KABARBURSA.COM - Sektor finansial dinilai masih cukup menjanjikan untuk tahun 2025. Namun demikian, sektor ini masih harus bergantung pada kebijakan suku bunga acuan dari Bank Indonesia (BI).
Senior Market Analyst Mirae Asset Nafan Aji Gusta, mengatakan secara keseluruhan sektor finance sepanjang 2024 ini mencatatkan performa kurang memuaskan.
"Di sini (performa finance) di kisaran minus 4 persen secara year-to-date untuk IDX Finance," kata Nafan kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Selasa, 24 Desember 2024.
Nafan menjelaskan, catatan kurang apik tersebut tidak lepas dari kebijakan BI yang masih mempertahankan suku bunga acuan sebesar 6 persen.
Menurut dia, suku bunga yang tinggi dapat membuat borrowing cost semakin menguat, hingga akhirnya menyebabkan pelaku pasar terbebani.
"Jadi, memang wajar saja jika ini membuat sektor finansial relatif fluktuatif. Bahkan, ada emiten-emiten perbankan yang mengalami kinerja pertumbuhan kredit single digit," tutur Nafan.
Namun, di satu sisi, Nafan menilai industri perbankan masih memberikan kinerja yang bagus. Hal ini ia ungkapkan merujuk dari tingkat likuiditas industri perbankan Indonesia yang masih memadai.
"Untuk sektor perbankan masih relatif memadai, khususnya di perbankan domestik meskipun terjadi pengetatan likuiditas global yang menyebabkan terjadinya global banking turmoil," ujar dia.
Catatan tersebut menjadi kabar baik bagi industri perbankan Indonesia, sebab terdapat bank-bank besar di dunia yang menemui masalah likuiditas.
Credit Demand Sektor Perbankan 2025
Di sisi lain, Nafan melihat kemungkinan terjadinya peningkatan credit demand di industri perbankan yang cukup besar di tahun depan. Asalkan Bank Indonesia (BI) bisa memanfaatkan peluang dari The Fed untuk menurunkan suku bunga acuan.
Peluang yang dimaksud adalah BI harus bisa memanfaatkan kesempatan ketika The Fed tidak terlalu menerapkan kebijakan hawkish.
"Maka dari, itu peluang untuk menurunkan suku bunga acuan pun masih terbuka lebar dalam rangka pro-growth," ucap Nafan.
Dia memandang, penurunan suku bunga acuan dapat memberikan dampak positif bagi industri perbankan, khususnya di tahun depan. Dengan penurunan suku bunga tersebut, maka perbankan bisa mereduksi borrowing cost dari pada pelaku pasar. Hal ini bisa meningkatkan credit demand perusahaan-perusahaan di tahun depan.
BI Pertahankan Suku Bunga di 6 Persen
Berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17-18 Desember 2024, Bank Indonesia (BI) mengumumkan menahan suku bunga acuan BI-Rate di level 6 persen.
Gubernur Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers RDG di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024 mengatakan, BI juga memutuskan suku bunga deposit facility sebesar 5,25 persen dan suku bunga lending facility sebesar 6,75 persen.
Menurut Perry, keputusan ini sejalan dengan kebijakan moneter untuk menjaga inflasi agar tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025. Keputusan ini juga sekaligus untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Kebijakan moneter difokuskan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global akibat kebijakan Amerika Serikat (AS) dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah,” kata Perry dalam konferensi pers tersebut.
Ke depannya, BI akan terus memantau pergerakan nilai tukar rupiah, prospek inflasi, dan dinamika kondisi ekonomi untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga kebijakan lanjutan.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap ditujukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan makroprudensial yang longgar terus diterapkan untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan ke sektor-sektor prioritas yang mendukung pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau.
“Langkah ini dilakukan melalui penguatan strategi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) mulai Januari 2025 dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian,” ujar dia.
“Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan, khususnya sektor perdagangan dan UMKM, dengan memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran,” lanjutnya.
Perry menjelaskan, ada beberapa hal yang dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berlanjutan melalui strategi operasi moneter pro-market. Tujuannya, untuk memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, mempercepat pendalaman pasar uang dan pasar valuta asing (valas), serta mendorong aliran masuk modal asing.
Adapun strategi yang akan ditempuh adalah mengoptimalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrumen moneter pro-market.
BI juga akan memperkuat struktur suku bunga instrumen moneter untuk menarik aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik, memperkuat strategi transaksi term-repo dan swap valas.
Selain itu, BI juga akan memperkuat peran Primary Dealer (PD) untuk meningkatkan transaksi SRBI di pasar sekunder dan transaksi repurchase agreement (repo) antarpelaku pasar.
Lebih lanjut, strategi BI untuk menjaga stabilitas ekonomi juga dilakukan melalui stabilitasi nilai tukar rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
BI juga akan menguatkan publikasi asesment transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit berdasarkan sektor prioritas yang menjadi cakupan KLM.(*)