KABARBURSA.COM - Industri pengolahan Indonesia atau manufaktur, mengalami perlambatan pertumbuhan pada kuartal II/2024, dengan laju pertumbuhan sebesar 3,95 persen (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencatat pertumbuhan sebesar 4,13 persen yoy dan juga lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 4,88 persen yoy.
Secara rinci, industri pengolahan nonmigas mengalami pertumbuhan 4,63 persen yoy pada kuartal kedua tahun ini. Meskipun ada penurunan tipis dari 4,64 persen kuartal sebelumnya, pertumbuhan ini meningkat sedikit dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar 4,56 persen.
Meskipun pertumbuhannya melesu, sektor industri pengolahan masih menjadi kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2024, dengan porsi 18,52 persen dari total pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,05 persen yoy.
PDB atas dasar harga konstan (ADHK) industri pengolahan mencapai Rp640,49 triliun dari total Rp3.231 triliun pada kuartal kedua tahun ini. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menjelaskan bahwa industri pengolahan menyumbang 0,79 persen dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05 persen.
Tren Kontribusi Sektor Industri
Tren kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB menunjukkan penguatan meskipun belum mencapai tingkat yang dicapai satu dekade lalu. Pada kuartal II/2014, kontribusi sektor ini mencapai 21,2 persen terhadap PDB, dan tetap tinggi di 21,02 persen pada periode yang sama tahun berikutnya. Namun, kontribusinya terus menurun menjadi 20,68 persen pada kuartal II/2016, 20,27 persen pada tahun berikutnya, dan anjlok ke 19,8 persen pada 2018. Penurunan berlanjut hingga mencapai angka terendah 17,92 persen pada kuartal II/2022.
Pada triwulan I/2024, kontribusi industri pengolahan nonmigas tercatat sebesar 17,47 persen, naik dari 16,77 persenpada periode yang sama tahun lalu. Walaupun ada peningkatan, kontribusi ini belum dapat kembali ke level yang tercatat pada kuartal I/2013, yang mencapai 18,08 persen.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memiliki target ambisius untuk sektor industri pengolahan pada tahun ini. Dengan target pertumbuhan sebesar 5,80 persen, Kemenperin berharap untuk memulihkan kinerja industri pengolahan yang saat ini masih berada di bawah target sebelumnya.
Kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB ditargetkan sebesar 17,90 persen, dengan penambahan tenaga kerja sebanyak 20,33 juta orang. Nilai investasi sektor industri juga diharapkan meningkat menjadi Rp630,57 triliun, dan nilai ekspor produk industri ditargetkan mencapai Rp193,4 triliun.
Namun, tantangan besar dihadapi, terutama dengan kinerja sektor manufaktur yang melemah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperingatkan bahwa penurunan dalam sektor manufaktur bisa berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional, mengingat kontribusinya yang signifikan terhadap PDB. Penurunan produktivitas juga terlihat dalam Purchasing Manager's Index (PMI) yang menunjukkan kontraksi pada Juli 2024.
Langkah konkret dan sinergis dari pemerintah dan sektor terkait diperlukan untuk membalikkan tren penurunan ini dan mencapai target yang telah ditetapkan.
GGRM Terpuruk Lantaran Larangan Rokok Eceran?
Pemerintah telah resmi menetapkan larangan terhadap penjualan rokok secara penjualan rokok secara eceran atau perbatang melalui Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024, lalu bagaimana dampak terhadap emiten rokok saat ini?
Kinerja emiten rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mengalami penurunan pada semester I tahun 2024, adapun menurut Senior Investment Information Mirae Aset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji, penurunan kinerja GGRM dipengaruhi meningkatnya cukai.
“Sebenarnya sih kalau rokok lebih dipengaruhi oleh cukai ya, kalau menurut saya,Karena ketika cukai mengalami penaikan secara gradual per tahun, ini kan membuat emiten-emiten rokok kan secara kinerja penggaran harga sami mengalami downtrend.” kata Nafan kepada KabarBursa di Jakarta, Jumat 2 Agustus 2024.
Nafan juga mengungkap jika penetapan yang dilakukan pemerintah terhadap larangan penjualan rokok eceran tidak berpengaruh terhadap kinerja saham emiten rokok saat ini.
“Jadi sebenarnya sudah tercermin ke hal tersebut (kenaikan cukai) jika dibandingkan dengan kebijakan larangan jualan rokok eceran,” jelasnya.
Lanjutnya berdasarkan laporan keuangan pada laman Bursa Efek Indonesia (BEI) GGRM mencatat laba yang dapat diatribusikan pada entitas induk pada emester I 2024 sebesar Rp 925,51 miliar. Angka tersebut anjlok 71,8 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023 yaitu Rp 3,28 triliun.
UNVR Belum Bangkit
Tidak hanya Gudang Garam, saham emiten manufaktur lainnya juga mengalami penurunan pertumbuhan. Contohnya PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang melanjutkan tren pertumbuhan volume lemah pada kuartal I dan II-2024, setelah penurunan yang terjadi sejak kuartal IV-2023. Meski telah mengintensifkan promosi dan penyesuaian harga, perusahaan masih menghadapi berbagai tantangan.
Sentimen konsumen yang negatif akibat ketidakpastian geopolitik dan daya beli yang lemah berperan besar dalam situasi ini. Hal ini memicu pergeseran konsumen ke produk pesaing yang menawarkan nilai lebih baik. Meski begitu, laba bersih UNVR pada semester I-2024 mencapai Rp 2,5 triliun, meski turun 11 persen dibandingkan tahun lalu. Penurunan ini masih berada dalam ekspektasi analis, yakni 49 persen dan 54 persen dari konsensus dan estimasi tahun ini, menurut laporan BRI Danareksa Sekuritas.
Manajemen UNVR memperkirakan bahwa sentimen negatif ini bisa berlanjut hingga semester II-2024. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan berencana melanjutkan promosi dan pemotongan harga guna mendongkrak volume penjualan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.