KABARBURSA.COM - Libur panjang bukan berarti pasar keuangan ikut tertidur. Saat mayoritas pelaku pasar dalam negeri rehat sejenak karena Nyepi dan Idulfitri, pelaku global justru mengatur langkah, menyusun strategi. Kini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi dibuka merosot pada Selasa, 8 April 2025, diseret oleh kombinasi tekanan eksternal dan manuver dana asing yang sudah mengambil posisi sejak dini.
Penyebab utama tekanan datang dari pengumuman Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia. Kabar ini datang di saat pasar domestik belum sepenuhnya aktif, memberi waktu bagi investor global untuk menyusun strategi arbitrase.
Meski begitu, bukan berarti IHSG sepenuhnya tanpa penopang. Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, menilai libur panjang justru memberi ruang bagi efek arbitrase kalender untuk memperlambat tekanan dalam jangka pendek.
“Di bursa kalau libur lama ada keuntungan arbitrase yang disebut T+. Gesernya kalender bursa kita (Indonesia) dengan bank kustodian global jadi memang menolong,” kata Yanuar saat dihubungi Kabarbursa.com, Senin, 7 April 2025.
Menurutnya, gap waktu antara aktivitas bursa lokal dan global menciptakan peluang teknikal bagi pelaku arbitrase, terutama hedge fund, untuk mengejar cuan cepat. Pasar yang tidak seimbang secara waktu transaksi dan likuiditas adalah ladang ideal bagi strategi semacam ini.
Yanuar menyebut skenario ini bukan hal baru dalam sejarah pasar modal Indonesia. Ia menyinggung praktik arbitrase ilegal T+ di luar bursa pada 2002 yang sempat menimbulkan kekacauan. Bedanya, saat itu regulator bertindak.
“Sekarang aturan kita sudah apa saja boleh, halting cuma kalau circuit breaker kena. Jangankan harap penegakan hukum, press conference penjelasan dari OJK saja enggak ada,” ujarnya tajam.
Ia membandingkan situasi sekarang dengan respons Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono di masa lalu, yang berani melakukan inspeksi langsung ke ruang treasury bank saat pasar bergejolak. Menurut Yanuar, ketegasan seperti itu sudah langka hari ini.
Pasar valuta asing menguatkan sinyal kekhawatiran. Nilai tukar USD/IDR di pasar spot melonjak hingga menembus Rp17.250 pada Senin, 7 April 2025, naik 505 poin atau 3,02 persen hanya dalam sehari. Depresiasi tajam ini terjadi di tengah sepinya aktivitas domestik.
Data forward rate USD/IDR menunjukkan proyeksi pelemahan rupiah masih akan berlanjut. Tenor forward 1 minggu tercatat 33 poin di atas spot, dan forward 1 bulan stabil di level 60 poin. Namun tekanan signifikan muncul di tenor lebih panjang:
- Forward 6 bulan: 225 poin
- Forward 1 tahun: 460 poin
- Forward 2 tahun: 1.001 poin (spread bid-ask mencapai 511 poin)
Bahkan muncul anomali di tenor 8 bulan, di mana bid dan ask berada di wilayah negatif (-131 dan -58), namun mid-price justru melonjak ke 284 poin. Ini mencerminkan potensi dislokasi likuiditas atau intervensi tidak biasa.
“Kenaikan IHSG menjelang libur lebaran adalah hasil dari posisi short asing. Mereka buka harga jual terbaik saat pasar dibuka, lalu average down di saham sambil average up di USD,” jelas Yanuar.
Sementara itu, investor domestik—khususnya ritel—berisiko terjebak dalam dinamika ini. Banyak yang menunggu cum date dividen dari saham perbankan BUMN, tapi strategi asing bisa membalikkan ekspektasi.
“Retail bisa dipancing lepas kalau asing justru tekan harga ke bawah, apalagi yang motifnya short setelah terima dividen. Ketika harga jatuh, asing bisa masuk lagi dengan yield dividen besar,” terang Yanuar.
Dengan spread NDF yang terus melebar, Bank Indonesia pun terjebak dalam dilema: mempertahankan stabilitas rupiah atau menjaga cadangan devisa. Jika BI melepas dolar terlalu agresif, pihak asing bisa mengunci untung dari posisi NDF mereka.
“Jadi dilihat saja pancing-memancing pakai saham, BI ditekan lepas valas murah,” tambah Yanuar.
Pasar hari ini bukan soal siapa paling cepat, tapi siapa yang bisa bertahan dalam permainan panjang. NDF tenor 4 bulan hingga 2 tahun sudah aktif dengan bid-ask yang riuh—menandakan bahwa skenarionya bukan sprint, tapi maraton.
“Isu besar adalah ketidakpastian, dan itulah kenapa hedge fund senang ketidakpastian, doyan isu,” tegas Yanuar.
Dengan kata lain, pasar pascalibur ini bukan sekadar pemulihan volume atau euforia balik dari mudik. Ini soal bagaimana pelaku besar—asing maupun domestik—bermain di tengah noise, memanfaatkan jeda informasi, dan mengeksekusi strategi dengan presisi teknikal.
Tulisan ini bertujuan membuka kembali ruang diskusi soal pentingnya pemantauan mikrostruktur pasar, serta keterbukaan informasi dari regulator dalam periode tekanan tinggi. Ketika volatilitas meningkat, yang dibutuhkan bukan sekadar intervensi teknis—tetapi transparansi dan ketegasan arah kebijakan. (*)