KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona merah, turun 0,27 persen atau 19,57 poin, menjadi 7.237,41 pada penutupan perdagangan Sesi I, Senin, 12 Agustus 2024. Penurunan ini dipengaruhi oleh sikap wait and see menjelang rilis data inflasi Amerika Serikat yang dijadwalkan minggu ini.
Selama Sesi I perdagangan, IHSG terus berada di zona merah, dengan rentang pergerakan antara 7.273,66 dan 7.230,78.
Data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan bahwa total nilai perdagangan mencapai Rp3,75 triliun, dengan 8,13 miliar saham yang diperdagangkan dalam 528.834 transaksi.
Di sisi lain, kurs rupiah melemah 0,31 persen, mencapai level Rp15.974/USD pada pukul 12.20 WIB.
Terdapat 294 saham yang mengalami penguatan, sementara 244 saham mengalami penurunan, dan 234 saham stagnan.
Sektor teknologi dan transportasi menjadi penyebab utama penurunan IHSG, masing-masing melemah 0,43 persen dan 0,30 persen, diikuti oleh sektor keuangan yang turun 0,23 persen. Sektor properti juga mengalami penurunan sebesar 0,22 persen.
Beberapa saham teknologi yang menekan IHSG termasuk PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA), yang turun 3,98 persen, PT Sentral Mitra Informatika Tbk (LUCK), yang anjlok 3,77 persen, dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), yang melemah 1,96 persen.
Saham-saham transportasi juga berkontribusi pada penurunan IHSG, dengan PT Putra Rajawali Kencana Tbk (PURA) jatuh 5 persen, PT Jaya Trishindo Tbk (HELI) turun 2,88 persen, dan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) melemah 1,64 persen.
Indeks saham unggulan LQ45 juga berada di zona merah, turun 0,53 persen atau 4,8 poin, menjadi 903,32. Saham-saham unggulan dalam LQ45 yang tertekan meliputi PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) yang turun 5,18 persen, PT Bank Jago Tbk (ARTO) melemah 2,11 persen, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) yang berkurang 1,81 persen, dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang turun 1,79 persen.
Di Asia, indeks bervariasi dengan Kospi Korea Selatan naik 1,03 persen, KLCI Malaysia meningkat 0,49 persen, Hang Seng Hong Kong menguat 0,22 persen, Shanghai naik 0,16 persen, sementara Strait Times Singapura melemah 0,72 persen.
Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat pada bulan September akan sangat dipengaruhi oleh data inflasi Indeks Harga Konsumen (CPI) yang dirilis minggu ini. Data ini akan menentukan sentimen pasar setelah pekan lalu pasar menghadapi ‘Panic Selling’ akibat kekhawatiran tentang resesi di AS. Data inflasi ini diharapkan dapat memberikan kepastian apakah kekhawatiran resesi akan mereda atau semakin menguat.
Seperti yang diwartakan BloombergNews, dengan para trader yang berfokus pada kemungkinan resesi AS di tengah perlambatan pertumbuhan global, pasar akan sensitif terhadap data yang menunjukkan kelemahan dalam Harga Konsumen, Harga Produsen, dan Penjualan Ritel yang diperkirakan terjadi di pekan ini, kata Chris Weston, Kepala Penelitian di Pepperstone Group di Melbourne.
“Pasar masih tegang dan akan terlihat kembali terlibat dalam perdagangan resesi, dengan seruan bahwa The Fed 'Tertinggal' jika data menunjukkan pelemahan lebih lanjut,” jelasnya.
Fokus utama adalah pengumuman data pivotal inflasi Amerika Serikat yang akan terbit, yaitu inflasi Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) juga inflasi Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI).
Data Pivotal merupakan informasi kunci yang sangat penting dalam pengambilan keputusan. Data ini biasanya memiliki pengaruh besar terhadap hasil atau keputusan yang diambil, baik dalam konteks bisnis, penelitian, maupun teknologi.
Data Pivotal sering digunakan dalam analisis untuk menentukan arah strategis atau dalam proses optimisasi, di mana data tersebut menjadi pusat dari berbagai analisis atau keputusan yang diambil yang hasilnya akan mempengaruhi arah pasar keuangan di seluruh dunia.
“Data inflasi Juli akan memberikan sinyal yang campur aduk, menyuntikkan volatilitas lebih banyak ke pasar yang masih belum stabil,” tulis Estelle Ou, Ekonom BloombergEconomics dalam catatannya.
Dua data itu akan menjadi data pivotal setelah sepanjang pekan lalu pasar menghadapi gejolak nan tajam pasca rilis data pengangguran AS yang lebih tinggi ketimbang prediksi, memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi di perekonomian terbesar dunia itu.
Konsensus pasar yang dihimpun oleh BloombergEconomics sampai Senin, 12 Agustus 2024 pagi, memperkirakan inflasi PPI Juli sebesar 0,2 persen month-on-month (mom) dan 2,3 persen year-on-year (yoy). Sementara inflasi inti PPI di angka 0,2 persen mom dan 2,7 persen yoy.
Sementara inflasi CPI pada Juli diprediksi 0,2 persen mom setelah bulan lalu tak terduga terjadi deflasi. Sedangkan secara tahunan, inflasi CPI Amerika diprediksi sebesar 3 persen, tidak berubah. Sedang inflasi inti CPI diprediksi 0,2 persen mom, naik dari bulan sebelumnya 0,1 persen sedang secara tahunan diperkirakan 3,2 persen, turun dari 3,3 persen pada Juni. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.