KABARBURSA.COM - Amerika Serikat kembali memicu ketegangan perdagangan global dengan mengumumkan "Perang Dagang" pada Sabtu, 1 Februari 2025. Kebijakan ini mencakup tarif 25 persen untuk produk impor dari Meksiko dan Kanada, serta tarif 10 persen untuk barang-barang dari China.
Langkah ini dianggap sebagai awal dari babak baru perang dagang, atau yang sering disebut sebagai "Perang Dagang 2.0," yang sejalan dengan visi proteksionisme Presiden AS Donald Trump. Kanada langsung merespons dengan mengenakan tarif balasan sebesar 25 persen terhadap semua barang impor dari AS, sehingga memperparah ketegangan antara kedua negara.
Kebijakan tarif ini tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral antara AS dengan negara-negara terkait, tetapi juga berpotensi mengganggu rantai pasokan global. Kenaikan biaya impor dapat memicu inflasi yang lebih tinggi, sementara permintaan global diperkirakan akan melemah akibat meningkatnya ketidakpastian ekonomi.
Di tengah situasi ini, Bank Sentral Eropa dan Indonesia mulai mengambil pendekatan kebijakan yang berbeda dari Federal Reserve AS. Alih-alih fokus pada pengendalian inflasi, kedua bank sentral tersebut lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi domestik.
Perbedaan kebijakan ini turut memperkuat nilai dolar AS di pasar global, serta menambah tekanan pada mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.
Meskipun ketegangan perdagangan global semakin memanas, Indonesia masih terhindar dari kebijakan tarif baru AS, sehingga memberikan sedikit ruang bagi stabilitas ekonomi domestik. Namun, dampak tidak langsung dari perang dagang ini tetap terasa, terutama melalui pelemahan nilai tukar rupiah.
Pada Senin, 3 Februari 2025, rupiah tercatat melemah ke level Rp16.400 per dolar AS, sementara yield Surat Berharga Negara (SBN) acuan juga turun ke level 7,098 persen. Pasar saham Indonesia pun tidak luput dari tekanan, dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,26 persen pada sesi pertama perdagangan hari itu.
Sektor perbankan menjadi salah satu yang paling terdampak oleh ketidakpastian ini. Saham-saham perbankan besar seperti PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mengalami penurunan signifikan.
Selain sektor perbankan, sektor komoditas bahan baku juga kurang diuntungkan dalam situasi saat ini. Kondisi ini mengingatkan pada awal pandemi Covid-19, di mana sektor-sektor defensif seperti konsumsi dan ritel menjadi pilihan utama investor.
Rekomendasi Bareksa
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, sektor konsumsi dan ritel dinilai memiliki potensi yang lebih baik.
Perusahaan-perusahaan seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES), dan PT MAP Aktif Adiperkasa Tbk (MAPA) diperkirakan dapat bertahan, bahkan mendapatkan keuntungan dari kondisi pasar saat ini.
Selain itu, sektor telekomunikasi juga menarik untuk diperhatikan, terutama dengan adanya potensi kenaikan ARPU (average revenue per user) menjelang hari raya besar keagamaan.
Tim Analis Bareksa merekomendasikan investor untuk mempertimbangkan saham-saham di sektor konsumsi dan ritel sebagai bagian dari strategi investasi mereka. Sektor-sektor ini dinilai lebih tahan terhadap gejolak pasar dan memiliki potensi pertumbuhan yang stabil, terutama dalam situasi ekonomi yang tidak menentu.
Meskipun perang dagang global menciptakan tantangan, peluang tetap ada bagi investor yang mampu membaca tren pasar dengan cermat dan memilih instrumen investasi yang tepat.
Secara keseluruhan, ketegangan perdagangan global yang dipicu oleh kebijakan proteksionisme AS telah menciptakan gelombang ketidakpastian di pasar keuangan. Meskipun Indonesia belum menjadi target langsung dari kebijakan tarif baru AS, dampak tidak langsung melalui pelemahan rupiah dan tekanan pada pasar saham tetap perlu diwaspadai.
Dalam situasi ini, sektor konsumsi, ritel, dan telekomunikasi menawarkan peluang menarik bagi investor yang mencari stabilitas dan potensi pertumbuhan di tengah turbulensi pasar global.
Dalam perdagangan bursa hari ini, mengutip data Stockbit, saham ICBP tampak terpuruk, mencatatkan penurunan sebesar 2,39 persen atau 275 poin dan berakhir di level Rp11,225. Saham MYOR bahkan rontok hingga 4,90 persen atau setara dengan 120 poin. Pada penutupan perdagangan ini, harga jual saham MYOR merosot tajam ke level Rp2.330.
Setali tiga uang dengan ICBP dan MYOR, saham ACES pun berada di zona merah. Saham terkapar turun sebesar 4,58 persen atau setara dengan 38 poin dan membawanya masuk di level Rp730. Pun dengan saham MAPA yang ikut tidak bergairah usai terpangkas habis sebanyak 4,59 persen. Penurunan ini setara dengan 45 poin dengan harga akhir tertancap di level Rp935.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.