KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), nyaris menyentuh Rp16.700 pada Rabu 24 September 2025. Tekanan ini muncul setelah pasar mencerna rilis data global PMI serta pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell.
Berdasarkan data Bloomberg pukul 09.10 WIB, rupiah di pasar spot exchange melemah 10 poin atau 0,06 persen ke level Rp16.697,5 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar naik tipis 0,08 persen ke posisi 97,34. Sehari sebelumnya, Selasa 23 September 2025, rupiah juga ditutup melemah 77 poin atau 0,46 persen ke Rp16.687,5 per dolar AS.
Menurut laporan Trading News, mata uang Asia bergerak dalam fase konsolidasi terhadap dolar AS seiring pasar menimbang perbedaan kinerja ekonomi global. Rodrigo Catril, analis NAB, menilai data PMI terbaru mengindikasikan jurang performa antara kawasan euro dan perlambatan ekspansi di Amerika Serikat.
Dalam pidatonya, Jerome Powell menegaskan dilema pelik The Fed. Inflasi jangka pendek menunjukkan kecenderungan meningkat, sementara risiko terhadap lapangan kerja justru mereda. “Sebuah situasi yang menantang,” ujarnya.
Di pasar Asia, USD/JPY naik 0,1 persen ke 147,77, USD/KRW stabil di 1.394,90, dan AUD/USD bertahan di 0,6596. Reuters melaporkan, dolar AS menguat tipis dari posisi terendah dalam sepekan, seiring ekspektasi pasar terhadap dua kali lagi pemangkasan suku bunga The Fed pada tahun ini. Meski demikian, Powell tetap menyampaikan nada berhati-hati mengenai prospek pelonggaran moneter.
Proyeksi Pemangkasan Suku Bunga
Pasar kini memperhitungkan pemangkasan suku bunga seperempat poin pada dua rapat kebijakan The Fed yang tersisa di 2025, ditambah satu kali lagi pada kuartal I-2026. Proyeksi tersebut sejalan dengan pandangan sejumlah pejabat bank sentral setelah pengumuman pemangkasan pekan lalu.
Sebelumnya, dolar sempat anjlok ke titik terendah sejak awal 2022 di level 96,224. Pasar kecewa lantaran Powell tak bersikap dovish seperti harapan, meski data menunjukkan pelemahan signifikan di sektor ketenagakerjaan.
Powell menegaskan bahwa bank sentral masih harus menjaga keseimbangan antara risiko inflasi tinggi dengan pasar tenaga kerja yang rapuh. Ia menyebut kondisi ini sebagai “situasi menantang” yang membutuhkan strategi hati-hati.
James Kniveton, senior dealer valas korporasi di Convera, menilai pernyataan Powell menggarisbawahi pendekatan penuh kehati-hatian The Fed. “Tidak ada opsi kebijakan tanpa risiko. Pelonggaran terlalu cepat bisa memicu inflasi, sementara pengetatan berlebihan dapat memangkas prospek pekerjaan,” ujarnya menutup analisis.(*)