu dekat.

    Ringkasan pertemuan BoJ bulan Desember menunjukkan beberapa pembuat kebijakan yakin bahwa saatnya tepat untuk kenaikan suku bunga jangka pendek, sebuah langkah yang dapat memberikan dampak signifikan bagi pasar regional.

    Di sisi lain, Korea Selatan sedang menghadapi krisis politik yang mendalam. Perdana Menteri Han Duck-soo, yang menjabat sebagai presiden sementara, menghadapi pemungutan suara terkait upaya pemakzulan yang meningkatkan ketidakpastian politik di negara itu. Ketegangan ini bermula dari sidang Mahkamah Konstitusi mengenai kebijakan darurat militer yang sempat dideklarasikan oleh Presiden Yoon Suk Yeol. Krisis ini mengkhawatirkan sejumlah sekutu internasional Korea Selatan, terutama karena dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi negara tersebut.

    Di Tiongkok, pemerintah mengumumkan langkah fiskal besar-besaran dengan menerbitkan obligasi pemerintah khusus senilai 3 triliun yuan atau sekitar USD411 miliar pada tahun 2025. Langkah ini bertujuan untuk mendorong perekonomian yang tengah tertekan. Selain itu, Beijing memberi otoritas lokal keleluasaan lebih besar dalam memperluas investasi melalui penerbitan obligasi utama. Dalam dokumen terbaru, pemerintah menyederhanakan prosedur persetujuan proyek pembangunan kecuali untuk beberapa kategori tertentu yang diatur dalam daftar kabinet. Kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan efektivitas pembiayaan publik sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

    Dengan berbagai dinamika tersebut, pelaku pasar global menghadapi tantangan besar dalam menavigasi arus ketidakpastian. Sentimen negatif terhadap rupiah dan negara-negara lain di kawasan berkembang dapat terus meningkat seiring berlanjutnya ketegangan geopolitik, kebijakan moneter ketat, serta perubahan dalam kebijakan fiskal utama.

    Rupiah Terus Tertekan

    Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memproyeksikan tekanan terhadap rupiah akan terus berlangsung hingga semester pertama 2025.

    Komite Kebijakan Ekonomi Apindo, Aviliani mengungkapkan bahwa pelemahan ini didorong oleh dinamika global, khususnya penguatan dolar AS.

    “Tahun depan itu China dan Amerika Serikat akan membuat insentif-insentif menarik. Kemungkinan besar banyak dolar AS akan ‘pulang kampung’ kembali ke Amerika,” kata Aviliani dalam konferensi pers di Kantor Pusat Apindo, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.

    Menurut dia, Bank Indonesia akan mencoba meredam pelemahan rupiah dengan mengandalkan devisa hasil ekspor (DHE). Namun, langkah ini dinilai belum cukup efektif karena jumlah DHE yang terkumpul masih kalah jauh dibandingkan kebutuhan impor Indonesia.

    “Bagaimana caranya supaya kita stabil? Salah satunya adalah DHE. Tapi DHE itu belum besar sekali, masih lebih rendah dibandingkan impor kita,” jelas Aviliani.

    Selain itu, kebijakan lain seperti transaksi mata uang lokal (LCT), surat berharga rupiah berjangka (SRBI), dan surat berharga valuta asing (SVBI) juga dianggap belum mampu menjaga stabilitas rupiah.

    Alasannya, Indonesia sebagai small open economy sangat bergantung pada impor, terutama di sektor minyak, pangan, layanan digital, dan teknologi informasi.

    Bisnis yang berbasis impor jelas terpukul. Biaya produksi mereka meningkat, sehingga sulit bersaing. Karena itu, ke depan pemerintah harus mulai memberikan insentif dan kebijakan untuk mendorong bisnis berbasis ekspor,” ucap Aviliani.

    Dampak Pelemahan Rupiah

    Dampak pelemahan nilai tukar rupiah akan sangat dirasakan di berbagai sektor, terutama industri yang bergantung pada impor.

    Menurut Aviliani, lonjakan biaya impor akibat melemahnya rupiah membuat industri-industri tersebut semakin kehilangan daya saing di pasar.

    “Industri yang tidak kompetitif ini pada akhirnya terpaksa melakukan efisiensi. Efisiensi ini sering kali berujung pada PHK. Selain itu, perusahaan mungkin akan menaikkan harga barang untuk bertahan, yang pada akhirnya bisa memicu inflasi,” ungkap Aviliani.

    Ia juga menyoroti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap portofolio di pasar keuangan sebagai salah satu faktor utama yang memperparah pelemahan rupiah.

    Saham, obligasi, dan instrumen sejenisnya menjadi penopang nilai tukar yang sangat rentan terhadap dinamika global.

    “Rupiah masih sangat bergantung pada portofolio. Jadi, ketika ada yield atau insentif menarik di Amerika Serikat, rupiah cenderung melemah,” terangnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79