KABARBURSA.COM - Perekrutan pegawai di Amerika Serikat melemah pada bulan Agustus, jauh di bawah ekspektasi sebelumnya, setelah data penggajian Juli mengalami revisi ke bawah.
Perkembangan ini semakin memicu perdebatan panas terkait seberapa besar Federal Reserve (The Fed) perlu menurunkan suku bunga untuk menghadapi kondisi ekonomi saat ini.
Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja yang dirilis Jumat 6 September 2024 menunjukkan kenaikan dalam penggajian non-pertanian hanya sebesar 142.000, sementara dua bulan sebelumnya telah direvisi ke bawah.
Tingkat pengangguran mengalami penurunan menjadi 4,2 persen, yang merupakan penurunan pertama dalam lima bulan terakhir. Sementara itu, pendapatan rata-rata per jam naik sebesar 0,4 persen.
Penurunan ini memperbesar spekulasi bahwa para pejabat Federal Reserve mungkin harus memangkas suku bunga hingga setengah poin persentase pada pertemuan mendatang demi melindungi ekonomi dari melemahnya laju perekrutan.
Imbal hasil Treasury pun turun, sementara kontrak berjangka S&P 500 tetap berada di zona merah, dan nilai dolar terus merosot.
Laporan lain juga menunjukkan tanda-tanda pelemahan di pasar tenaga kerja. Meski gelombang PHK mulai mereda, banyak perusahaan masih memilih menahan diri dari rencana ekspansi, terhambat oleh tingginya biaya pinjaman serta ketidakpastian menjelang pemilihan presiden mendatang.
Laporan The Fed tentang bisnis regional, yang diterbitkan pada Rabu, mengungkapkan bahwa para pemberi kerja kini lebih selektif dalam merekrut, beberapa bahkan mengurangi jam kerja dan membiarkan posisi kosong tidak terisi.
Perekrutan terbesar datang dari sektor kesehatan dan bantuan sosial, diikuti oleh konstruksi dan pemerintah. Indeks difusi, yang mengukur penyebaran pertumbuhan pekerjaan, juga menunjukkan peningkatan.
Namun, tingkat partisipasi tenaga kerja persentase populasi yang bekerja atau aktif mencari pekerjaan—masih stagnan di angka 62,7 persen pada bulan Agustus. Pekerja usia produktif, yakni mereka yang berusia antara 25 hingga 54 tahun, turun sedikit untuk pertama kalinya sejak Maret.
Krisis Tenaga Kerja
Amerika Serikat, salah satu negara terkaya di dunia, kini dihadapkan pada fenomena mengejutkan: maraknya pekerja anak ilegal.
Sejak 2022 lalu, hampir 4.000 anak ditemukan bekerja secara ilegal oleh inspektur federal angka tertinggi sejak Departemen Tenaga Kerja AS mulai mencatat data ini pada 2013, ketika 1.400 anak ditemukan dalam kondisi serupa.
Lonjakan ini tidak hanya tak terduga, tetapi juga mengejutkan para peneliti yang telah lama memantau isu pekerja anak. “Saya tidak pernah membayangkan, setelah tiga dekade meneliti pekerja anak di negara-negara miskin, saya harus kembali fokus pada masalah ini di AS," ujar Eric Edmonds, ekonom dan profesor di Dartmouth College.
Pekerja anak memiliki daya tarik tersendiri bagi perusahaan. Di beberapa negara bagian, undang-undang mengizinkan anak di bawah umur dibayar separuh dari upah minimum orang dewasa. Tekanan untuk mengesahkan undang-undang serupa kini semakin kuat, didorong oleh pelobi profesional di Washington.
Perubahan peraturan pekerja anak di negara bagian Iowa, yang berlaku sejak 1 Juli, justru memperluas jenis pekerjaan dan jam kerja yang diizinkan bagi remaja. Iowa kini menjadi salah satu negara bagian yang memberlakukan kebijakan bertentangan dengan mandat federal terkait perlindungan anak.
Survei dari Economic Policy Institute di Washington DC pada Mei menemukan bahwa setidaknya 14 dari 50 negara bagian telah mempertimbangkan pelonggaran aturan pekerja anak dalam dua tahun terakhir. Delapan negara bagian bahkan telah menyetujuinya.
Contoh aturan tersebut termasuk mengizinkan anak berusia 14 tahun bekerja sif malam hingga enam jam, atau melibatkan mereka dalam pekerjaan berat seperti di laundry industri. Di beberapa negara bagian, remaja usia 16 tahun boleh bekerja di bidang berisiko tinggi seperti pemrosesan daging, atau bahkan menyajikan alkohol di bar—meski mereka belum cukup umur untuk membelinya.
Namun, aturan ini bertentangan dengan hukum nasional yang membatasi anak-anak usia 14 dan 15 tahun untuk bekerja maksimal tiga jam sehari selama jam sekolah, dan melarang mereka bekerja setelah pukul tujuh malam. UU nasional juga melarang anak-anak bekerja di sektor berbahaya seperti konstruksi sipil atau pengepakan makanan.
Meski banyak yang mengira eksploitasi pekerja anak sudah menjadi sejarah, kenyataannya masalah ini semakin parah. Pada tahun lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan peningkatan 69 persen kasus pekerja anak dibandingkan 2018, dan pada Februari 2023 mereka telah menangani setidaknya 600 kasus.
Salah satu kasus terbesar di bulan Februari menemukan bahwa lebih dari 100 anak migran, beberapa berusia 13 tahun, telah dipekerjakan secara ilegal untuk membersihkan rumah potong di berbagai negara bagian.
“Kita mungkin berpikir ini masalah abad ke-19, tapi ini adalah realitas yang terjadi saat ini,” kata Marty Walsh, Menteri Tenaga Kerja AS, dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada 27 Februari.
Tingkat pengangguran di AS pada April 2024 hanya 3,4 persen, terendah dalam lima dekade. Pada Juni, tercatat hampir 340.000 pekerjaan baru terbuka, menandakan bahwa kebutuhan tenaga kerja di AS hampir terpenuhi. Namun, kekurangan tenaga kerja tetap menjadi masalah krusial, diperparah oleh kebijakan ketat terhadap imigrasi.
Anak-anak migran tanpa pendamping yang melintasi perbatasan AS dari Meksiko terus meningkat. Pada 2021, hampir 139.000 anak ditahan setelah menyeberangi perbatasan tanpa izin, dan 128.000 anak lagi menyusul pada 2022. Setelah ditahan, anak-anak ini ditransfer ke penampungan, sebelum dibebaskan kepada sponsor, yang idealnya adalah keluarga atau kerabat.
Namun, sekitar 12-14 persen dari anak-anak yang dibebaskan pada 2021 dan 2022 berakhir di tangan sponsor yang bukan keluarga dekat, berdasarkan audit Kantor Pemukiman Kembali Pengungsi.
Menurut pengacara imigrasi anak yang berbicara dengan BBC, banyak dari anak-anak ini berakhir bekerja di sektor yang rentan eksploitasi. "Mereka biasanya direlokasi ke keluarga miskin yang menghadapi kesulitan ekonomi, dan tak memiliki dokumen imigrasi. Tidak mengherankan jika banyak dari mereka akhirnya bekerja," ujar seorang pengacara anonim.
Para ahli berpendapat bahwa anak-anak migran ini telah menjadi sasaran empuk bagi industri yang kekurangan tenaga kerja. Menurut Chavi Keeney Nana, profesor di University of Michigan, korporasi telah mengidentifikasi anak-anak ini sebagai tenaga kerja murah yang bisa dieksploitasi.
“Perusahaan menyadari bahwa denda atas pekerja anak ilegal masih lebih kecil daripada keuntungan yang mereka peroleh dengan merekrut pekerja rentan yang tidak memiliki kemampuan untuk menuntut hak mereka," tegasnya. Di tengah peningkatan bukti terkait pekerja anak, banyak negara bagian malah meloloskan undang-undang yang memudahkan eksploitasi anak daripada melindungi mereka. (*)