Logo
>

Saham BREN Terperosok, Gara-gara Bayar Utang Anak Usaha?

Ditulis oleh Yunila Wati
Saham BREN Terperosok, Gara-gara Bayar Utang Anak Usaha?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), yang dimiliki oleh taipan Prajogo Pangestu, mengalami koreksi signifikan pada sesi II perdagangan Selasa, 2 Juli 2024, setelah sebelumnya mengalami reli sembilan hari berturut-turut.

    Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham BREN turun 5,52 persen menjadi Rp9.850 per saham pada pukul 14.44 WIB, setelah sebelumnya sempat mencatat kenaikan ke level Rp10.700 per saham pada awal perdagangan. Koreksi ini terjadi akibat aksi ambil untung (profit taking), yang menghentikan reli saham sejak 19 Juni lalu.

    Meskipun mengalami koreksi harian, saham BREN masih menunjukkan performa kuat dengan kenaikan 2,33 persen dalam satu minggu terakhir dan naik 20,06 persen dalam sebulan. Kabar terbaru dari BREN adalah penambahan modal yang diberikan kepada anak usahanya, PT Barito Wind Energy, sebesar Rp497 miliar. Dana ini digunakan untuk melunasi utang sebesar USD29 juta kepada Bank BNI yang jatuh tempo pada 14 Juni 2024. Dengan penambahan modal ini, kepemilikan BREN terhadap Barito Wind meningkat menjadi 99,99 persen.

    Meskipun demikian, penambahan modal ini tidak diharapkan memiliki dampak signifikan terhadap operasional, hukum, atau kelangsungan usaha BREN. Sebelumnya, BREN dan PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk (SRAJ) telah keluar dari Papan Pemantauan Khusus (PPK) setelah saham mereka mengalami suspensi yang memenuhi kriteria tertentu dalam mekanisme perdagangan full periodic call auction (FCA).

    Keputusan terbaru dari BEI menetapkan bahwa saham yang masuk dalam PPK hanya akan tinggal selama tujuh hari bursa, dan saham yang telah melebihi batas ini akan keluar secara otomatis sesuai dengan regulasi baru yang diberlakukan. Hal ini dilakukan untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam perdagangan saham di bursa.

    Grafik harga saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) mirip dengan saham penny stock di negara berkembang, mengalami lonjakan sebesar 1.200 persen diikuti oleh dua kali penurunan lebih dari 40 persen dalam waktu kurang dari sembilan bulan.

    Namun, BREN adalah perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia. Ia merupakan produsen energi panas bumi senilai USD85 miliar yang dikendalikan oleh salah satu konglomerat terkaya di negara ini.

    Fluktuasi liar saham BREN, yang paling ekstrem di antara perusahaan global bernilai USD50 miliar atau lebih berdasarkan volatilitas 30 hari, telah membingungkan analis profesional. Ini memicu perdagangan di kalangan investor ritel, dan menantang upaya regulator untuk menertibkan pasar yang semakin bergejolak.

    Episode ini menjadi pengingat baru bagi pengelola investasi internasional tentang kurangnya transparansi yang terkadang ditemui ketika berinvestasi di pasar saham Indonesia yang bernilai USD735 miliar. Grup Barito belum banyak menjelaskan mengapa sahamnya berfluktuasi begitu drastis.

    Sementara otoritas bursa saham enggan mengungkapkan secara spesifik alasan di balik masuknya saham BREN ke papan pemantauan khusus full call auction (FCA) pada akhir Mei, yang menurut kritikus justru memperburuk volatilitas saham.

    “Pembatasan perdagangan yang dimaksudkan untuk melindungi investor ironisnya justru merusak kepercayaan investor secara luas,” kata Mohit Mirpuri, manajer investasi di SGMC Capital Pte yang berbasis di Singapura.

    “Dalam waktu dekat, situasi ini kemungkinan akan jadi penghalang masuknya investor yang risk-averse (tidak menyukai risiko), terutama jika dianggap sebagai indikasi ketidakstabilan pasar yang lebih luas atau tantangan regulasi,” sambungnya.

    Kontroversi ini bermula pada Juni lalu ketika bursa meluncurkan daftar saham dalam pemantauan khusus FCA. Aturan ini diharapkan menjadi solusi menyeluruh yang dirancang dengan hati-hati oleh regulator untuk mengembalikan kredibilitas pasar saham terbesar di Asia Tenggara tersebut, khususnya saham-saham yang sebelumnya dirundung oleh volatilitas tinggi dan likuiditas yang menyusut.

    Berdasarkan aturan bursa, sebuah perusahaan dapat dimasukkan ke dalam papan pemantauan khusus FCA karena beberapa alasan, termasuk pertumbuhan pendapatan nol, likuiditas tipis, dan transaksi di bawah 51 rupiah per saham selama tiga bulan.

    Pada Maret, bursa menerapkan FCA pada semua perusahaan dalam daftar pantau mereka. Mekanisme ini mencocokkan pesanan beli dan jual, seperti yang biasa digunakan oleh bursa utama dunia selama pembukaan dan penutupan perdagangan. Namun tidak seperti di papan reguler, proses ini hanya dilaksanakan empat atau lima kali dalam satu hari perdagangan.

    Awalnya, pembatasan tersebut disambut dengan tenang. Namun, keadaan berubah ketika Bursa Efek Indonesia memasukkan Barito Renewables ke dalam daftar tersebut akhir Mei lalu, tanpa memberikan alasan spesifik selain menyebutkan “kenaikan harga saham yang signifikan” selama lebih dari satu hari.

    Respons pasar pun cepat. Dalam dua minggu berikutnya, saham perusahaan tersebut anjlok hampir setengahnya, memangkas sekitar Rp700 triliun dari nilai pasarnya dan menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun hampir 5 persen. FTSE Russell pun lantas menunda keputusannya untuk memasukkan saham tersebut ke dalam indeks berkapitalisasi besar mereka yang seyogyanya bisa mendatangkan aliran dana asing baru.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79