KABARBURSA.COM – Bursa Wall Street akhirnya menutup pekan ini dengan senyum, setelah melewati perjalanan penuh gejolak yang sempat membawa pasar dari ketakutan, kelegaan, hingga kembali ke mode hati-hati. Semua ini gara-gara perang tarif Presiden Donald Trump.
Dilansir dari AP di Jakarta, Sabtu, 26 April 2025, indeks S&P 500 naik 0,7 persen pada perdagangan Sabtu dini hari WIB hingga memperpanjang reli tiga harinya dan hanya terpaut sekitar 10,1 persen dari rekor tertingginya tahun ini. Lonjakan saham teknologi besar seperti Nvidia ikut mendorong Nasdaq Composite melonjak 1,3 persen dan mencetak kenaikan paling tajam di antara indeks utama.
Namun, di balik kilauan itu, perdagangan di Wall Street tetap bercampur aduk. Lebih banyak saham di indeks S&P 500 justru melemah dibandingkan yang menguat. Dow Jones Industrial Average hanya mampu menambah 20 poin atau 0,1 persen.
Saham Alphabet ikut bersinar, naik 1,7 persen pada hari pertama perdagangan setelah induk Google itu melaporkan lonjakan laba sebesar 50 persen pada awal 2025 dibanding tahun sebelumnya alias melampaui ekspektasi para analis. Karena ukurannya yang jumbo, pergerakan saham Alphabet sangat memengaruhi indeks S&P 500 dan indeks lainnya.
Nvidia juga tampil sebagai kekuatan besar lain yang mendongkrak S&P 500, setelah saham raksasa chip itu melonjak 4,3 persen. Keduanya membantu mengimbangi kejatuhan Intel, yang merosot 6,7 persen meskipun hasil keuangannya mengalahkan ekspektasi. Intel memperingatkan soal “ketidakpastian tinggi di seluruh industri” dan mengeluarkan proyeksi pendapatan serta laba yang mengecewakan analis.
Tidak hanya Intel yang bikin pasar berat hati. Hampir tiga dari lima saham di S&P 500 justru melemah. Salah satunya Eastman Chemical, yang anjlok 6,2 persen setelah memberikan proyeksi laba musim semi yang lebih lemah dari perkiraan. CEO Mark Costa menyebut ketidakpastian makroekonomi yang sudah membayangi dalam beberapa tahun terakhir kini justru bertambah besar, dan permintaan ke depan “masih tidak pasti, mengingat skala dan dampak tarif.”
Perusahaan alas kaki Skechers U.S.A. juga ikut lesu. Meski baru saja membukukan rekor pendapatan kuartalan sebesar USD2,41 miliar, mereka menarik proyeksi keuangannya untuk tahun ini. Alasannya lagi-lagi: “ketidakpastian makroekonomi akibat kebijakan perdagangan global.” Akibatnya, saham Skechers terkoreksi 5,3 persen.
Memang, makin banyak perusahaan dari berbagai sektor mengeluhkan bahwa ketidakpastian yang diciptakan oleh tarif Trump membuat mereka sulit menyusun proyeksi keuangan untuk tahun depan.
Sebelumnya, pasar saham sempat rontok tajam pada Senin, tetapi bangkit lagi setelah muncul harapan bahwa Trump mungkin akan melunak soal tarif dan kritik terhadap Federal Reserve. Ada optimisme, jika tarif-tarif keras itu diringankan, maka ancaman resesi yang selama ini menghantui bisa dihindari.
Namun di sisi lain, kebijakan tarif Trump yang acap berubah-ubah tetap mendorong rumah tangga dan perusahaan untuk menahan belanja serta membekukan rencana investasi jangka panjang, karena ketidakpastian bisa berubah drastis—kadang dalam hitungan jam.
“Para pemilik bisnis yang pontang-panting menyusun ulang rantai pasokan dan eksposur tarif ini bukan cuma sekadar distraksi,” kata Brian Jacobsen, Kepala Ekonom di Annex Wealth Management. “Bagi banyak bisnis kecil yang tidak punya skala atau sumber daya sebesar perusahaan besar, ini bisa menjadi ancaman eksistensial.”
Secara keseluruhan, indeks S&P 500 menguat 40,44 poin ke level 5.525,21. Dow Jones Industrial Average menambah 20,10 poin ke posisi 40.113,50, sedangkan Nasdaq Composite melesat 216,90 poin ke 17.382,94.
Di pasar saham global, indeks di Eropa kompak mencatatkan kenaikan meski tipis, mengikuti pergerakan campuran di bursa Asia. Indeks Nikkei 225 di Tokyo melonjak 1,9 persen, sementara bursa Shanghai justru melemah tipis 0,1 persen.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Amerika Serikat (Treasury) kembali melunak. Yield obligasi tenor 10 tahun turun menjadi 4,25 persen dari 4,32 persen pada penutupan Kamis lalu. Tren pelemahan yield ini mulai terlihat sejak awal bulan ketika sempat mendekati 4,50 persen—level yang sempat memicu kekhawatiran bahwa investor global mulai ragu terhadap reputasi obligasi AS sebagai aset aman.
Penurunan yield juga diperkuat oleh serangkaian data ekonomi AS yang belakangan ini dirilis lebih lemah dari perkiraan. Kondisi ini memperbesar harapan bahwa Federal Reserve bakal memangkas suku bunga acuannya pada paruh kedua tahun ini demi menjaga laju pertumbuhan ekonomi.
Pada Jumat pagi waktu setempat, laporan University of Michigan menunjukkan bahwa sentimen konsumen AS turun di bulan April, meski penurunannya tidak sedalam perkiraan analis. Namun, yang cukup mencolok, indeks ekspektasi terhadap kondisi ekonomi mendatang tercatat anjlok hingga 32 persen sejak Januari—menjadi penurunan tiga bulanan terdalam sejak resesi tahun 1990.
Sementara itu, nilai tukar dolar AS terpantau stabil terhadap euro dan mata uang utama lainnya. Dolar mulai pulih setelah sempat mengalami pelemahan tajam yang mengguncang pasar di awal bulan ini.(*)
Saham Teknologi Dorong Wall Street Menguat di Akhir Pekan
Saham teknologi seperti Nvidia dan Alphabet mengangkat Wall Street ke zona hijau, menutup pekan penuh gejolak akibat perang dagang Trump.
