Logo
>

Segera Punya Pengendali Baru: PIPA Akankah Layak Dikoleksi?

PT Multi Makmur Lemindo Tbk (PIPA) segera dikendalikan Morris Capital Indonesia. Meski harganya melonjak ribuan persen, fundamental dan valuasinya masih belum sepadan.

Ditulis oleh Yunila Wati
Segera Punya Pengendali Baru: PIPA Akankah Layak Dikoleksi?
Ilustrasi PT Multi Makmur Lemindo Tbk. Foto: Dok Perusahaan.

KABARBURSA.COMPT Multi Makmur Lemindo Tbk, dengan kode saham PIPA, sedang menjadi pusat perhatian pasar modal setelah lonjakannya yang luar biasa sejak awal 2025. Tidak hanya soal lonjakan tinggi, kabar pergantian pengendali utama kepada Morris Capital Indonesia (MCI) juga menyita perhatian. 

Emiten yang bergerak di sektor perindustrian bahan bangunan dan plastik konstruksi ini dikenal sebagai produsen pipa PVC, selang PVC, fitting, ember cor, dan tangki air, kini memasuki babak baru dalam perjalanan bisnisnya. 

Namun di tengah euforia harga saham yang melonjak lebih dari 6.000 persen dalam setahun, muncul pertanyaan besar, apakah fundamental PIPA benar-benar mendukung reli harga fantastis ini, dan berapa sebenarnya nilai wajarnya?

Pergantian Pengendali dan Struktur Kepemilikan

Sebelum akuisisi, pengendali utama PIPA adalah Junaedi, Direktur yang memegang sekitar 1 miliar saham atau 29,2 persen kepemilikan. Ia bersama dua pemegang saham lain, Hendrik Saputra (7,3 persen) dan Nanang Saputra (7,3 persen), menandatangani perjanjian jual beli bersyarat pada 6 Oktober 2025 dengan Morris Capital Indonesia (MCI). 

Setelah transaksi rampung, MCI yang semula memiliki 5,1 persen saham, akan menguasai 48,9 persen saham dan menjadi pemegang kendali baru PIPA.

Langkah ini menjadi titik penting karena menandai masuknya investor institusional baru yang kemungkinan akan melakukan transformasi besar-besaran pada arah bisnis dan tata kelola perusahaan. 

Sebab selama ini, PIPA dikelola secara internal oleh manajemen keluarga yang juga menjadi pemegang saham utama.

PIPA beroperasi di sektor industri dasar dan kimia, sub-sektor bahan bangunan dan produk plastik. Produknya banyak digunakan di proyek infrastruktur, konstruksi, dan kebutuhan rumah tangga. 

Perseroan memiliki kapasitas produksi hingga 300 ton per bulan di Tangerang, dan jangkauan distribusi yang luas mencakup Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi.

Selain itu, PIPA memiliki tiga anak usaha yang berfungsi memperkuat distribusi:

  • PT Indo Bangun Nusantara, yang menangani proyek pemerintah dan daerah.
  • PT Modern Citra Sarana, agen penjualan ritel di Sukabumi dan Jawa Barat.
  • PT Kedaung Sarana Indah, agen distribusi untuk wilayah Banten dan Tangerang.

Model bisnis ini membuat PIPA menjadi perusahaan terintegrasi dari produksi hingga penjualan ritel, meski skalanya masih terbatas dibandingkan pemain besar di industri bahan bangunan seperti Wavin Duta Jaya atau Langgeng Makmur Industri.

Fundamental: Naik Harga, tapi Laba Tipis

Melihat dari data fundamental terakhir, kinerja keuangan PIPA sebenarnya masih moderat, bahkan bisa dikatakan belum sepadan dengan kenaikan harga sahamnya yang fantastis. 

Berdasarkan laporan terkini (Q2 2025), pendapatan perusahaan mencapai Rp28 miliar (TTM), dengan laba bersih Rp2 miliar. Artinya, net profit margin hanya 2,36 persen, tingkat margin yang sangat tipis untuk sektor manufaktur.

Namun valuasi sahamnya kini sangat mahal. Price-to-Earnings Ratio (P/E) TTM mencapai 1.008,9 kali, jauh di atas rata-rata industri manufaktur yang hanya 10–15 kali. Bahkan, Price-to-Book Value (PBV) sudah menembus 14,55 kali, artinya harga sahamnya saat ini lebih dari 14 kali lipat nilai buku perusahaan. 

Ini menunjukkan bahwa saham PIPA secara fundamental berada di zona overvalued ekstrem.

Meski demikian, PIPA menunjukkan neraca yang relatif sehat. Total aset mencapai Rp172 miliar, dengan liabilitas hanya Rp25 miliar, menghasilkan Debt-to-Equity Ratio (DER) rendah di 0,11 kali. 

Kondisi ini menandakan perusahaan hampir tanpa beban utang dan memiliki likuiditas tinggi, tercermin dari current ratio 3,21 kali. Altman Z-Score 8,00 juga memperlihatkan risiko kebangkrutan yang sangat rendah.

Namun, dari sisi profitabilitas, PIPA masih belum efisien. Return on Assets (ROA) hanya 1,23 persen, Return on Equity (ROE) 1,44 persen, dan Return on Capital Employed (ROCE) 1,67 persen. 

Dengan margin laba serendah ini, harga saham yang naik ribuan persen tampak lebih didorong oleh spekulasi pasar dan minat ritel dibandingkan peningkatan kinerja operasional.

Valuasi dan Harga Wajar

Jika menggunakan pendekatan konservatif berbasis PBV wajar untuk sektor industri plastik di kisaran 1,5–2 kali, sedangkan nilai buku per saham PIPA adalah Rp42,97, maka estimasi harga wajarnya berkisar antara Rp65 hingga Rp85 per saham.

Dengan harga pasar saat ini di Rp625, saham PIPA diperdagangkan hampir 8–10 kali lipat di atas nilai wajarnya. Artinya, reli harga lebih mencerminkan ekspektasi dan momentum jangka pendek, bukan kenaikan nilai intrinsik.

Apalagi, Earnings Yield (TTM) hanya 0,10 persen, jauh di bawah suku bunga acuan BI maupun rata-rata yield saham industri. Dengan kata lain, investor saat ini membayar harga yang sangat tinggi untuk return yang nyaris tidak signifikan secara fundamental.

Suspensi dan Risiko Pasar, Apakah Layak Dikoleksi?

Kenaikan harga PIPA yang terlalu cepat, lebih dari 5.000 persen sejak awal tahun, membuat Bursa Efek Indonesia melakukan suspensi perdagangan. Langkah ini lazim dilakukan ketika otoritas menilai pergerakan harga tidak sejalan dengan kinerja emiten, guna melindungi investor dari potensi bubble atau praktik transaksi yang tidak wajar.

Selama masa suspensi, likuiditas saham otomatis turun, dan potensi koreksi harga menjadi tinggi begitu perdagangan dibuka kembali. 

Dengan valuasi yang sudah sangat mahal dan volatilitas ekstrem, saham ini masuk kategori high-risk momentum stock, artinya menarik bagi trader berisiko tinggi, tapi tidak ideal untuk investor jangka menengah maupun panjang.

Secara bisnis, PIPA memiliki prospek jangka panjang yang lumayan stabil di sektor bahan bangunan, apalagi jika di bawah pengendalian baru MCI terjadi ekspansi kapasitas atau efisiensi biaya. Namun secara valuasi dan rasio keuangan, saham ini belum layak untuk dikoleksi sebagai investasi jangka panjang.

Harga sahamnya sudah jauh melampaui nilai wajar, margin keuntungannya kecil, dan rasio valuasi menempatkannya di wilayah spekulatif. Dengan potensi aksi korporasi (akuisisi MCI) dan suspensi bursa yang masih berjalan, pergerakan harga ke depan akan sangat bergantung pada sentimen pasar, bukan fundamental.

Namun bagi trader jangka pendek dengan toleransi risiko tinggi, PIPA bisa menjadi “saham momentum” yang menarik bila suspensi dibuka dengan volume transaksi besar dan minat beli ritel masih kuat.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79