Logo
>

Saham COCO: Tong Kosong Nyaring Bunyinya?

Harga saham COCO melesat hampir sembilan kali lipat, padahal kinerja keuangan memburuk tajam. Laba amblas, utang menumpuk, dan ekuitas nyaris habis.

Ditulis oleh Yunila Wati
Saham COCO: Tong Kosong Nyaring Bunyinya?
Cokelat hasil produksi PT Wahana Interfood Nusantara Tbk. Foto: Dok COCO.

KABARBURSA.COM - Saham PT Wahana Interfood Nusantara Tbk (COCO) tengah menjadi buah bibir di lantai bursa. Dalam enam bulan, harganya melonjak hampir sembilan kali lipat dan menjadikan reli luar biasa yang jarang terjadi di emiten kecil sektor konsumsi. 

Namun, di balik gegap gempita pergerakan harga itu, laporan keuangannya justru menunjukkan cerita berbeda. Rugi membengkak, utang menumpuk, dan ekuitas nyaris terkikis habis. 

Fenomena ini membuat banyak pelaku pasar mulai bertanya-tanya, apakah kenaikan saham COCO benar mencerminkan potensi bisnis, atau sekadar gema nyaring dari tong yang mulai kosong?

Performa COCO hingga paruh pertama 2025 memang menggambarkan anomali klasik di pasar modal, fundamentalnya terus memburuk, tetapi harga saham justru melesat tajam. 

Dalam enam bulan terakhir, saham COCO naik 869 persen, dan secara tahunan sudah melonjak lebih dari 677 persen. Dari Rp81 di awal tahun, menjadi Rp630 per saham per 8 Oktober 2025. Kenaikan fantastis ini jelas tidak sejalan dengan kinerja keuangannya yang justru memburuk signifikan.

Dari laporan keuangan semester I-2025, COCO membukukan rugi bersih Rp82,53 miliar. Kerugian ini melonjak 153,9 persen dibandingkan kerugian tahun lalu Rp32,48 miliar. Penjualan bersih juga turun hampir 9 persen, menjadi Rp73,16 miliar. Sementara, beban pokok penjualan masih tinggi di Rp69,55 miliar. 

Akibatnya, laba bruto terpangkas separuh menjadi hanya Rp3,61 miliar. Di saat margin makin tipis, beban administrasi justru naik hampir 26 persen dan menambah tekanan pada profitabilitas. Yang paling mencolok, beban operasi lain-lain melonjak ke Rp59,13 miliar dari hanya Rp50 juta pada periode sama tahun lalu. Lonjakan ini terjadi lebih dari 116.000 persen. 

Kombinasi penurunan pendapatan, beban tinggi, dan biaya tak terduga membuat rugi usaha membengkak 414 persen menjadi Rp72,76 miliar.

Kondisi neraca tidak kalah mengkhawatirkan. Total aset COCO turun 13,7 persen menjadi Rp379,6 miliar. Sedangkan liabilitas naik 6,2 persen ke Rp363 miliar, terutama akibat kenaikan utang jangka panjang melalui penerbitan medium term notes (MTN) dari Rp150 miliar menjadi Rp200 miliar. 

Lebih parah lagi, ekuitas amblas 83,1 persen, hanya tersisa Rp16,58 miliar dari Rp98 miliar di akhir 2024. Dengan rasio debt-to-equity 16,9x, perusahaan kini sangat tertekan oleh utang dan hampir seluruh asetnya dibiayai oleh kewajiban. 

Rasio total liabilities terhadap ekuitas mencapai 21,9x, level yang ekstrem dan menandakan kondisi solvabilitas yang rapuh. Nilai Altman Z-Score -1,83 secara statistik menunjukkan zona distress. Di sini ada potensi kebangkrutan tinggi, terutama jika tidak ada restrukturisasi modal atau tambahan pendanaan.

Dari perspektif valuasi, kondisi COCO lebih mengkhawatirkan. Dengan laba negatif, PER (TTM) -5,38x dan PBV mencapai 33,28x, saham ini tergolong sangat mahal dibanding nilai bukunya yang hanya Rp18,63 per saham. 

Nilai pasar COCO kini Rp552 miliar, padahal ekuitas perusahaan tinggal Rp17 miliar. Artinya, investor membayar harga lebih dari 30 kali lipat dari nilai aset bersihnya. Secara logika fundamental, valuasi seperti ini sulit dibenarkan karena perusahaan masih merugi, arus kas operasional negatif, dan tidak membayar dividen. 

Fenomena Irrational Exuberance Munculkan Euforia Pasar

Namun, justru di kondisi inilah muncul fenomena yang sering disebut “irrational exuberance”, yaitu ketika harga saham didorong bukan oleh kinerja bisnis, melainkan oleh euforia pasar dan spekulasi murni.

Lalu mengapa saham COCO bisa terbang setinggi itu? Ada beberapa faktor non-fundamental yang bisa menjelaskan. Pertama, efek kelangkaan saham (low float) karena porsi saham publik hanya sekitar 34,38 persen. Dengan jumlah lembar saham beredar terbatas, pergerakan harga menjadi sangat mudah digerakkan oleh transaksi kecil sekalipun. 

Kedua, fenomena gorengan di mana sebagian pelaku pasar memanfaatkan saham berkapitalisasi kecil untuk mengerek harga dengan cepat melalui aktivitas beli terkoordinasi, memicu efek fear of missing out (FOMO) di kalangan ritel. 

Ketiga, sentimen sektor konsumsi premium, di mana investor mencari alternatif di tengah stagnasi saham sektor besar. Akibatnya, saham seperti COCO terlihat menarik meski tanpa dukungan kinerja kuat.

Dari sisi teknikal, lonjakan harga yang terlalu cepat dalam waktu singkat mengindikasikan overbought extreme. Dalam sebulan, harga naik dari Rp525 ke Rp630, namun dalam enam bulan sudah melesat hampir sembilan kali lipat. 

Volume transaksi meningkat, tetapi volatilitas juga tinggi. Ini menjadi pertanda bahwa sebagian besar pergerakan harga bukan berasal dari pembelian institusional, melainkan spekulasi ritel. 

Jika harga menembus Rp700 tanpa katalis nyata seperti laba atau restrukturisasi utang, potensi koreksi tajam bisa terjadi karena tidak ada dukungan fundamental untuk mempertahankan valuasi.

Melesat, tapi Tanpa Taji

Pesan penting bagi investor dalam situasi ini adalah memahami perbedaan antara tren harga dan nilai intrinsik. Harga saham COCO memang melesat, tetapi fondasi bisnisnya tengah rapuh. Laba terus negatif, margin menurun, ekuitas hampir habis, dan rasio utang sangat tinggi. 

Dengan PBV lebih dari 30x dan rugi yang membengkak, saham ini lebih mencerminkan spekulasi jangka pendek daripada investasi berbasis fundamental. 

Dalam kondisi seperti ini, kenaikan harga bukan pertanda kekuatan bisnis, melainkan sinyal risiko tinggi. Investor yang masuk tanpa strategi bisa terjebak ketika momentum berbalik.

Secara realistis, COCO kini lebih cocok bagi trader berpengalaman yang paham risiko volatilitas ekstrem. Bagi investor jangka panjang, saham ini justru mengandung pesan kehati-hatian. Jangan hanya terpikat oleh grafik naik, karena tidak semua kenaikan mencerminkan pertumbuhan nilai. 

Di balik lonjakan harga, perusahaan menghadapi tekanan likuiditas dan solvabilitas yang serius. 

Singkatnya, kenaikan harga COCO adalah sinyal euforia pasar, bukan tanda perbaikan kinerja. Investor sebaiknya mengambil pelajaran penting bahwa dalam pasar yang dinamis, harga bisa melambung jauh lebih cepat daripada fundamental, tetapi juga bisa jatuh jauh lebih cepat ketika realitas keuangan akhirnya mengejar.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79