Logo
>

Senjakala Industri Batu Bara

Ditulis oleh KabarBursa.com
Senjakala Industri Batu Bara

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Berdasarkan studi yang dirilis Greenpeace East Asia beberapa waktu lalu, menyebut bahwa negara terbesar pengguna batu bara dunia, Tiongkok, mulai mengurangi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di tahun 2024.

    Langkah ini, dinilai sebagai pertanda menurunnya minat dunia terhadap komoditas batu bara. Hal tersebut sejalan dengan gerakan kolektif internasional dalam mendorong capaian net zero emission pada tahun 2050.

    Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyebut, tak hanya Tiongkok yang mulai mengurangi penggunaan batu bara, melainkan juga negara-negara eropa barat. Sebagian besar, negara-negara tersebut mulai melakukan transisi menggunakan energi bersih yang ramah lingkungan.

    "Meskipun waktu perang Rusia-Ukrania kan tergabung dan kembali lagi ke batu bara. Tapi itu karena temporary saja sifatnya. Nah, Tiongkok saya kira melakukan hal yang sama juga. Meskipun dia produsen dan juga konsumen terbesar batu bara," kata Fahmy saat dihubungi Kabar Bursa, Senin, 26 Agustus 2024.

    Sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar, Fahmy menilai Tiongkok mulai meninggalkan penggunaan batu bara besar-besaran. Menurutnya, penggunaan batu bara di Tiongkok dilakukan hanya untuk menekan biaya produksi di sektor industri.

    "Sebelumnya hampir semua pembangkitnya itu menggunakan Batu Barat karena memang production cost-nya itu lebih murah. Tetapi sama dengan negara lain, Cina juga sudah mulai meninggalkan batu bara," jelasnya.

    Fahmi menilai, menurunnya minat internasional terhadap batu bara menandai industri tersebut mulai memasuki usia senja. Pada akhirnya, kata dia, batu bara akan mengalami sunset industri.

    "Maka saya prediksikan batu barat ini sudah akan semakin menurun prospeknya. Bahkan saya menyebutnya sebagai sunset industri. Pada saatnya dia akan ditinggalkan," ungkapnya.

    Ancam Kinerja Ekspor RI?

    Memgacu data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekspor batu bara berangsur mengalami penurunan baik secara bulanan (month-to-month/mtm) maupun tahunan (year-on-year/yoy). Nilai ekspor batu bara sendiri tercatat mencapai USD 2,49 miliar, turun 0,07 persen dari bulan sebelumnya, sedangkan secara tahunan turun 2,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Fahmy menilai, komoditas batu bara akan mengalami penurunan minat dari sisi investasi. Hal itu ditandai dengan menurunnya penggunaan batu bara di Tiongkok. Diketahui, Tiongkok sendiri menjadi salah satu negara terbesar tujuan ekspor batu bara Indonesia setelah India.

    Fahmy memprediksi, minat investasi batu bara akan menurun signifikan lima tahun ke depan. Selama Tiongkok masih menggunakan batu bara secara besar-besaran, kata dia, kinerja ekspor komoditas tersebut akan terus stabil.

    "Tapi setelah lima tahun, kalau Cina sudah mengganti semua pembangkitnya dengan energi bersih, maka pada saat itulah permintaan batu bara dari Indonesia akan menurun. Dan pada saatnya batu bara akan menjadi sunset industri, industri yang kemudian tenggelam, nggak bisa lagi diharapkan," tutupnya.

    Tiongkok Kurangi Pembangunan PLTU Batu Bara

    Dituliskan, Tiongkok dikabarkan mengurangi jumlah izin pembangunan PLTU Batu Bara hingga 79,5 persen di tahun 2024. Adapun hal itu terungkap berdasarkan studi yang dilakukan Greenpeace East Asia beberpa waktu lalu.

    Dalam studinya, Greenpeace meninjau dokumen persetujuan proyek pembangunan PLTU untuk mengidentifikasi 14 proyek yang telah ditargetkan pemerintah Tiongkok dalam enam bulan pertama tahun 2024, dengan kapasitas gabungan sebesar 10,34 GW, penurunan 79,5 persen dari total persetujuan dalam 50,4 GW yang disetujui di semester pertama 2023.

    Salah satu tren yang dinilai Greenpeace mengkhawatirkan yakni 71,4 persen dari persetujuan baru tahun 2024 adalah fasilitas PLTU batubara dengan kapasitas pembangkitan di atas 660 megawatt (MW), melanjutkan tren yang pada tahun 2023, yakni sebesar 70,73 persen proyek baru pada tahun 2023 berada di atas 1 GW.

    Pimpinan Greenpeace East Asia, Gao Yuhe menuturkan, Tiongkok sejauh ini berangsur mengurangi penggunaan batubara sejak tahun 2024. Hal itu dilakukan seiring dengan perluasan pemanfaatan tenaga angin dan surya yang terus dilakukan Tiongkok.

    “Sejak tahun 2022, kami melihat tren yang mengkhawatirkan dari peningkatan persetujuan batu bara meskipun pertumbuhan energi terbarukan seharusnya menggantikan batu bara. Kita sekarang mungkin melihat titik balik. Satu pertanyaan tetap ada di sini. Apakah provinsi-provinsi Tiongkok memperlambat persetujuan batubara karena mereka telah menyetujui begitu banyak proyek batubara selama periode rencana lima tahun ini? Atau apakah ini napas terakhir tenaga batu bara dalam transisi energi yang telah membuat batubara menjadi semakin tidak praktis?” kata Gao dalam keterangan tertulisnya. Minggu 25 Agustus 2024.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi