KABARBURSA.COM - Bursa saham Asia menguat mengikuti jejak positif Wall Street pada Selasa pagi, 7 Januari 2025. Sebagian investor berharap Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump, bakal lebih lunak soal kebijakan tarif dibandingkan janji kampanyenya yang terkesan agresif.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Selasa, indeks MSCI Asia-Pasifik di luar Jepang naik tipis 0,03 persen. Sementara itu, indeks Nikkei Jepang melonjak 2 persen, didorong reli saham teknologi yang bikin pelaku pasar sumringah. Tapi, Eropa malah sinyal merah. Futures Eurostoxx 50 turun 0,5 persen, sementara FTSE anjlok 0,47 persen.
Di AS, futures S&P 500 turun tipis 0,07 persen. Nasdaq futures juga melemah 0,16 persen setelah sebelumnya indeks utama di Wall Street naik ke level tertinggi dalam lebih dari seminggu pada Senin, kemarin.
Drama ini berawal dari laporan The Washington Post yang menyebut tim Trump sedang merancang kebijakan tarif impor yang tidak menyasar semua negara, melainkan hanya sektor-sektor tertentu yang dianggap krusial bagi keamanan nasional dan ekonomi. Kebijakan ini dianggap sebagai pelunakan sikap dari janji-janji kampanye Trump yang penuh ketegangan.
Namun, euforia pasar tak bertahan lama. Setelah Trump membantah laporan tersebut di akun Truth Social-nya, kurs dolar AS kembali menguat dan memupus sebagian penurunan sebelumnya. "Kebijakan tarif Trump masih penuh tanda tanya," uja Kepala Riset Asia di ANZ, Khoon Goh. "Bisa saja laporan itu benar, tapi pada akhirnya keputusan tetap ada di tangan Trump."
Menurut Khoon, meskipun Trump terkenal garang dalam retorika tarif, pengalamannya di periode pertama menunjukkan ia cukup terbuka untuk bernegosiasi. "Mungkin itulah kenapa pasar saat ini belum bereaksi terlalu negatif."
Dolar AS bertahan di level rendah satu minggu di 108,12, melanjutkan tren pelemahan. Sementara itu, euro dan pound sterling terus menguat, masing-masing naik lebih dari 0,1 persen ke USD1,0402 dan USD1,25395. Sementara itu, indeks CSI300 dan Shanghai Composite berbalik arah dari zona merah dan naik masing-masing 0,28 persen dan 0,17 persen. Sebaliknya, Hang Seng Hong Kong justru anjlok 1,89 persen.
Sumber anonim Reuters mengungkapkan bursa utama China meminta beberapa dana kelolaan besar untuk membatasi penjualan saham di awal tahun. Kebijakan ini diduga dilakukan untuk menstabilkan pasar di tengah periode penuh tantangan bagi ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Saham China Lagi Terpuruk
[caption id="attachment_106564" align="alignnone" width="1199"] Seorang pejalan kaki melewati Bursa Efek Shanghai di Area Baru Pudong. Foto: Wang Gang/untuk China Daily[/caption]
Awal 2025 menjadi periode yang penuh tantangan bagi pasar modal China. Indeks saham utama dan nilai yuan terus melemah, dipicu oleh data ekonomi yang lesu serta ketidakpastian geopolitik menjelang pelantikan Donald Trump untuk masa jabatan keduanya sebagai presiden AS.
Mengutip laporan Financial Times, Senin, 6 Januari 2025, Indeks CSI 300—barometer saham unggulan di bursa China—terkoreksi 0,2 persen pada perdagangan Senin. Akumulasi penurunan indeks ini telah mencapai 4,1 persen hanya dalam tiga hari pertama tahun ini, menjadikannya yang terburuk di Asia. Saham-saham berkapitalisasi kecil dalam CSI 2000 bahkan lebih terpukul, anjlok 6,6 persen sejak awal tahun.
Di Hong Kong, Hang Seng Index turut melemah, turun 0,4 persen pada perdagangan terbaru dan mencatat penurunan total 1,2 persen sepanjang tahun berjalan.
Kemerosotan ini terjadi di tengah pertemuan antara bursa saham China dan investor internasional, sementara bank sentral berupaya menjaga kestabilan yuan. Di sisi lain, ancaman kebijakan tarif agresif yang digaungkan Trump masih menjadi bayang-bayang yang sulit diabaikan.
“Semua orang bertanya-tanya apa kejutan yang dibawa Trump versi 2.0 kali ini. Wajar kalau investor ingin mengambil untung lebih dulu,” kata Kepala strategi ekuitas dan derivatif Asia-Pasifik di BNP Paribas, Jason Lui.
Pada Senin, 6 Januari 2025, nilai tukar yuan merosot ke level terendah dalam 15 bulan di posisi 7,33 yuan per dolar AS, meskipun Bank Rakyat China (PBoC) tetap mempertahankan batasan nilai tukar harian. Tekanan jual terhadap yuan ini biasanya sejalan dengan penurunan harga saham, menurut analisis pasar.
Analis strategi CICC, Kevin Liu, mengatakan pelemahan saham China dipicu data manufaktur yang mengecewakan. Pemisimisme lain dipengaruhi oleh indeks dolar yang mencapai level tertinggi dalam dua tahun serta sentimen negatif karena kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih.
Guna meredakan kekhawatiran, bursa saham Shanghai dan Shenzhen menggelar pertemuan dengan investor asing akhir pekan lalu untuk mendengar opini mereka perihal pergerakan pasar. Dalam pertemuan itu, otoritas bursa mengklaim ekonomi China masih ditopang oleh fondasi yang kuat dan memiliki daya tahan tinggi terhadap tekanan eksternal.
Sementara itu, PBoC mempertahankan nilai tukar tengah yuan di 7,19 yuan per dolar AS, meskipun tekanan jual tetap tinggi. Surat kabar resmi bank sentral, Financial News, menegaskan komitmen mereka menjaga risiko depresiasi berlebih serta memastikan stabilitas nilai tukar yuan. Mereka juga mengklaim pengalaman menghadapi siklus apresiasi dan depresiasi sebelumnya membuktikan bahwa bank sentral memiliki instrumen yang cukup untuk menjaga stabilitas kurs.
Namun, rasa pesimistis investor tetap terlihat dari meningkatnya pembelian obligasi pemerintah bertenor panjang. Kekhawatiran terhadap lemahnya konsumsi domestik membuat pasar berspekulasi bahwa PBoC akan kembali melonggarkan kebijakan moneter. Imbal hasil obligasi pemerintah China bertenor 10 tahun pun turun 0,015 poin ke 1,61 persen pada Senin kemarin, setelah pekan lalu menyentuh rekor terendah di bawah 1,6 persen.(*)