KABARBURSA.COM - Investasi asing di sektor tekstil, khususnya dari China, menawarkan berbagai keuntungan, namun potensi ancaman terhadap stabilitas ekonomi Indonesia tidak bisa diabaikan. Pemerintah perlu berhati-hati dalam mengelola investasi ini agar tidak terjebak dalam lingkaran ketergantungan yang merugikan ekonomi jangka panjang.
Tahun 2024 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi industri tekstil Indonesia. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda sektor ini, memaksa ribuan karyawan kehilangan pekerjaan mereka. Kondisi ekonomi global yang tak menentu dan persaingan ketat dari negara lain menjadi faktor utama yang memicu krisis ini.
Ristadi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), menyoroti dampak serius yang dialami sektor industri tekstil di Indonesia sepanjang tahun 2024. Dengan lebih dari 50 ribu pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), situasinya menyorot kondisi ekonomi yang sulit dihadapi oleh perusahaan tekstil di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Menurut Ristadi, kondisi PHK ini terjadi di sekitar 20 perusahaan tekstil, dimana sebagian besar pabrik mengalami penurunan drastis dalam pesanan produk mereka. Bahkan, beberapa di antaranya terpaksa menghentikan operasional mereka karena tidak lagi memiliki pesanan yang cukup untuk menjaga kelangsungan bisnis.
"Faktor utama di balik gelombang PHK ini adalah menurunnya pesanan, bahkan ada pabrik yang sudah tidak mendapatkan pesanan sama sekali," ungkap Ristadi dikutip pada Jumat 21 Juni 2024 lalu.
Situasi ini mencerminkan tantangan besar bagi industri tekstil nasional, yang telah lama menjadi salah satu pilar utama dalam sektor manufaktur Indonesia. Dengan terus berlanjutnya kondisi ekonomi yang sulit, upaya untuk memulihkan sektor ini menjadi prioritas penting bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terkait.
Tekanan ekonomi global yang melemah membuat permintaan tekstil menurun drastis. Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang menjadi pasar utama ekspor tekstil Indonesia, mengalami penurunan konsumsi. Di sisi lain, biaya produksi yang terus meningkat membuat banyak perusahaan tekstil kesulitan untuk bertahan.
Masuknya produk tekstil murah dari China dan Vietnam memperparah situasi. Produk-produk tersebut mampu bersaing di pasar lokal dengan harga yang lebih rendah, membuat produk dalam negeri kalah bersaing. Alhasil, banyak pabrik tekstil di Indonesia terpaksa mengurangi produksi bahkan menutup usahanya.
Pemerintah Indonesia mencoba meredam dampak krisis ini dengan mengeluarkan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah pemberian insentif pajak dan kemudahan dalam perizinan bagi perusahaan tekstil. Namun, langkah ini belum mampu sepenuhnya menyelamatkan industri tekstil dari gelombang PHK.
Gelombang PHK ini tentunya membawa dampak sosial yang signifikan. Ribuan keluarga kehilangan sumber penghasilan utama. Banyak mantan pekerja tekstil yang kini beralih ke sektor informal, seperti berjualan atau bekerja serabutan. Situasi ini meningkatkan angka pengangguran dan menambah beban ekonomi keluarga.
Meski situasi tampak suram, harapan tetap ada. Pemerintah bersama pelaku industri tekstil tengah mencari solusi jangka panjang. Pengembangan teknologi dan inovasi produk menjadi salah satu fokus utama. Selain itu, peningkatan keterampilan tenaga kerja juga menjadi prioritas agar mereka mampu bersaing di pasar kerja yang semakin ketat.
Dominasi Modal Asing
Dalam hal ini, ternyata Pemerintah Indonesia justru telah menyiapkan lahan di Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, untuk perusahaan tekstil asal China yang berencana berinvestasi di Tanah Air.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan Luhut dalam agenda MINDialogue, Kamis 20 Juni 2024 lalu menyebutkan bahwa investor tersebut akan melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking begitu permasalahan tanah selesai.
Luhut juga telah berkoordinasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono, untuk mempercepat proses pengeluaran status tanah bagi industri China tersebut. Agus menjanjikan penyelesaian dalam sepekan, sehingga konstruksi bisa dimulai bulan depan.
Sementara itu, Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) terus mendominasi investasi di Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sebesar Rp 401,5 triliun sepanjang semester I-2024, dengan Rp 204,4 triliun (50,9 persen) berasal dari PMA. Tahun lalu, dari total investasi Rp 1.418,9 triliun, Rp 744 triliun (52,4 persen) adalah PMA.
Meski membawa dampak positif seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan sektor konstruksi, dan dorongan ekspor, ada sisi gelap yang perlu diwaspadai. PMA adalah modal dari investor asing yang pada akhirnya akan kembali ke negara asalnya, sehingga tidak sepenuhnya dinikmati oleh Indonesia.
Defisit di neraca pendapatan investasi langsung menjadi beban bagi transaksi berjalan secara keseluruhan, yang hampir selalu defisit. Hal ini melemahkan fundamental mata uang. Defisit transaksi berjalan mencerminkan arus valas yang keluar dari ekspor-impor barang dan jasa, yang bersifat berkelanjutan dan tidak mudah berubah seperti investasi portofolio di sektor keuangan.
Pada kuartal I-2024, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit USD 2,16 miliar atau 0,64 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan akan defisit di kisaran 0,1-0,9 persen PDB. Defisit transaksi berjalan ini menjadi salah satu faktor yang menekan nilai tukar rupiah, yang melemah hampir 6 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun ini.
Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap PMA untuk menekan arus devisa keluar negeri. Kasus Pakistan bisa menjadi pelajaran penting. Dalam kajian berjudul "The Causal Relationship between Foreign Direct Investment and Current Account: An Empirical Investigation for Pakistan Economy" karya Danish Ahmed Siddiqui, Mohsin Hasnain Ahmad, dan Muhammad Asim dari University of Karachi, terbukti bahwa investasi asing malah membawa efek buruk.
"Dampak signifikan dari FDI adalah pelemahan Neraca Pembayaran dalam jangka panjang (karena pengalihan laba ke luar negeri) dan ini harus menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan saat ingin menarik investasi asing. Dalam kasus Pakistan, investasi asing tersebut tidak mampu berkontribusi terhadap peningkatan aktivitas ekonomi kecuali peningkatan impor dan pengalihan devisa yang tinggi. Aktivitas ekonomi yang ditimbulkan oleh investasi asing itu tidak berkelanjutan dan malah menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi, inflasi tinggi, dan menekan nilai tukar mata uang," ungkap riset tersebut. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.