KABARBURSA.COM - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali menciptakan gejolak di pasar global, namun kali ini dengan arah yang tak terduga.
Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz, jalur vital distribusi minyak dunia, yang semula memicu kekhawatiran akan lonjakan harga energi, ternyata belum juga direalisasikan. B
ukannya memicu reli harga, ketidakpastian ini justru menyeret harga minyak mentah ke titik terendah dalam beberapa bulan terakhir, dan berimbas pada tekanan di sektor energi, termasuk saham-saham migas di Bursa Efek Indonesia.
Dalam dua hari terakhir, harga minyak mentah Brent untuk kontrak Agustus 2025 anjlok nyaris 11 persen. Setelah turun 7,2 persen pada Senin malam, 23 Juni 2025 ke level 71,48 dolar AS per barel, harga minyak kembali tertekan hingga menyentuh 68,62 dolar pada Selasa pagi, 24 Juni 2025.
Kondisi ini jauh dari ekspektasi banyak analis yang memperkirakan harga bisa menembus 80 dolar di tengah konflik.
Pelemahan harga ini dipicu oleh langkah Iran yang alih-alih menutup Selat Hormuz, justru menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar. Serangan itu sendiri dilakukan setelah Iran disebut telah memperingatkan sebelumnya, diduga untuk menghindari korban jiwa dan membuka ruang negosiasi.
Tak berselang lama, Presiden AS Donald Trump mengklaim bahwa Iran dan Israel telah mencapai kesepakatan gencatan senjata sementara. Meski belum dikonfirmasi secara resmi oleh kedua pihak, pasar langsung menyambut positif kabar tersebut.
Bursa saham Amerika mencatat penguatan, dengan S&P 500 naik satu persen pada penutupan Senin, dan berlanjut pada penguatan kontrak futures di sesi Asia pagi ini. Pasar Asia pun dibuka menghijau, mencerminkan harapan bahwa risiko eskalasi konflik mulai mereda.
Harga Minyak Terjun, Saham Energi Rontok
Namun, situasi ini menjadi tekanan tersendiri bagi sektor energi. Saham-saham emiten migas dan jasa penunjangnya seperti Medco Energi (MEDC), Energi Mega Persada (ENRG), Elnusa (ELSA), Wintermar Offshore (WINS), Ratu Prabu Energi (RATU), hingga Logindo Samudramakmur (LEAD) ikut melemah.
Turunnya harga minyak berisiko memukul margin dan proyeksi pendapatan, terlebih bagi emiten yang memiliki struktur biaya tetap tinggi dan sangat bergantung pada harga jual komoditas global.
Mengutip data Stockbit hingga pukul 14.00 WIB, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) menjadi salah satu yang paling tertekan. Sahamnya longsor 8,62 persen ke level Rp1.325. Transaksi mencapai lebih dari Rp150 miliar, mencerminkan keluarnya dana besar dari sektor ini.
Harga sempat menyentuh level terendah di Rp1.310, dan sepanjang sesi tak menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Tekanan lebih dalam dialami PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), yang nyaris menyentuh auto reject bawah (ARB). Harga sahamnya anjlok 9,84 persen ke Rp348. Meski sempat dibuka sedikit lebih tinggi, tekanan jual tak terbendung.
Dengan nilai transaksi nyaris Rp189 miliar dan volume mencapai 5,4 juta lot, investor tampaknya memilih keluar untuk sementara.
PT Elnusa Tbk (ELSA), emiten jasa energi yang berada di bawah naungan Pertamina, juga terkena imbas. Sahamnya melemah hampir 5 persen ke Rp476. Tekanan datang setelah harga sempat menyentuh level terendah harian di Rp462.
Di tengah kondisi pasar seperti ini, saham ELSA yang sebelumnya stabil pun mulai tertekan.
Saham PT Wintermar Offshore Marine Tbk (WINS) tak ketinggalan. Emiten penyedia jasa logistik laut untuk industri migas ini ditutup melemah 6,31 persen ke Rp386.
Volume transaksinya memang lebih kecil dibanding emiten lain di sektor ini, namun arah pergerakannya tetap sejalan, karena investor mulai menurunkan ekspektasi terhadap outlook bisnis jangka pendek.
RATU Terkoreksi Lebih Ringan
Sementara itu, PT Ratu Prabu Energi Tbk (RATU) mencatat koreksi yang relatif ringan, hanya turun 0,71 persen ke Rp6.975. Namun fluktuasinya cukup lebar, dengan harga sempat menyentuh Rp7.400 sebelum terkoreksi ke bawah. Volatilitas ini menunjukkan adanya tarik-ulur di pasar antara mereka yang masih bertahan dan yang memilih melepas posisi.
PT Logindo Samudramakmur Tbk (LEAD) juga tak luput dari tekanan. Sahamnya melemah hampir 6 persen ke Rp79 dengan volume transaksi mencapai 30 juta lot, dua kali lipat lebih dari rata-rata hariannya. Ini mencerminkan kecemasan yang meluas di kalangan pelaku pasar terhadap prospek bisnis sektor energi dalam waktu dekat.
Turunnya harga minyak mentah memang menjadi katalis negatif yang tak terbantahkan. Investor yang sebelumnya mengandalkan eskalasi konflik untuk mendorong harga komoditas kini harus menerima kenyataan bahwa situasi bisa berbalik arah dalam waktu singkat.
Apalagi dengan kabar gencatan senjata antara Iran dan Israel yang mulai berhembus, ruang bagi harga minyak untuk kembali reli dalam waktu dekat tampaknya terbatas.
Kondisi ini membuat pelaku pasar lebih berhati-hati. Meski koreksi yang terjadi bisa membuka ruang akumulasi di level harga yang lebih murah, arah jangka pendek masih penuh ketidakpastian. Untuk sementara, sektor energi tampaknya harus menunggu sentimen yang lebih solid sebelum bisa bangkit kembali.(*)