Logo
>

Sri Mulyani Bicara Soal Roller Coaster sampai Perang Dagang

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Sri Mulyani Bicara Soal Roller Coaster sampai Perang Dagang

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Sri Mulyani Indrawati bercerita tentang pengalamannya selama menjadi Menteri Keuangan (Menkeu) alias bendahara negara. Menurut dia tidaklah mudah.

    Mantan Direktur World Bank ini mengibaratkan menjadi Menkeu sama seperti sedang naik roller coaster, apalagi mengelola anggaran negara di tengah ketidakpastian global.

    Kata dia, tantangan terbesar adalah menghadapi fluktuasi harga komoditas yang sangat dipengaruhi oleh sentimen global.

    "Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana volatilitas itu seperti roller coaster. Saya tidak berani main roller coaster karena setiap hari sudah menghadapi roller coaster di APBN," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Badan Anggaran, Selasa, 4 Juni 2025.

    Dia mengungkapkan salah satu volatilitas yang paling menegangkan adalah terkait harga minyak. Lonjakan harga minyak sering kali terjadi secara tak terduga, tidak hanya pada tahun 2022 lalu. Dia mencatat bahwa pada tahun 2010 harga minyak dunia pernah naik signifikan, namun pada tahun 2016 turun ke titik terendah pada saat itu.

    "Pada tahun 2010, harga minyak dunia pernah naik signifikan, namun pada tahun 2016 turun ke titik terendah pada saat itu. Namun, pada tahun 2014, harga minyak telah mencapai USD115 per barel. Saat itu, bank investasi Goldman Sachs bahkan memprediksi harga minyak bisa menembus USD250 per barel," jelasnya.

    "Saya ingat sekali, pada 2014 Goldman Sachs pernah mengatakan harga minyak mungkin tembus USD250. Harga minyak naik terus sejak 2010, dari USD80 menjadi di atas USD100 per barel, dan bertahan di atas USD100 selama lebih dari tiga tahun. Tiba-tiba, harga minyak jatuh sangat dalam, bahkan mencapai USD28 pada tahun 2016," sambungnya.

    Tidak berhenti sampai di situ, Sri Mulyani menceritakan pada tahun 2020, saat pandemi COVID-19 melanda dunia, harga minyak turun ke level terendah dalam sejarah, lebih rendah dari pada tahun 2016. Semua aktivitas ekonomi terhenti, tidak ada kegiatan produksi yang berlangsung.

    "Jatuh lagi pada 2020, pandemi membuat harga minyak mencapai level terendah dalam lima dekade yaitu USD23 per barel. Angka USD23 ini adalah harga minyak pada saat sebelum perang Iran tahun 1970-an," jelasnya.

    Namun, dalam kurun waktu dua tahun, harga minyak dunia kembali naik signifikan karena perang Rusia-Ukraina pada tahun 2022, bahkan sempat menembus USD120 per barel, padahal asumsi APBN hanya USD60-an per barel.

    "Kemudian, dalam kurang dari dua tahun, harga minyak naik lagi menjadi USD120 karena perang Ukraina dan Rusia, lalu turun lagi menjadi USD65, dan kemudian naik lagi menjadi USD90," papar Sri Mulyani.

    Sampai saat ini, harga minyak dunia terus bergejolak tanpa ada yang bisa memprediksi dengan pasti bagaimana ke depannya. Hal ini menjadi perhatian utama karena sangat mempengaruhi postur APBN dan stabilitas ekonomi nasional.

    "Kenaikan dan penurunan harga seperti ini jelas mempengaruhi APBN kita dan ekonomi kita secara keseluruhan," ucapnya.

    Perang Dagang

    Di kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di dunia saat ini tidak hanya terbatas pada perang militer, melainkan juga mencakup perang dagang.

    Ketegangan geopolitik yang semakin meningkat telah memicu eskalasi signifikan dalam perdagangan global, mencerminkan kompleksitas dan kerentanannya terhadap dinamika politik.

    "Perang yang terjadi saat ini bukan hanya perang militer, tetapi juga perang dagang yang eskalasinya luar biasa," kata Sri Mulyani.

    Dia menjelaskan bahwa jumlah restriksi perdagangan yang diterapkan atau diberlakukan antar negara terus meningkat, terutama antara blok Amerika dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dia merinci bahwa sejak 2019, ada 982 pembatasan perdagangan baru yang muncul. Jumlah ini terus meningkat menjadi 2.491 pada 2021, 2.845 pada 2022, dan mencapai 3.000 pembatasan pada 2023, dengan nilai ekonomi yang signifikan.

    "Nilainya tidak main-main. Misalnya, tarif yang diberlakukan oleh pemerintah Presiden Biden kepada produk Electric Vehicle dari China mencapai empat kali lipat, artinya tarif yang dikenakan mencapai 100 persen," jelas Sri Mulyani.

    Menurutnya, kondisi ini menimbulkan disrupsi yang signifikan dalam perdagangan global. Di sisi lain, negara-negara di seluruh dunia kini mengadopsi kebijakan industri yang sebelumnya dianggap tabu.

    "Sekarang, kebijakan industri menjadi praktik yang normal. Semua negara memberlakukan kebijakan industri untuk mengamankan keamanan ekonomi dan industri mereka masing-masing," tambahnya.

    Sebagai contoh, Sri Mulyani menyebutkan kebijakan Chip Act atau Undang-Undang Semikonduktor dan Inflation Reduction Act (IRA) di Amerika Serikat (AS).

    "Meski dari namanya tampak seperti kebijakan untuk menurunkan inflasi, sebenarnya aturan tersebut bertujuan untuk mengembalikan investasi asing dari negara lain, terutama China, kembali ke AS," jelasnya.

    Dia juga menekankan pentingnya langkah-langkah ini dalam mengamankan rantai pasok untuk industri-industri strategis seperti semikonduktor dan kendaraan listrik.

    "Tujuannya adalah untuk men-secure (mengamankan) supply chain atau rantai pasok untuk industri-industri strategis seperti chip dan electric vehicle," tegas Sri Mulyani.

    Dengan demikian, dinamika perdagangan global saat ini menunjukkan bagaimana kebijakan nasional bisa memiliki dampak luas dan beragam pada ekonomi internasional, mencerminkan pentingnya koordinasi dan kerjasama antar negara untuk menghadapi tantangan bersama. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.