KABARBURSA.COM - Kinerja PT Asuransi Ramayana Tbk (ASRM) pada paruh pertama 2025 memperlihatkan paradoks menarik, antara valuasi yang tampak murah dan fundamental yang masih rapuh.
Dalam laporan kuartal II 2025, perusahaan memang masih mampu membukukan laba bersih sebesar Rp11 miliar. Namun di balik angka itu, ada penurunan signifikan dari kuartal sebelumnya yang menandakan tekanan berkelanjutan pada sisi pendapatan dan profitabilitas.
Pendapatan perusahaan yang pada kuartal pertama masih positif sebesar Rp378 miliar, kini berbalik arah menjadi negatif Rp201 miliar di kuartal II. Anomali ini menunjukkan betapa rentannya kinerja keuangan ASRM terhadap volatilitas pasar investasi maupun besarnya klaim asuransi yang harus dibayar.
Padahal, bagi perusahaan asuransi yang mapan, fluktuasi setajam ini bukanlah hal yang lazim, kecuali bila ada faktor luar biasa seperti koreksi tajam di pasar modal atau lonjakan klaim akibat bencana alam dan risiko sistemik pasca-pandemi.
Beban Usaha Cukup Berat, Laba Anjlok
Di sisi biaya, beban usaha ASRM justru meningkat menjadi Rp196 miliar, berbalik dari posisi “beban negatif” di kuartal sebelumnya. Lonjakan ini menunjukkan bahwa keuntungan sementara di awal tahun kemungkinan besar berasal dari pendapatan non-operasional, seperti hasil investasi, bukan dari efisiensi bisnis inti.
Akibatnya, laba usaha perusahaan berbalik turun menjadi rugi Rp6 miliar. Padahal pada kuartal pertama 2024, ASRM masih mampu mencatat laba usaha Rp20 miliar, dan di pertengahan 2024 bahkan sempat menembus Rp39 miliar.
Secara keseluruhan, tren ini menggambarkan penurunan efisiensi operasional yang cukup tajam dalam tiga bulan terakhir. Laba bersih tahun berjalan yang hanya Rp11 miliar juga mencerminkan pelemahan struktural, turun sekitar 26 persen dibanding kuartal sebelumnya.
Meskipun angka itu tetap positif, laju pertumbuhan laba yang melambat kontras dengan performa tahun lalu, ketika ASRM mampu mempertahankan laba kuartalan di kisaran Rp30 miliar ke atas.
Kelemahan tersebut juga tercermin dalam rasio-rasio utama. Return on Assets (ROA) turun menjadi 0,63 persen, sedangkan Return on Equity (ROE) stagnan di 2,14 persen. Angka ini jauh di bawah rerata 2023 yang masih berada di kisaran 5 hingga 6 persen.
Lebih mencemaskan lagi, Return on Capital Employed (ROCE) kini negative. Artinya, laba operasional yang tidak cukup untuk menutup biaya modal. Sementara itu, Earnings per Share (EPS) juga turun menjadi Rp9,39 per saham, merosot lebih dari 65 persen dibanding puncaknya di kuartal III 2024.
Tawarkan Dividen Yield dan Payout Ratio Menarik
Meski demikian, di pasar saham, ASRM tetap menarik perhatian sebagian investor nilai. Dengan Price to Earnings Ratio (PER) hanya 7,9 kali dan Price to Book Value (PBV) 0,72 kali, saham ini tampak undervalued dibanding rata-rata sektor keuangan maupun pasar secara keseluruhan.
Bahkan dengan dividend yield sekitar 5 persen dan payout ratio 37 persen, saham ini menawarkan daya tarik bagi investor konservatif yang mencari pendapatan dividen stabil di tengah ketidakpastian pasar.
Namun, di balik valuasi yang tampak menggoda, tersembunyi risiko yang perlu dicermati. Arus kas operasional perusahaan masih negative, sekitar Rp220 miliar dalam 12 bulan terakhir. Kondisi ini menandakan bahwa laba yang tercatat di laporan keuangan belum sepenuhnya berwujud kas nyata.
Free cash flow yang juga negatif sebesar Rp226 miliar memperkuat sinyal bahwa kualitas laba ASRM belum solid. Kondisi ini turut tercermin dalam skor Altman Z yang hanya 1,32, menempatkan perusahaan di zona rawan jika tekanan ekonomi berlanjut.
Bagi investor berprofil moderat, situasi ini menuntut keseimbangan antara keberanian dan kehati-hatian. Secara valuasi, ruang kenaikan harga saham masih terbuka.
Estimasi konservatif menempatkan nilai wajar ASRM di kisaran Rp350–Rp390 per saham, atau potensi kenaikan sekitar 9 hingga 22 persen dari level harga pasar saat ini di Rp320.
Namun potensi tersebut bersyarat, bahwa perbaikan arus kas dan kestabilan laba harus terjadi dalam semester kedua tahun ini agar pasar percaya bahwa valuasi murah ini bukan sekadar jebakan nilai (value trap).
Bagaimana Investor Menyikapinya?
Investor yang cermat dapat memanfaatkan fase tekanan ini untuk melakukan akumulasi bertahap, terutama jika harga terkoreksi di kisaran Rp300–Rp320. Pendekatan “accumulate on weakness” menjadi strategi paling rasional, sambil menunggu tanda-tanda pemulihan dari sisi operasional dan investasi.
Jika ASRM mampu mengembalikan arus kas operasi ke level positif dan menjaga laba bersih kuartalan di atas Rp15 miliar, potensi re-rating valuasi bukan hal yang mustahil.
Sementara itu, bagi investor konservatif, ASRM tetap layak dipertahankan sebagai sumber pendapatan dividen. Meski pertumbuhan laba melambat, disiplin perusahaan dalam menjaga payout ratio dan stabilitas pembagian dividen menunjukkan komitmen terhadap pemegang saham.
Selama leverage tetap terkendali, dengan rasio utang terhadap ekuitas hanya 0,57 kali, risiko solvabilitas masih dalam batas wajar.
Dengan kata lain, ASRM kini berada di persimpangan antara “murah” dan “lemah.” Jika manajemen berhasil menstabilkan beban klaim, meningkatkan hasil investasi, dan mengembalikan arus kas ke jalur positif, valuasi diskon ini bisa menjadi peluang emas.
Namun bila volatilitas laba terus berlanjut tanpa dukungan kas yang nyata, investor bisa saja menunggu lebih lama hingga fundamentalnya benar-benar pulih.
Pasar sejatinya tak menilai sekadar dari angka laba, tetapi dari keandalan laba itu sendiri. Bagi ASRM, semester kedua 2025 akan menjadi ujian penting, apakah perusahaan mampu membuktikan bahwa profitabilitasnya bukan ilusi akuntansi, melainkan hasil nyata dari manajemen risiko dan efisiensi operasional yang membaik.
Jika itu terjadi, maka saham ini bisa keluar dari bayang-bayang ketidakpastian dan kembali menjadi pilihan bernilai di sektor asuransi domestik.(*)