Logo
>

Saham INCO di Tengah Tekanan: Peluang atau Risiko?

Ditulis oleh Syahrianto
Saham INCO di Tengah Tekanan: Peluang atau Risiko?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Saham INCO atau PT Vale Indonesia Tbk telah turun 11,38 persen sepanjang 2024 hingga 30 Agustus, seiring dengan penurunan laba bersih sebesar 82 persen menjadi USD37,22 juta pada semester I 2024, menimbulkan pertanyaan apakah saham ini masih menarik dan memiliki prospek.

    Ada dua faktor utama yang mempengaruhi kinerja INCO hingga pertengahan 2024. Pertama, volume produksi nikel selama tiga bulan di kuartal II 2024 turun sebesar 9 persen dibandingkan tiga bulan kuartal I 2024, dan juga turun 2 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

    Total volume produksi selama tiga bulan di kuartal II 2024 adalah sekitar 16.576 ton. Namun, jika digabung dengan kinerja kuartal I 2024, produksi nikel INCO di paruh pertama justru naik 3 persen menjadi 34.774 ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan volume produksi di kuartal II 2024 disebabkan oleh kegiatan pemeliharaan.

    Kedua, rata-rata harga jual nikel selama semester I 2024 mengalami penurunan sebesar 30,79 persen menjadi USD13.418 per ton, dibandingkan dengan USD19.385 per ton pada periode yang sama tahun sebelumnya. Akibatnya, pendapatan INCO juga turun sebesar 27,35 persen menjadi USD478,75 juta.

    Dengan penurunan pendapatan ini, margin laba kotor (gross profit margin) INCO juga turun signifikan menjadi 12,86 persen dari 33,46 persen. Hal ini disebabkan karena penurunan beban pokok pendapatan INCO tidak sebanding dengan penurunan pendapatan. Total beban pokok pendapatan INCO hanya turun 4,86 persen menjadi USD417,16 juta.

    Secara detail, INCO mencatat penurunan biaya energi dengan minyak dan batu bara masing-masing turun 5,89 persen dan 26,67 persen. Namun, beberapa pos biaya besar lainnya seperti bahan pembantu, jasa penambangan, dan tenaga kerja masih mengalami kenaikan.

    Selain itu, dari sisi biaya non-operasional, INCO mencatat kerugian dari pengakuan nilai wajar aset derivatif sebesar USD19 juta, dibandingkan laba USD55,37 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pos ini terkait dengan aset investasi perusahaan di entitas asosiasi, yaitu PT Kolaka Nickel Indonesia.

    Dalam public expose di akhir Agustus 2024, manajemen INCO optimis mengejar target produksi nikel sebanyak 70.800 ton. Secara siklus, produksi nikel INCO di semester II 2024 memang cenderung lebih tinggi dibandingkan paruh pertama. Dengan realisasi paruh pertama mencapai 49 persen, target tersebut cukup realistis.

    Dengan asumsi target produksi INCO tercapai di 2024 dan seluruh hasil produksi terserap menjadi pendapatan dengan asumsi harga jual rata-rata USD14.000 per ton, maka kinerja pendapatan INCO di 2024 berpotensi turun 19,55 persen menjadi USD991,2 juta.

    Dengan asumsi net profit margin sebesar 9 persen atau lebih baik dibandingkan semester I 2024 yang sebesar 7,78 persen, laba bersih INCO bisa turun 67,44 persen menjadi USD89,2 juta. Untuk tingkat margin keuntungan, diharapkan INCO dapat mengelola dengan baik sehingga posisinya bisa lebih baik di paruh kedua. Terutama jika biaya produksi (cash cost) INCO bisa turun di bawah USD10.000 per ton, meskipun tidak terlalu jauh dari angka tersebut.

    Secara umum, bisnis INCO sangat bergantung pada kegiatan penambangan di area konsesi Sorowako-Towuti yang memiliki luas 70.566 hektare. Meski demikian, manajemen INCO menyebutkan bahwa perusahaan dapat menangkap peluang pertumbuhan bisnis melalui penjualan bijih saprolit (saprolite ore), yaitu nikel dengan kualitas tinggi, di masa depan. Harapannya, ini bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan.

    Salah satu faktor yang bisa menjadi sentimen positif bagi INCO adalah proyek HPAL Sorowako yang berpotensi menggandeng mitra lain selain Ford. Kabarnya, sudah ada beberapa calon mitra yang tertarik, namun manajemen belum bisa mengungkapkan detailnya sebelum ada kesepakatan.

    Sementara itu, proyek smelter HPAL di Pomalaa diperkirakan mulai produksi dengan kapasitas 28 juta ton bijih nikel pada tahun 2026. Nantinya, bijih limonit akan disuplai ke pabrik HPAL, sedangkan bijih saprolitnya akan dijual ke pasar.

    Di sisi lain, INCO sedang mengevaluasi proyek Pabrik RKEF di Bahodopi karena harga nickel pig iron yang terus menurun, sementara harga gas cenderung naik. Meski demikian, bijih saprolit dari Bahodopi akan tetap dijual pada kuartal IV 2025.

    Selain itu, hasil studi menunjukkan bahwa ada kapasitas bijih limonit (bijih nikel kualitas rendah) sebesar 11 juta ton per tahun di Bahodopi yang bisa digunakan sebagai bahan baku untuk pabrik HPAL.

    Untuk proyek Sorowako, akan dibangun HPAL untuk memanfaatkan bijih limonit yang selama ini hanya dibuang. Rencananya, HPAL ini akan dibangun di Malili, dekat pelabuhan, oleh mitra yang ada saat ini, yaitu Huayou.

    Setelah porsi kepemilikan MIND ID menjadi lebih besar, manajemen belum bisa memastikan apakah pembagian dividen akan menjadi lebih rutin. Alasan utamanya adalah karena perusahaan masih membutuhkan dana internal untuk menjaga pertumbuhan bisnis yang lebih positif.

    Menurut konsensus 8 analis, kinerja INCO di 2024 diperkirakan tidak jauh berbeda dari perkiraan yang telah disebutkan sebelumnya, berdasarkan target produksi dan asumsi yang ada. Konsensus analis memproyeksikan pendapatan INCO akan turun 22,54 persen menjadi USD954,3 juta, sedangkan laba bersih turun 69,3 persen menjadi USD84,12 juta.

    Dengan tren kinerja 2024 yang diprediksi turun, apakah saham INCO menjadi tidak menarik? Justru sebaliknya. Kinerja INCO turun karena dua faktor: eksternal terkait harga nikel dunia yang sedang turun, serta internal terkait kegiatan pemeliharaan, yang hal ini bukanlah negatif.

    Dengan kinerja yang rendah di 2024, kinerja INCO pada 2025 justru berpotensi tumbuh lebih agresif, terutama jika didukung oleh kenaikan harga nikel, yang bisa terjadi seiring dengan penurunan suku bunga oleh The Fed dan Bank Indonesia, yang juga bisa berpengaruh ke bank sentral lainnya. Diharapkan ini bisa membantu pemulihan ekonomi global dan meningkatkan permintaan nikel, sehingga INCO dapat mencatatkan harga jual yang lebih baik.

    Secara valuasi dengan metode PBV band, harga saham INCO tergolong murah dengan tingkat PBV di 0,91 kali. Dengan asumsi harga nikel masih rendah dan kinerja INCO berpotensi pulih di 2025, diperkirakan harga wajarnya sekitar Rp4.686 per saham. Namun, jika harga nikel naik lebih tinggi di atas USD20.000, harga wajar INCO bisa mencapai Rp6.417 per saham. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.