Logo
>

Surplus tapi Resah: Ekspor Indonesia Perlu Strategi Jitu

Ditulis oleh Dian Finka
Surplus tapi Resah: Ekspor Indonesia Perlu Strategi Jitu

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bakhrul Fikri mengungkapkan penyebab surplus neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2024 turun 29 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya secara tahunan (year on year/yoy).

    Menurut Fikri, masalah struktural dalam ketergantungan negara terhadap ekspor komoditas primer menjadi satu hal yang perlu disorot. Ini kemudian diperparah oleh harga komoditas di pasar global yang mengalami penurunan.

    "Kita ketahui bersama bahwa Indonesia itu masih sangat tergantung pada ekspor komoditas (primer) seperti batu bara, minyak sawit, dan juga logam dasar yang harga pasarnya tentu sangat volatil dan rentan terhadap perubahan permintaan global," ujarnya kepada Kabar Bursa, Kamis, 19 September 2024.

    Faktor berikutnya, kata Fikri, adalah kebijakan transisi energi di sejumlah negara maju yang memaksa mengurangi konsumsi bahan bakar fosil sehingga permintaan terhadap energi konvensional berkurang. Salah satu komoditas yang terdampak pada konteks ini adalah batu bara.

    "Di samping itu, spekulasi di pasar komoditas global juga memengaruhi harga, terutama dalam situasi geopolitik yang tidak stabil, seperti konflik di Eropa timur antara Rusia dan Ukraina serta ketegangan di Timur Tengah," jelasnya.

    Ekonom Celios itu menambahkan, untuk jangka panjang, Indonesia perlu melakukan diversifikasi ekspor secara agresif. Fokus utama harus diarahkan pada pengembangan industri manufaktur dan produk-produk bernilai tambah. Langkah ini krusial untuk menghindari jebakan sumber daya alam (natural resource curse).

    Indonesia perlu mempercepat langkah hilirisasi komoditas, khususnya pada sektor-sektor yang memiliki potensi nilai tambah tinggi seperti nikel, bauksit, dan kelapa sawit. Sebagai contoh, pembangunan smelter nikel telah berhasil meningkatkan nilai ekspor secara signifikan.

    "Kemudian yang kedua ada juga tekanan dari kebijakan transisi energi di berbagai negara maju yang mulai mengurangi konsumsi bahan bakar fosil seperti batu bara dan bahan bakar fosil yang lainnya dan juga hal ini membuat permintaan global terhadap komoditas energi menurun," paparnya

    "Namun, hilirisasi harus dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Hal ini penting untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat, serta menjaga reputasi Indonesia di mata dunia.," tutur Fikri, menambahkan.

    Selanjutnya, Fikri mengatakan, jika hilirisasi tidak boleh mengandalkan energi kotor atau menggunakan sumber daya yang berdampak buruk bagi lingkungan, seperti batu bara, maka, langkah-langkah ini diharapkan dapat menciptakan ketahanan ekonomi yang lebih baik dan berkelanjutan bagi Indonesia ke depannya.

    "Jadi bukan hilirisasi yang itu menggunakan energi yang kotor dan masih berbasis batu bara. Dan juga bukan energi atau pembangkit listrik yang itu berasal dari solusi palsu seperti geothermal karena sama saja akibatnya akan sama seperti PLTU batu bara," pungkas Fikri.

    Ekspor Indonesia

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2024 mencapai USD23,56 miliar, mengalami kenaikan sebesar 5,97 persen dibandingkan dengan ekspor pada Juli 2024. Pudji menyampaikan bahwa dibandingkan Agustus 2023, ekspor meningkat 7,13 persen.

    “Ekspor Indonesia pada Agustus 2024 tumbuh 5,97 persen dibandingkan Juli 2024, yaitu dari USD22,24 miliar menjadi USD23,56 miliar. Dibandingkan Agustus 2023, ekspor juga naik 7,13 persen. Peningkatan ini terutama didorong oleh kenaikan ekspor nonmigas sebesar 7,43 persen, dari USD20,81 miliar menjadi USD22,36 miliar,” ujar Pudji.

    Secara kumulatif, ekspor Indonesia dari Januari hingga Agustus 2024 mencapai USD170,89 miliar, dengan nilai ekspor nonmigas mencapai USD160,36 miliar.

    Dari sepuluh komoditas nonmigas utama yang diekspor pada Agustus 2024, mayoritas mengalami peningkatan, dengan peningkatan terbesar terjadi pada komoditas lemak dan minyak hewani/nabati, yang naik sebesar USD470,8 juta atau 24,50 persen. Namun, ada penurunan pada komoditas logam mulia dan perhiasan/permata, yang turun sebesar USD93,7 juta atau 11,88 persen.

    Jika dilihat berdasarkan sektor, ekspor nonmigas dari industri pengolahan selama Januari–Agustus 2024 meningkat 2,05 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga mencatatkan kenaikan sebesar 14,54 persen. Namun, ekspor dari sektor pertambangan dan lainnya mengalami penurunan sebesar 10,62 persen.

    Negara tujuan ekspor nonmigas terbesar pada Agustus 2024 adalah China, dengan nilai USD5,33 miliar, diikuti Amerika Serikat sebesar USD2,61 miliar, dan Jepang sebesar USD1,80 miliar. Ketiga negara ini berkontribusi sebesar 43,55 persen terhadap total ekspor. Sementara itu, ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa (27 negara) masing-masing tercatat sebesar USD4,12 miliar dan USD1,54 miliar.

    Dari sisi provinsi asal barang, ekspor terbesar Indonesia pada Januari–Agustus 2024 berasal dari Jawa Barat dengan nilai USD24,85 miliar atau 14,54 persen dari total ekspor, diikuti oleh Jawa Timur sebesar USD16,90 miliar (9,89 persen) dan Kalimantan Timur sebesar USD16,73 miliar (9,79 persen).

    Di sisi lain, nilai impor Indonesia pada Agustus 2024 tercatat sebesar USD20,67 miliar, turun 4,93 persen dibandingkan dengan Juli 2024. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.