Logo
>

Sektor Perbankan: Tulang Punggung BEI, Magnet Investor (1)

Dari bank-bank besar berstatus BUKU IV seperti Bank Central Asia (BBCA), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), dan Bank Negara Indonesia (BBNI).

Ditulis oleh Yunila Wati
Sektor Perbankan: Tulang Punggung BEI, Magnet Investor (1)
Ilustrasi sektor perbankan jadi tulang punggung BEI. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Sektor perbankan telah lama menjadi pilar utama dalam pasar saham Indonesia. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham-saham bank mendominasi kapitalisasi pasar dan memainkan peran strategis dalam menggerakkan indeks-indeks utama seperti IHSG dan LQ45.

    Dari bank-bank besar berstatus BUKU IV seperti Bank Central Asia (BBCA), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), dan Bank Negara Indonesia (BBNI), hingga deretan bank menengah dan digital seperti CIMB Niaga (BNGA), OCBC NISP (NISP), hingga pemain digital seperti Bank Jago (ARTO) dan Bank Neo Commerce (BBYB), sektor ini menunjukkan keragaman dan kekuatan yang luar biasa.

    Kekuatan sektor perbankan bukan hanya terletak pada skala dan likuiditasnya, tetapi juga pada fondasi bisnis yang solid. Industri perbankan di Indonesia dikenal memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi, didorong oleh margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) yang menguntungkan, terutama dalam penyaluran kredit konsumsi dan pembiayaan UMKM. Hal ini memberikan stabilitas bagi investor, bahkan di tengah dinamika pasar yang fluktuatif.

    Lebih dari itu, bank memegang peran sentral dalam perekonomian nasional. Sebagai perantara finansial, bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit ke berbagai sektor produktif. Dengan begitu, kinerja bank sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Ketika ekonomi tumbuh, permintaan kredit meningkat, dan hal ini tercermin langsung dalam kinerja keuangan bank-bank besar.

    Menara BCA (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)
    Daya tarik lainnya dari saham perbankan adalah likuiditas yang tinggi. Saham seperti BBCA, BBRI, dan BMRI termasuk yang paling aktif diperdagangkan. Hal ini menjadikannya favorit investor institusi dan ritel. Investor besar cenderung menempatkan dana dalam saham-saham ini karena volume perdagangannya stabil dan risikonya lebih terukur dibanding sektor lain.

    Namun, dinamika perbankan Indonesia juga terus berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, tren digitalisasi telah menciptakan peluang baru yang menarik. Lahirnya bank digital seperti Bank Jago, Bank Neo Commerce, dan Bank Aladin Syariah menunjukkan bahwa sektor ini mampu beradaptasi dan bahkan menciptakan disrupsi positif dalam layanan keuangan. Bank digital dengan model bisnis yang efisien, basis pelanggan muda, dan penetrasi teknologi yang kuat berpotensi tumbuh pesat dalam jangka menengah hingga panjang.

    Dalam lanskap pasar modal Indonesia, sektor perbankan bukan hanya penopang utama, tetapi juga cerminan dari kemajuan ekonomi dan transformasi digital nasional. Baik bagi investor konservatif yang mencari stabilitas, maupun investor agresif yang mengejar pertumbuhan, saham-saham bank menawarkan spektrum peluang yang luas.

    Dengan memahami karakteristik masing-masing emiten, dari BBCA yang mapan hingga ARTO yang inovatif, investor dapat merancang strategi yang selaras dengan tujuan keuangannya.

    Transformasi Digital Dunia Perbankan

    Industri perbankan Indonesia tengah berada dalam fase transformasi besar-besaran. Di satu sisi, bank-bank besar konvensional terus mencetak laba dan mengokohkan posisinya sebagai fondasi ekonomi nasional. Di sisi lain, bank-bank digital terus mencuri perhatian dengan model bisnis yang agile dan menyasar generasi muda serta pelaku UMKM berbasis digital. Persaingan keduanya bukan sekadar soal angka, melainkan juga tentang kecepatan beradaptasi di tengah disrupsi teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat.

    Bank Jago (ARTO) menjadi contoh paling menonjol dari transformasi digital ini. Didukung oleh ekosistem digital GoTo, Bank Jago berhasil membukukan pertumbuhan laba bersih yang signifikan selama 2024.

    Strategi mereka fokus pada kolaborasi dengan aplikasi keuangan dan gaya hidup yang memungkinkan nasabah mengakses layanan perbankan langsung dari aplikasi sehari-hari seperti Gojek dan Tokopedia. Meski saham ARTO terkoreksi sekitar 10 persen sepanjang 2024 hingga November, kinerja keuangannya justru menunjukkan tren yang positif. Ini menjadi bukti bahwa investor mulai melihat fundamental jangka panjang, bukan hanya volatilitas harga jangka pendek.

    Berbeda dengan ARTO, Bank Neo Commerce (BBYB) juga tengah meniti jalan menuju profitabilitas. Setelah mencatat rugi bersih cukup besar di awal transformasi digitalnya, BBYB kini menunjukkan sinyal pemulihan dengan mulai menekan rugi dan menata ulang strategi pertumbuhan.

    Namun, sahamnya masih terkoreksi tajam hingga 43 persen sepanjang tahun. Meski begitu, optimisme tetap ada karena basis pengguna BBYB yang tergolong aktif di aplikasi Neo+ menunjukkan potensi monetisasi lebih lanjut.
    Logo Bank Jago
    Di sisi lain, Bank Raya Indonesia (AGRO), sebagai anak usaha digital milik BRI, justru menghadapi tekanan berat. Meski memiliki dukungan korporasi besar dan akses ke ekosistem BRI, AGRO belum berhasil mengonversi keunggulan tersebut menjadi pertumbuhan yang solid.

    Sahamnya turun lebih dari 21 persen hingga akhir 2024. Kondisi ini mencerminkan kekecewaan pasar atas lambannya kinerja keuangan yang tak sejalan dengan ekspektasi sebagai bank digital milik BUMN.

    Hal serupa dialami oleh Bank Aladin Syariah (BANK) dan Bank Amar Indonesia (AMAR). Keduanya mengusung model digital-first dan memiliki visi sebagai pelopor perbankan syariah dan inklusif.

    Namun tekanan pada bottom line, tingginya biaya akuisisi nasabah, dan belum efisiennya monetisasi membuat harga saham mereka anjlok lebih dari 30 persen sepanjang tahun. Dalam dunia startup, mereka mungkin bisa disebut sebagai "challenger banks" yang masih dalam tahap validasi model bisnis.

    Sementara itu, di tengah gejolak bank digital, raksasa-raksasa perbankan seperti BCA (BBCA) dan BRI (BBRI) tetap melaju mantap. BBCA dengan strategi konservatifnya mencetak laba bersih Rp41,07 triliun dengan efisiensi operasional yang luar biasa (cost of credit hanya 0,2 persen).

    BBRI, meski menghadapi tantangan dari tingginya risiko kredit mikro (CoC 3,3 persen), tetap mencatat laba konsolidasi Rp60,64 triliun dan menjadi juara dalam penyaluran kredit UMKM. Keduanya tak tinggal diam dalam arus digitalisasi. BBCA agresif mengembangkan fitur digital banking seperti myBCA, sementara BRI membangun super app BRImo dengan jutaan pengguna aktif.

    Persaingan antara bank digital dan bank konvensional pun menjadi semacam cerminan dari ekonomi digital Indonesia: yang satu menawarkan ketangkasan dan inovasi, yang lain memberikan stabilitas dan kepercayaan. Di masa depan, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan konsolidasi, merger, atau bahkan kolaborasi antara dua kubu ini untuk membentuk lanskap keuangan yang lebih inklusif, efisien, dan berbasis teknologi.

    Jika investor ingin bermain aman dengan pertumbuhan stabil dan likuiditas tinggi, saham-saham seperti BBCA dan BBRI tetap menjadi pilihan utama. Namun bagi mereka yang ingin mengambil risiko lebih besar demi potensi imbal hasil tinggi, saham-saham seperti ARTO dan BBYB bisa menjadi pertaruhan menarik dalam jangka menengah hingga panjang.

    Kuncinya adalah memahami fundamental bisnis masing-masing dan memperhatikan arah regulasi, teknologi, serta preferensi konsumen muda yang akan membentuk masa depan industri perbankan Indonesia.

    Raksasa Dunia Perbankan
    Gedung Bank Rakyat Indonesia atau BBRI. Dok: BBRI
    Dalam lanskap perbankan Indonesia, dua raksasa yang selalu menjadi pusat perhatian investor adalah Bank Central Asia (BBCA) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI). Keduanya bukan hanya berperan penting dalam sistem keuangan nasional, tetapi juga menjadi andalan di pasar modal Indonesia, dengan kapitalisasi pasar yang luar biasa besar dan kontribusi signifikan terhadap indeks saham utama seperti IHSG dan LQ45.

    BBCA, dengan reputasi sebagai bank swasta terbesar dan paling efisien di Indonesia, kembali mencatatkan kinerja yang impresif sepanjang 2024. Laba bersih BBCA mencapai Rp41,07 triliun, tumbuh 12,77 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini tidak hanya mencerminkan ekspansi kredit yang sehat, tetapi juga keberhasilan dalam menjaga efisiensi.

    Hal ini terlihat dari rendahnya Cost of Credit (CoC) sebesar 0,2 persen. Portofolio kredit BBCA didominasi oleh segmen korporasi (46 persen) dan konsumer (24,12 persen), yang umumnya memiliki risiko lebih terukur dibandingkan sektor mikro.

    Di sisi lain, BBRI sebagai bank milik negara terbesar menunjukkan kekuatan utamanya dalam sektor mikro dan UMKM. Laba bersih konsolidasi BBRI pada 2024 mencapai Rp60,64 triliun, naik tipis 0,82 persen YoY. 

    Meskipun pertumbuhan ini lebih moderat dibandingkan BBCA, skala bisnis BBRI yang sangat besar—terutama dalam pembiayaan segmen mikro—menjadi kekuatan unik yang tidak dimiliki bank lain. Namun, pendekatan ini juga membawa tantangan tersendiri. CoC BBRI tercatat jauh lebih tinggi di angka 3,3 persen, mencerminkan kebutuhan pencadangan yang lebih besar karena risiko kredit mikro yang relatif lebih tinggi.

    Secara valuasi, BBCA masih memimpin dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp1.134 triliun dan harga saham di kisaran Rp9.050 per lembar. Sementara itu, BBRI berada di posisi kedua dengan kapitalisasi pasar Rp631,67 triliun dan harga saham sekitar Rp4.100. 

    Perbedaan ini mencerminkan persepsi pasar terhadap efisiensi dan stabilitas BBCA yang lebih tinggi, meskipun BBRI unggul dari sisi jangkauan dan inklusi keuangan.

    Dari sisi investor, BBCA menjadi pilihan bagi mereka yang mencari stabilitas, pertumbuhan jangka panjang, dan eksposur terhadap segmen premium perbankan. Sementara BBRI menawarkan potensi yang kuat bagi investor yang percaya pada kekuatan sektor UMKM dan kemampuan bank ini untuk terus menumbuhkan basis nasabah mikro di seluruh Indonesia.

    Keduanya mencerminkan dua wajah sukses perbankan Indonesia: satu melalui efisiensi dan teknologi, dan satu lagi melalui keberpihakan pada ekonomi rakyat. Menempatkan keduanya dalam portofolio bisa menjadi strategi seimbang bagi investor yang ingin merangkul pertumbuhan ekonomi Indonesia dari berbagai sisi.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79