Logo
>

Strategi Mengamankan Cuan di Puncak Siklus Bitcoin

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Strategi Mengamankan Cuan di Puncak Siklus Bitcoin

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menjual Bitcoin itu ibarat bahas politik di grup keluarga—selalu debatable. Ada yang memilih menyimpan saja sampai tua, ada juga yang strategis ambil untung di momen tertentu. Tapi kalau niat memang buat mengejar profit di siklus ini, harus ada rencana matang. Toh, sejarahnya Bitcoin sering mengalami penurunan harga 70-80 persen setelah puncaknya. Artinya, ada peluang buat beli lagi di harga lebih murah setelah koreksi.

    Ada penganut ajaran never sell Bitcoin macam Michael Saylor, tapi tak semua orang punya privilese mengantongi miliaran dolar seperti dia. Buat investor biasa atau ritel, ambil sebagian untung bisa kasih fleksibilitas dan ketenangan finansial.

    Misal, kalau Bitcoin tembus USD250.000 (Rp4 miliar) terus kena koreksi 60 persen—yang masih terbilang wajar—harganya bisa balik ke USD100.000 (Rp1,6 miliar). Nah, kalau sudah sempat jual di harga tinggi, investor bisa beli lagi di harga lebih murah.

    Intinya bukan jual semua aset, tapi mencicil keluar di harga strategis biar cuan maksimal dan risiko tetap terjaga. Tak perlu panik, cukup pakai data dan strategi yang jelas. Tapi kalau investor tetap mau hold sampai kiamat, silakan.

    Kapan Waktu yang Tepat?

    Dilansir dari Bitcoin Magazine di Jakarta, Sabtu, 1 Februari 2025, ada beberapa alat bantu buat nentuin kapan momen yang pas buat jual:

    1. Active Address Sentiment Indicator (AASI)

    Indikator ini membandingkan aktivitas jaringan Bitcoin dengan pergerakan harga. Dia mengukur deviasi antara harga (garis oranye) dengan aktivitas jaringan (band hijau dan merah).

    [caption id="attachment_117108" align="alignnone" width="700"] Grafik Bitcoin Active Address Sentiment Indicator (AASI) menunjukkan beberapa sinyal puncak yang menandai peluang pengambilan keuntungan. Garis hitam menggambarkan pergerakan harga Bitcoin, sementara garis kuning mencerminkan perubahan harga dalam 28 hari. Titik-titik merah menunjukkan momen ketika indikator AASI memberikan sinyal bahwa harga Bitcoin telah mencapai puncak lokal dan memberikan kesempatan bagi investor untuk keluar dari pasar sebelum terjadi koreksi signifikan.[/caption]

    Contohnya, di bull run 2021, sinyal jual muncul saat harga Bitcoin melebihi band merah. Waktu itu, ada sinyal keluar di harga USD40.000, USD52.000, USD58.000, dan USD63.000. Semua titik ini jadi peluang buat jual bertahap sebelum pasar mulai overheat dan anjlok.

    2. Fear and Greed Index

    Indikator yang satu ini simpel tapi ampuh buat mengukur euforia atau kepanikan pasar. Nilai di atas 90 menunjukkan keserakahan ekstrem—sering jadi tanda bakal ada koreksi. Contoh paling jelas di 2021, waktu Bitcoin melonjak dari USD3.000 ke USD14.000 (Rp48 juta ke Rp224 juta), indeks ini menyentuh 95 dan benar saja, tak lama kemudian harga rontok.

    [caption id="attachment_117106" align="alignnone" width="1179"] Fear & Greed Index menunjukkan pertama kali indeks ini menyentuh nilai di atas 90 setelah bear market menandai puncak lokal yang akurat. Warna pada grafik mencerminkan tingkat euforia dan ketakutan pasar, di mana hijau menunjukkan optimisme tinggi dan merah mencerminkan kepanikan. Titik tertinggi dalam grafik ini bertepatan dengan lonjakan harga Bitcoin sebelum koreksi besar.[/caption]

    Jadi, intinya, jual Bitcoin itu bukan jalan yang salah. Yang penting adalah tahu kapan dan bagaimana cara mainnya. Jangan sampai keburu FOMO atau malah menyesal karena terlalu lama menunggu.

    3. Short-Term Holder MVRV

    [caption id="attachment_117109" align="alignnone" width="700"] Grafik Bitcoin Short Term Holder MVRV menunjukkan titik-titik pembalikan penting yang telah menandai puncak lokal dan utama. Garis hitam menggambarkan pergerakan harga Bitcoin, sementara indikator MVRV jangka pendek (ditampilkan dalam warna hijau dan merah) menunjukkan area di mana pasar mulai memasuki zona jenuh beli. Garis putus-putus merah menandai ambang batas di mana pasar sering kali mengalami koreksi setelah lonjakan spekulatif. Indikator ini digunakan untuk mengidentifikasi momen ketika keuntungan belum direalisasi oleh pemegang jangka pendek telah mencapai tingkat yang biasanya mendahului puncak pasar.[/caption]

    Indikator ini mengukur untung atau rugi rata-rata pemegang Bitcoin jangka pendek dengan membandingkan harga beli mereka dengan harga saat ini. Biasanya, kalau profit mereka sudah sekitar 33 persen, sering kali pasar mulai balik arah atau setidaknya terjadi koreksi kecil. Nah, kalau keuntungan yang belum direalisasikan tembus 66 persen, itu pertanda pasar sudah kepanasan dan bisa jadi sudah deket dengan puncak siklus utama.

    4. Bitcoin Funding Rates

    [caption id="attachment_117110" align="alignnone" width="700"] Grafik Bitcoin Funding Rates menunjukkan tingkat pendanaan dalam pasar derivatif Bitcoin yang dibayarkan setiap 8 jam. Dengan tingkat pendanaan sebesar 0,1 persen per 8 jam, akumulasi tahunan mencapai 109,5 persen—angka yang dianggap tidak berkelanjutan dalam jangka panjang. Garis hitam menunjukkan pergerakan harga Bitcoin, sementara batang hijau dan merah mencerminkan tingkat pendanaan positif dan negatif. Lonjakan signifikan pada funding rates sering kali mengindikasikan kondisi pasar yang terlalu optimistis yang bisa diikuti oleh koreksi harga.[/caption]

    Indikator ini memberikan gambaran seberapa besar premi yang dibayar para trader buat tetap pegang posisi leverage di pasar futures. Kalau funding rate terlalu tinggi, artinya ada kebanyakan orang yang optimistis berlebihan. Biasanya, kondisi seperti gini justru sering diikuti dengan koreksi harga. Makanya, kadang strategi lawan arus alias counter-trading bisa kasih keuntungan.

    5. Crosby Ratio

    [caption id="attachment_117111" align="alignnone" width="1179"] Grafik Bitcoin Crosby Ratio menunjukkan bagaimana momentum pasar yang terlalu optimistis sering kali menandai puncak harga Bitcoin dalam suatu siklus. Garis hitam merepresentasikan harga Bitcoin, sementara garis oranye menunjukkan pergerakan Crosby Ratio---indikator berbasis momentum yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi pasar yang mulai jenuh beli. Area merah di bagian atas grafik mengindikasikan zona overbought, di mana Bitcoin telah mengalami kenaikan signifikan dan berpotensi mengalami koreksi. Beberapa titik puncak harga (ditandai dengan panah hitam) terjadi ketika Crosby Ratio memasuki zona merah, mengindikasikan kondisi pasar yang terlalu bullish.[/caption]

    Ini indikator berbasis momentum yang bisa memberi sinyal kalau pasar sudah terlalu panas. Kalau rasio ini masuk zona merah di grafik harian—atau bahkan di time frame yang lebih kecil di TradingView—sering kali itu jadi pertanda bakal ada pembalikan arah. Nah, kalau sinyal ini muncul berbarengan dengan indikator lain yang menunjukkan puncak pasar, kemungkinan prediksinya makin kuat.

    Jangan Jual Sekaligus, Jual Bertahap

    Menentukan titik puncak Bitcoin secara akurat itu hampir mustahil. Makanya, tak ada satu indikator atau strategi yang bisa dibilang pasti benar. Yang paling masuk akal adalah kombinasikan beberapa indikator buat cari konfirmasi (confluence).

    Jangan buru-buru jual semua aset sekaligus. Sebaliknya, keluar secara bertahap pas indikator mulai kasih sinyal kalau pasar udah overheat. Investor juga bisa pakai trailing stop yang dikaitkan dengan level harga kunci atau persentase pergerakan harga biar bisa tetap menjaring cuan tambahan kalau harga tiba-tiba naik lebih tinggi lagi.

    Saat yang Tepat untuk Investasi Bitcoin

    Berdasarkan data TradingView yang dilihat Sabtu, 1 Februari 2024, Bitcoin telah mengalami lonjakan lebih 45 persen pasca-pemilu Amerika Serikat. Lantas, apakah ini saat yang tepat untuk masuk? penasihat keuangan dan pendiri Evolve Investing, Peter Hughes, mengingatkan volatilitas Bitcoin bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan.

    “Ketika harga Bitcoin meroket seperti yang kita lihat sekarang, saya selalu mendapat lebih banyak pertanyaan dari klien. Biasanya, saya akan langsung menunjukkan risiko koreksi harga kepada mereka,” ujar Hughes, dikutip dari Investopedia.

    Ia mencontohkan bagaimana Bitcoin anjlok lebih dari 70 persen setelah mencapai puncaknya pada November 2021. Bagi investor yang siap menghadapi fluktuasi tajam, Hughes menyarankan agar eksposur terhadap aset kripto tidak lebih dari 5 persen dari total portofolio. Menurutnya, riset menunjukkan kepemilikan Bitcoin di atas angka tersebut justru meningkatkan volatilitas portofolio secara signifikan.

    “Saat Bitcoin mulai melebihi 5 persen dari total portofolio, di titik itulah risikonya bisa lebih besar dibandingkan portofolio saham hampir 100 persen,” jelasnya.

    Bagi investor pemula, Pendiri Wealth IQ, Aditi Kapadia, menyarankan untuk memulai dengan jumlah kecil melalui ETF spot atau platform yang sudah diatur oleh regulator. Menurutnya, langkah awal yang “bijak” dalam investasi kripto adalah menjaga perspektif jangka panjang dan tidak terbawa emosi saat pasar mengalami gejolak.

    Kenaikan harga Bitcoin pasca-pemilu memang menggoda, tetapi investor harus tetap berpijak pada realitas bahwa volatilitas aset ini bisa sangat ekstrem. Kuncinya adalah menyeimbangkan risiko dan potensi keuntungan, berpikir jangka panjang, serta menghindari keputusan impulsif yang dipicu oleh euforia pasar.

    Hughes mengingatkan satu pertanyaan yang wajib dijawab sebelum berinvestasi di Bitcoin, “Kalau sekarang Anda merasa optimistis dengan Bitcoin setelah kenaikan luar biasa ini, bagaimana reaksi Anda jika harganya tiba-tiba turun setengah?” Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan apakah investor benar-benar siap menghadapi volatilitas kripto.

    Elliott Management: Euforia Kripto bakal Meledak

    Di tengah naiknya pamor kripto gara-gara Trump makin sayang dengan Bitcoin, hedge fund raksasa Elliott Management malah pasang alarm bahaya. Dalam surat yang bocor ke Financial Times, mereka bilang dukungan Gedung Putih ke kripto ini bisa bikin gelembung spekulatif yang bakal pecah dengan cara brutal.

    Maklum, ini bukan peringatan ecek-ecek. Hedge fund senilai USD70 miliar (sekitar Rp1.120 triliun) ini didirikan sama Paul Singer, miliarder yang sudah malang-melintang di dunia investasi. Jadi kalau mereka sudah bilang “ini tak wajar”, ya mungkin ada benarnya.

    Saat ini, Bitcoin masih bertengger gagah di atas level USD100 ribu (sekitar Rp1,64 miliar) meskipun sempat terkoreksi tipis 0,21 persen dalam sehari terakhir. Data TradingView menunjukkan harga Bitcoin berada di angka USD102.218,70, turun sekitar USD218,94 dari posisi sebelumnya. Tapi kalau melihat pergerakan dalam tiga bulan terakhir, kenaikannya terbilang impresif dengan lonjakan +45,46 persen atau sekitar USD31.946,69 (sekitar Rp511 juta).

    Bitcoin juga telah mencatatkan rekor harga tertinggi sepanjang masa di USD109.396,43 (sekitar Rp1,75 miliar), menegaskan bahwa aset ini masih menjadi primadona di dunia kripto. Kapitalisasi pasarnya saat ini mencapai USD2,03 triliun (sekitar Rp32,48 kuadriliun), dengan volume perdagangan dalam 24 jam terakhir menyentuh USD44,14 miliar (sekitar Rp707 triliun). Angka-angka ini menunjukkan bahwa Bitcoin tetap menjadi pusat perhatian pasar, meskipun ada beberapa sinyal peringatan yang perlu dicermati.

    Dari segi teknikal, indikator di TradingView masih memberikan sinyal positif bagi Bitcoin. Analisis teknikal menunjukkan Bitcoin berada dalam kategori “Pembelian”, yang berarti banyak trader masih optimistis dengan pergerakan harga ke depan. Beberapa indikator momentum seperti osilator dan rata-rata pergerakan harga juga menunjukkan kecenderungan yang sama, dengan lebih banyak sinyal pembelian dibanding penjualan.

    Sentimen pasar masih cukup kuat untuk menjaga Bitcoin tetap stabil di atas USD100 ribu. Tapi, perlu diingat bahwa kripto selalu punya sisi liar yang bisa bikin harga jungkir balik kapan saja.

    Menurut Elliott, lonjakan spekulatif di pasar kripto bukan terjadi karena inovasi atau fundamental yang kuat, tapi karena kedekatannya sama Gedung Putih. Para spekulan girang, harga kripto terbang, tapi risiko buat ekonomi global dinilai mengerikan. Mereka juga khawatir dolar AS bisa kehilangan status sebagai mata uang cadangan dunia gara-gara pemerintah terlalu dekat dengan aset digital.

    “Kripto adalah titik nol… bisa menimbulkan kekacauan dengan cara yang belum bisa kita antisipasi,” tulis mereka di surat ke investor.

    Selain itu, Elliott juga menunjuk ke reli saham berbasis AI dan kenaikan harga kripto yang tak masuk akal sebagai bukti bahwa pasar saat ini sudah terlalu euforia dan rawan kena tulah.

    Yang bikin Elliott makin pusing, Trump sendiri seperti “bapak asuh” buat industri kripto sekarang. Bukan cuma lewat kebijakan, tapi juga aksi langsung. Beberapa di antaranya:

    • Trump dan putranya dukung World Liberty Financial (WLFI), platform kripto yang muncul tahun lalu.
    • Meme coin “TRUMP” dan “MELANIA” dijual ke publik, walau tak ada nilai intrinsiknya, tetap laku karena namanya memakai nama Trump.
    • Trump Media mengumumkan rencana investasi USD250 juta (sekitar Rp4 triliun) di kripto.

    Dari sisi politik, lobi pro-kripto juga makin gila. Fairshake PAC, kelompok yang getol meloloskan regulasi kripto ramah investor, sudah keluar duit USD173 juta (sekitar Rp2,8 triliun) untuk bantu kandidat yang mendukung aset digital. Mereka juga masih punya USD116 juta (sekitar Rp1,85 triliun) buat gempuran pemilu paruh waktu 2026.

    Elliott Management tak asal nyinyir, mereka cuma memberi warning bahwa pasar kripto sekarang sudah seperti balon yang ditiup terlalu kencang. Bisa terus membesar, bisa juga meletus kapan saja. Jadi, apakah Trump bakal terus mendorong dan membuat kripto makin menggila? Atau ini cuma honeymoon sesaat sebelum jatuh bebas?

    Disclaimer: Artikel ini cuma buat informasi saja, bukan saran keuangan. Selalu lakukan riset sendiri sebelum ambil keputusan investasi.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).