KABARBURSA.COM – Bursa saham Asia langsung berbalik arah ke zona hijau pada Selasa, 21 Mei 2025, usai Bank Sentral China atau PBOC resmi menurunkan suku bunga pinjaman acuannya. Langkah ini dipandang sebagai bentuk stimulus ekonomi China yang semakin mendesak, terutama setelah ekonomi terbesar kedua di dunia itu diguncang tekanan deflasi dan perang dagang dengan Amerika Serikat.
Keputusan People’s Bank of China (PBOC) ini menjadi pemangkasan suku bunga bank China pertama dalam tujuh bulan terakhir. Suku bunga loan prime rate (LPR) tenor satu tahun dipotong dari 3,10 persen menjadi 3,00 persen. Sementara untuk tenor lima tahun—yang kerap menjadi acuan kredit properti—dipangkas dari 3,60 persen menjadi 3,50 persen.
Langkah ini disambut antusias oleh pasar. Dilansir dari AP di Jakarta, Selasa, indeks Hang Seng di Hong Kong melonjak 0,9 persen ke level 23.542,46. Di daratan utama, indeks Shanghai Composite juga ikut terkerek naik 0,1 persen.
Bahkan saham Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL), raksasa baterai listrik asal China, melesat sekitar 13 persen dalam debut perdagangannya di Bursa Hong Kong. CATL baru saja merampungkan IPO senilai USD4,6 miliar (sekitar Rp75,9 triliun), menjadikannya penawaran saham perdana terbesar di dunia sepanjang tahun ini.
Stimulus ekonomi China lewat pemangkasan suku bunga bank China ini terjadi di tengah tekanan ekonomi yang makin nyata. Data terbaru yang dirilis Senin kemarin menunjukkan pelemahan penjualan ritel, perlambatan output industri, dan penurunan investasi properti. Artinya, mesin domestik China memang sedang ngos-ngosan dan pelonggaran kebijakan moneter menjadi pilihan yang tak bisa ditunda.
Kekhawatiran utama pemerintah China saat ini bukan inflasi seperti negara-negara Barat, melainkan deflasi akibat lemahnya permintaan. Hal ini membuat pelaku pasar sebelumnya sudah memprediksi bahwa stimulus ekonomi China hanya tinggal menunggu waktu. Pemangkasan suku bunga bank China pada Selasa ini dipandang sebagai awal dari gelombang stimulus lanjutan.
Namun, tak semua pihak optimistis. Ekonom Zichun Huang dari Capital Economics menyebut bahwa pemangkasan suku bunga bank China saja tidak cukup. “Pemotongan suku bunga yang moderat saja tidak akan secara signifikan mendorong permintaan kredit atau menggairahkan aktivitas ekonomi secara luas,” katanya.
Sementara itu, pasar saham di kawasan Asia ikut memanfaatkan sentimen positif ini. Di Jepang, indeks Nikkei 225 naik 0,5 persen ke 37.685,09. Indeks S&P/ASX 200 Australia terangkat 0,6 persen ke 8.343,30 setelah bank sentral negeri itu juga memangkas suku bunganya ke level 3,85 persen. Korea Selatan dan Taiwan tak ketinggalan, Kospi menguat 0,1 persen dan Taiex naik 0,4 persen.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat dengan kenaikan 28,23 poin atau 0,40 persen ke level 7.169,33.
Pasar global pun bergerak hati-hati menyambut berita ini. Saham-saham Amerika pada hari sebelumnya hanya mencatat kenaikan tipis. Indeks S&P 500 bertambah 0,1 persen ke 5.963,60, Dow Jones naik 0,3 persen ke 42.792,07, dan Nasdaq menguat tipis 4,36 poin ke 19.215,46.
Namun berita buruk datang dari Moody’s. Lembaga pemeringkat itu resmi mencabut status “Aaa” untuk pemerintah federal AS, menyusul dua lembaga lain yang lebih dulu menurunkannya. Moody’s menyebut beban utang yang kian menggunung dan mandeknya kebijakan fiskal akibat tarik ulur politik sebagai alasan utamanya.
Di tengah ketidakpastian global tersebut, sinyal pemangkasan suku bunga bank China memberi napas segar. Meski masih dini untuk menyebutnya sebagai jalan keluar permanen, pasar setidaknya mulai merespons optimisme baru dari Negeri Tirai Bambu.
Yang jelas, Beijing tampaknya tak lagi mau menunggu pasar pulih sendiri. Mereka sudah mulai menyalakan mesin dari pusat—dan dunia sedang memperhatikan apakah itu cukup untuk menggerakkan roda ekonomi kembali.
Downgrade Moody’s Picu Kekhawatiran Baru di Tengah Perang Dagang
Pemerintah AS kembali diganjar peringatan serius. Setelah Standard & Poor’s lebih dulu memangkas peringkat kredit pemerintah AS pada 2011, kini giliran Moody’s yang menurunkan status kreditnya. Imbasnya, para investor dunia mulai berpikir ulang soal masih amankah mengucurkan dana ke surat utang AS?
Peringatan Moody’s ini bukan simbolik. Pada Senin pagi waktu setempat, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sempat melonjak hingga menyentuh 4,55 persen sebelum akhirnya turun ke kisaran 4,45 persen. Yield obligasi jangka panjang 30 tahun bahkan sempat melewati angka 5 persen sebelum ikut mereda.
Peringkat utang yang diturunkan oleh Moody’s sejatinya memberi sinyal tegas bahwa biaya pinjaman pemerintah AS bisa makin mahal. Jika Washington harus membayar bunga lebih tinggi untuk menarik investor, maka bunga pinjaman bagi rumah tangga dan pelaku usaha juga berpotensi naik. Efek berantainya adalah ekonomi Amerika bisa melambat karena daya beli dan investasi terhambat.
Tak berhenti di situ. Downgrade Moody’s terjadi berbarengan dengan rencana pemerintah AS yang ingin memangkas tarif pajak—langkah yang justru bisa menggerus pendapatan negara. Kombinasi antara utang besar dan pendapatan negara yang menyusut menjadi penyebab utama Moody’s menarik rem.
Downgrade ini menambah daftar panjang kecemasan investor global. Yang paling mencuat tentu saja perang dagang Presiden Donald Trump yang terus menjadi hantu di balik volatilitas pasar. Lewat kebijakan tarifnya, Trump membuat banyak investor bertanya-tanya apakah surat utang AS dan dolar Amerika masih layak dijadikan pelarian aman (safe haven) saat krisis.
Secara makro, ekonomi AS sejauh ini memang masih tangguh. Namun banyak korporasi besar mulai melempar sinyal waspada. Walmart misalnya, baru-baru ini menyatakan mereka mungkin harus menaikkan harga jual barang gara-gara beban tarif. Trump pun langsung bereaksi. Lewat unggahan akhir pekannya, ia menyerang Walmart dan menuntut agar perusahaan itu dan China “menanggung sendiri tarifnya.”
Pasar langsung menanggapi. Harga saham Walmart turun tipis 0,1 persen pada perdagangan Senin kemarin. Sementara itu, harga minyak mentah AS juga terkoreksi dua sen menjadi USD62,12 per barel. Harga Brent, patokan internasional, turun tujuh sen ke posisi USD65,47 per barel.
Di pasar mata uang, dolar AS sedikit melemah terhadap yen Jepang ke posisi 144,83 dari sebelumnya 144,86. Sementara euro tetap stabil di USD1,1244.
Downgrade Moody’s terhadap utang pemerintah AS tidak hanya mengguncang neraca keuangan Washington, tapi juga memicu gelombang baru spekulasi global. Dari harga obligasi, kurs dolar, hingga kredibilitas fiskal Negeri Paman Sam—semuanya sedang di bawah sorotan.(*)